Kamis, 27 Oktober 2016

Sirah Nabawiyah Sebagai Basis Pendidikan Karakter dalam Perspektif al-Qur’an

Sirah Nabawiyah Sebagai Basis Pendidikan Karakter dalam Perspektif al-Qur’an

Abstrak
Penelitian ini berupaya menghadirkan pengelolaan pendidikan agar tidak hanya bertumpu pada sisi normatif, hanya menyatakan dan menggambarkan (description), akan tetapi perlu di transformasikan dalam bentuk tindakan performatif, yaitu tindakan aktual dan konkrit. Salah satu upayanya adalah bagaimana mensinergikan pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah. Strategi ini bukan mustahil, tetapi solusi alternatif bagi persoalan-persoalan pelik kehidupan manusia modern saat ini. Dinamika perkembangan zaman akan terus bergulir termasuk dunia pendidikan, maka diperlukan upaya-upaya mendekonstruksi teks-teks jumud yang selama ini berkembang di dunia pendidikan.
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi, riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Sebut saja edukasi yang merupakan salah satu kegiatan tersebut, menyajikan beberapa program kerja, yaitu: pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua, pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7) yang merupakan bagian Mawaris, ketiga, Kajian Islam Dasar Intensif (KDII), yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait dengan sīrah Nabawiyah. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Ahzab 33/21, bahwa Rasulullah merupakan central figur dalam pembentukan karakter.

Kata Kunci: Sirah Nabawiyah, Pendidikan Karakter, Markaz

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsuf Postmodern Jean Baudrillard menyatakan, bahwa dunia yang dilanda demam modernisasi dan globalisasi berimplikasi adanya pergeseran nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas-batas normatif sehingga sesuatu yang sakral menjadi semakin hilang, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Persoalan dalam perspektif sosial keagamaan masuk kedalam wilayah tabu dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara massif. Manusia dilihat hanya sebagai simbolisasi angka- angka statistik demografis yang dipandang dan dihadirkan tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan sosok-sosok robot mekanis yang tunduk (determinitation) pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.[1] Fromm menyebut keadaan sebagaimana tersebut di atas sebagai “nestapa manusia modern”, yang hidup serba dilematis-pragmatis, pesimis, hipokrit dan materialistik.[2]
Untuk mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekankan tiga komponen (components of good character) penting yakni, pertama, moral knowing (pengetahuan tentang moral), kedua, moral feeling (perasaan tentang moral), dan ketiga, moral action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan seseorang membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis dan doktrin) pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad saw. sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadis-hadis dan sunahnya. Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan serta kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri.[3] Adapun moral action adalah menampakkan pembiasaan perilaku-perilaku yang baik dan terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan ketiga komponen di atas dipahami, bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari 5 (lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan olah karsa.[4]
Maka Pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.[5]
B. RUMUSAN MASALAH
 Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas penulis, adalah tentang sīrah Nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an. Apakah Sirah Nabawiyah mampu menjadi basis pendidikan karakter?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari tujuan tulisan ini:
1. Ingin mengetahui pengertian Sirah Nabawiyah
2. Ingin mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter
3. Ingin mengetahui Pendidikan Karakter dalam perspektif al-Qur’an
D. MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari tujuan penelitian ini:
1.      Menjadi salah satu sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk perguruan tinggi dan untuk masyarakat pada umumnya.
2.      Memberikan wawasan kepada masyakat, bahwasanya sirah Nabawiyah banyak mengandung kandungan ilmiah yang bisa diambil pelajarannya.
E. BATASAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah yang ada dalam penelitian ini meliputi:
1. Epistemologi Sirah Nabawiyah
2. Pengaruh Sirah Nabawiyah Sebagai Basis Pendidikan Karakter
3. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif al-Qur’an

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sudah banyak penelitian yang meneliti sīrah nabawiyah, tetapi sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian tentang sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an. Diantara penelitian yang meneliti sīrah nabawiyah adalah:
Pertama, buku yang ditulis oleh Musthafa as-Shiba’I, Ringkasan Sirah Nabawiyah, menjelaskan bahwa sirah Nabawiyah adalah rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. dan berbagai pelajaran paling berharga darinya. Diantaranya adalah suri tauladan yang terdapat pada diri Rasulullah saw.
Kedua, buku yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury dalam bukunya yang berjudul “Sirah Nabawiyah”, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam merupakan sosok yang memiliki akhlak yang sangat terpuji.
Ketiga, buku yang ditulis oleh Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabawiyah Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, menjelaskan bahwa sīrah nabawiyah bermula dan bertitik tolak dari bahasan tentang al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian ditemukan pula celah uraian tentang al-Qur’an dan Sunnah.
            Perbedaan penyusunan paper ini dengan beberapa buku tersebut di atas adalah tokoh dan sumber datanya, namun masih akan dilaksanakan riset kelayakan materi sīrah nabawiyah praktis yang disusun oleh sīrah nabawiyah. Paper ini menjelaskan sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter.


