Sirah Nabawiyah Sebagai Basis Pendidikan
Karakter dalam Perspektif al-Qur’an
Abstrak
Penelitian ini berupaya menghadirkan pengelolaan pendidikan agar
tidak hanya bertumpu pada sisi normatif, hanya menyatakan dan menggambarkan (description),
akan tetapi perlu di transformasikan dalam bentuk tindakan performatif, yaitu
tindakan aktual dan konkrit. Salah satu upayanya adalah bagaimana mensinergikan
pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah. Strategi ini bukan
mustahil, tetapi solusi alternatif bagi persoalan-persoalan pelik kehidupan
manusia modern saat ini. Dinamika perkembangan zaman akan terus bergulir
termasuk dunia pendidikan, maka diperlukan upaya-upaya mendekonstruksi
teks-teks jumud yang selama ini berkembang di dunia pendidikan.
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah
Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang
nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi, riset,
dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak perjalanan
hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Sebut saja edukasi yang merupakan salah
satu kegiatan tersebut, menyajikan beberapa program kerja, yaitu: pertama, halaqah
kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua, pendidikan
intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk menyampaikan
pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada setiap
kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7)
yang merupakan bagian Mawaris, ketiga, Kajian Islam Dasar Intensif
(KDII), yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum
yang terkait dengan sīrah Nabawiyah. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan
dalam surat al-Ahzab 33/21, bahwa Rasulullah merupakan central figur
dalam pembentukan karakter.
Kata Kunci: Sirah
Nabawiyah, Pendidikan Karakter, Markaz
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Filsuf Postmodern Jean Baudrillard menyatakan,
bahwa dunia yang dilanda demam modernisasi dan globalisasi berimplikasi adanya
pergeseran nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas-batas normatif
sehingga sesuatu yang sakral menjadi semakin hilang, semua persoalan dan
informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara
umum. Persoalan dalam perspektif sosial keagamaan masuk kedalam wilayah tabu
dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara massif. Manusia dilihat hanya sebagai
simbolisasi angka- angka statistik demografis yang dipandang dan dihadirkan
tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan
sosok-sosok robot mekanis yang tunduk (determinitation) pada kekuatan
pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.[1]
Fromm menyebut keadaan sebagaimana tersebut di atas sebagai “nestapa manusia
modern”, yang hidup serba dilematis-pragmatis, pesimis, hipokrit dan
materialistik.[2]
Untuk mewujudkan nilai-nilai
karakter dalam kepribadian perlu ditekankan tiga komponen (components of
good character) penting yakni, pertama, moral knowing
(pengetahuan tentang moral), kedua, moral feeling (perasaan
tentang moral), dan ketiga, moral action (tindakan moral). Moral knowing
adalah adanya kemampuan seseorang membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak
tercela serta nilai-nilai universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional
(bukan secara dogmatis dan doktrin) pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak
tercela dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad
saw. sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadis-hadis dan sunahnya.
Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan
rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan
keinginan serta kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri.[3]
Adapun moral action adalah menampakkan pembiasaan perilaku-perilaku yang
baik dan terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan ketiga komponen di
atas dipahami, bahwa karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang
kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan melakukan perbuatan baik.
Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas pribadi yang baik
adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik, dan
nyata berperilaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasil dari 5
(lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, dan olah
karsa.[4]
Maka Pendidikan karakter merupakan
upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga
dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.[5]
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang
diatas, rumusan masalah yang akan dibahas penulis, adalah tentang sīrah
Nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an. Apakah
Sirah Nabawiyah mampu menjadi basis pendidikan karakter?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah
sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari tujuan tulisan ini:
1. Ingin mengetahui pengertian Sirah Nabawiyah
2. Ingin mengetahui Sirah Nabawiyah sebagai basis
pendidikan karakter
3. Ingin mengetahui Pendidikan Karakter dalam
perspektif al-Qur’an
D. MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka maksud dari tujuan
penelitian ini:
1.
Menjadi
salah satu sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk perguruan tinggi
dan untuk masyarakat pada umumnya.
2. Memberikan wawasan kepada masyakat, bahwasanya sirah
Nabawiyah banyak mengandung kandungan ilmiah yang bisa diambil pelajarannya.
E. BATASAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah
yang ada dalam penelitian ini meliputi:
1.
Epistemologi Sirah Nabawiyah
2.
Pengaruh Sirah Nabawiyah Sebagai Basis Pendidikan Karakter
3.
Pendidikan Karakter Dalam Perspektif al-Qur’an
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sudah
banyak penelitian yang meneliti sīrah nabawiyah, tetapi sejauh ini
peneliti belum menemukan penelitian tentang sīrah nabawiyah sebagai
basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an. Diantara penelitian yang
meneliti sīrah nabawiyah adalah:
Pertama, buku yang ditulis oleh Musthafa
as-Shiba’I