BAB III
METODOLOGI PENULISAN

A.    TAHAP PENULISAN
Adapun metodologi penulisan atau sistematika penulisan pada penelitian ini, dibagi dalam 5 bab:
Pada bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian, serta diakhiri dengan uraian tentang batasan masalah.
Bab kedua, membahas mengenai kajian pustaka
Bab ketiga, membahas mengenai metodologi penulisan atau sistematika penulisan dan pembahasan
Bab keempat, pembahasan dimana penelitian ini membahas tentang sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an, mulai dari epistemologi sīrah nabawiyah, sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter, pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an
Bab kelima, akan memaparkan kesimpulan dari keseluruhan pembahsan diatas dan saran-saran.
B.     KERANGKA BERPIKIR
Sirah Nabawiyah adalah rekam jejak Perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Tujuan utama mempelajari sīrah Nabawiyah bukanlah sekadar untuk mengungkap peristiwa-peristiwa bersejarah tentang Muhammad, juga bukan hanya untuk menonjolkan sisi-sisi superioritasnya dibanding manusia-manusia lain, tetapi haruslah diarahkan pada pengungkapan nilai-nilai historis dan bukan fakta-fakta historis belaka.
Sedangkan Pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.
Secara spesifik, term sīrah Nabawiyah disebut beberapa kali dalam al-Qur’an. Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya adalah Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40, Qs. Muhammad 47/2, dan Qs. Al-Fath 48/29. Kepribadiannya juga mendapatkan pujian dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qalam 68/4).
Maka pertanyaannya adalah, bagaimana pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah mampu memberdayakan kemampuan peserta didik dalam menjawab persoalan kehidupan manusia?
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi, riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Sebut saja edukasi yang merupakan salah satu kegiatan tersebut, menyajikan beberapa program kerja, yaitu: pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua, pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7) yang merupakan bagian Mawaris, ketiga, Kajian Islam Dasar Intensif (KDII), yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait dengan sīrah Nabawiyah.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.    Epistemologi Sirah Nabawiyah
Kata sīrah secara bahasa berarti “jalan” (tarīqah) atau “perilaku” (sunnah).[6] Dalam konteks historiografi, sīrah berarti perjalanan hidup atau biografi. Jika disebut sīrah saja, tanpa dihubungkan dengan nama tokoh tertentu, maka yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup atau biografi Nabi Muhammad saw.[7] Secara terminologis, sīrah adalah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. sejak munculnya berbagai irhas (kejadian luar biasa sebelum kenabian) yang melapangkan jalan bagi kenabiannya, atau sesuatu yang terjadi sebelum kelahiran, saat kelahiran, pertumbuhan, sampai diangkat menjadi nabi, lalu menjalankan dakwahnya, hingga akhirnya meninggal dunia.[8] Ada pula yang mengartikan sīrah dengan “the study of the life and career of the Prophet Muhammad, sallallah ‘alaih wa sallam, as it happened in history” (studi tentang kehidupan dan karier Nabi Muhammad saw., sebagaimana hal itu terjadi dalam sejarah).[9]
Berdasarkan uraian di atas bahwa sīrah Nabawiyah adalah rekam jejak Perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw.[10] Tujuan utama mempelajari sīrah Nabawiyah bukanlah sekadar untuk mengungkap peristiwa-peristiwa bersejarah tentang Muhammad, juga bukan hanya untuk menonjolkan sisi-sisi superioritasnya dibanding manusia-manusia lain, tetapi haruslah diarahkan pada pengungkapan nilai-nilai historis dan bukan fakta-fakta historis belaka.[11]
Secara spesifik, term sīrah Nabawiyah disebut beberapa kali dalam al-Qur’an. Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya adalah Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40, Qs. Muhammad 47/2, dan Qs. Al-Fath 48/29. Kepribadiannya juga mendapatkan pujian dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qalam 68/4).
B.     Sirah Nabawiyah sebagai Basis Pendidikan Karakter
Secara harfiah, istilah karakter berasal dari bahasa Inggris character yang berarti watak, karakter, atau sifat.[12] Dalam Kamus Bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, atau berarti tabiat, dan budi pekerti.[13] Karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.[14]
Dengan demikian, istilah pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.[15]
Untuk mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekankan tiga komponen (components of good character) penting yakni, moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan seseorang membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis dan doktrin) pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad saw. sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadis-hadis dan sunahnya. Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan serta kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri.[16] Adapun moral action adalah menampakkan pembiasaan perilaku-perilaku yang baik dan terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik.[17] Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari 5 (lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan olah karsa.
Pendidikan sīrah nabawiyah merupakan upaya agar peserta didik mendapatkan gambaran sosok ideal dan contoh mulia dalam seluruh aspek kehidupannya. Sebagai apapun status orang di tengah masyarakat, ia akan mendapati contoh terbaik itu ada pada diri Rasulullah Muhammad saw. karena Allah telah menjadikannya qudwah bagi seluruh manusia sebagaimana tercantum dalam Firman Allah Surat Al-Ahzab ayat 21.[18] Maka pertanyaannya adalah, bagaimana pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah mampu memberdayakan kemampuan peserta didik dalam menjawab persoalan kehidupan manusia?
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi, riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Program kegiatan diantaranya, edukasi yaitu: pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua, pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7) yang merupakan bagian Mawaris, ketiga Kajian Islam Dasar Intensif (KDII), yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait dengan sīrah Nabawiyah.[19]
C.    Pendidikan Karakter dalam Perspektif al-Qur’an
Berangkat dari realitas kehidupan, Allah mengutus Muhammad untuk dapat melakukan transformasi budaya dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang berperadaban, dari masyarakat yang biadab menuju masyarakat yang beradab. Untuk itu, misi utama kenabiannya adalah akhlak, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Misi utama ini bukan sekedar simbol, semboyan, atau jargon untuk menarik simpati audiens, tetapi Rasulullah sendiri terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia berupa kejujuran dan amanah. Itulah sebabnya sehingga Allah menjunjung tinggi Rasulullah dalam Q.S. al-Qalam/68: 4:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”[20]
Menurut Quraish Shihab, ayat ini mengesankan bahwa Nabi Muhammad saw. berada di atas tingkat budi pekerti yang luhur, bukan sekedar berbudi pekerti luhur. Allah menegur Rasulullah jika bersikap dengan sikap yang hanya baik dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang di nilai sebagai berakhlak mulia. Keluhuran budi pekerti Nabi saw. yang mencapai puncaknya itu bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan Innaka (sesungguhnya engkau), tetapi juga dengan tanwin (bunyi dengung) pada kata khuluqin dan huruf lam yang digunakan untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata ‘ala disamping kata ‘ala itu sendiri.[21]
Allah swt. juga berfirman dalam Q.S.al-Ahzab/33: 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“(Demi Allah) Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”[22]
Quraish Shihab mengemukakan, bahwa Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat di atas ada dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama, dalam arti kepribadian Rasulullah secara totalitasnya adalah teladan. Kedua, bahwa dalam kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama.[23]
Dari keterangan di atas, dapat dijelaskan bahwa konsep pendidikan karakter dalam al-Qur’an, dapat ditemukan melalui tiga dimensi, yaitu pertama, akhlak kepada Allah (kecerdasan spiritual), kedua, akhlak terhadap diri sendiri (kecerdasan emosional), ketiga, akhlak terhadap makhluk Tuhan yaitu manusia dan lingkungan (kecerdasan sosial).
Akhlak kepada Allah dapat di implementasikan dalam bentuk ketaatan, keikhlasan, syukur, sabar, tawakkal, mahabbah, dan sebagainya. Dengan kata lain, akhlak ini lebih mengacu pada keterampilan, kemampuan, dan usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan dengan Allah atau dengan istilah lainnya “kecerdasan spiritual”. Kecerdasan ini melahirkan kepekaan yang mendalam dalam rangka menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup, serta memperhalus budi pekerti. Inilah yang melahirkan apa yang di istilahkan dengan mata ketiga atau indera keenam bagi manusia, sehingga mampu mengantarnya menuju serta memuja suatu realitas yang Maha sempurna, tanpa cacat, tanpa batas, dan tanpa akhir, yakni Allah. Adapun tolok ukur kecerdasan ini dilihat dari segi sejauh mana intensitas komunikasi spiritual seseorang dengan Tuhan-Nya yang termanifestasi dalam bentuk frekuensi do’a, kedalam mahabbah yang bersemayam dalam hati, serta rasa syukur kehadirat-Nya.[24]

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    KESIMPULAN
Pendidikan bukan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya, tetapi harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan. Pendidikan tidak harus selamanya dikorbankan dengan tuntutan perubahan yang terjadi dimasyarakat, seharusnya dilihat sebagai proses utuh dan komprehensif diri dan keterlibatannya dengan konteks konkrit setempat, yang diharapkan pada akhirnya peserta didik tidak tercabut dari akar sejarah hidup masyarakatnya. Di perlukan sebuah komitmen moral untuk membangun dunia pendidikan yang humanis, egaliter, kreatif, dan demokratis dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal (local of wisdom), sehingga peserta didik tidak menjadi sosok-sosok liyan (terasing) pada lingkungannya.
Di samping itu seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan (capability), kompetensi akademik yang memadai sebagai upaya memberikan ruang, jalan bagi pemahaman agama yang baik dan benar terhadap peserta didik agar tidak terkontaminasi dinamika modernitas yang hipokrit dan permisif, sehingga nantinya pendidik bisa menjadi pemandu, pembimbing bagi peserta didik dalam menterjemahkan dan memahami nilai-nilai idealisme pendidikan, terutama pendidikan agama secara kontekstual, dengan pendekatan yang humanis, inklusif dan egaliter, sebagaimana dalam ajaran Islam bahwa Islam datang dan hadir sebagai rahmatan lil ‘alamīn.
B.     SARAN
Setelah penulis menguraikan bahasan sirah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an, selanjutnya penulis mengajukan beberapa saran:
1. Seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, serta merebaknya dekadensi moral dan timbulnya kegersangan spiritual, maka sirah nabawiyah ini layak diterapkan dan dijadikan pertimbangan sebagai solusi alternatif dalam memecahkan problem masyarakat dalam bidang pendidikan Islam.
2. Kepada seluruh civitas akademik, agar dapat mengembangkan keilmuannya secara dinamis sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman tanpa mengabaikan nilai-nilai moral serta niai agama

DAFTAR PUSTAKA
Muhajir, As’aril. 2001. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Fromm, Erich. 1972. Psychoanalysis and Religion. Yale University Press
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Cet. II, Bandung: Remaja Rosdakaya,
Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Sadir, t.th.
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
al-Mursifi, Sa’ad. 1994. al-Jami’ al-Sahih Li al-Sirah al-Nabawiyah. Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah.
Bashier, Zakaria. 1990. Sunshine at Madinah. Leicester: The Islamic Foundation.
al-Buti, Sa’id Ramdhan. 1999. Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah Ma’ Mujaz Li Tarikh al-Khilafah al-Rashidah, Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah Lisirah al-Mustafa Salla Allahu ‘Alaih wa Sallam wa Ma Yantawi ‘Alaih Min ‘Izat wa Mabadi’ wa Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr.
John M. Echols dan Hasan Shadily. 1979. Kamus Inggris Indonesia. Cet. VII. Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Cet. XVI. Jakarta: Pusat Bahasa.
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Cet. II. Bandung: Remaja Rosdakaya.
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury. 2000. Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta Media, t.th.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. XIV. Jakarta: Lentera Hati.








[1] Muhajir, As’aril, 20011, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 38.
[2] Fromm, Erich. 1972. Psychoanalysis and Religion, Yale University Press, h. 32.
[3] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakaya, 2012), h. 112.
[4] Ibid
[5] Ibid, h. 1149
[6] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, t.th.), vol.4, h. 390.
[7] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 196.
[8] Sa’d al-Mursifi, al-Jami’ al-Sahih Li al-Sirah al-Nabawiyah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 1994), h. 62.
[9] Zakaria Bashier, Sunshine at Madinah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1990), h. 11.
[11] Sa’id Ramadan al-Buti, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah Ma’ Mujaz Li Tarikh al-Khilafah al-Rashidah, Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah Lisirah al-Mustafa Salla Allahu ‘Alaih wa Sallam wa Ma Yantawi ‘Alaih Min ‘Izat wa Mabadi’ wa Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), h. 15.
[12] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 107.
[13] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. XVI, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1811.
[14] Ibid, h. 682.
[15] Ibid, h. 1149
[16] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakaya, 2012), h. 112.
[17] Ibid
[18] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 245.
[19] Musthafa as-Shiba’I, Ringkasan Sirah Nabawiyah, cet. 1, (Banyuanyar Solo: Ahad Books, 2013), h. 10. 
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, t.th), h. 564.
[21] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 244.
[22] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, op. cit., h.420.
[23] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pebagai Persoalan Umat, Cet. I, (Jakarta: Mizan, 2013), h. 70. Lihat pula Vol. 10, h. 439.
[24] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan, Jilid 2, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar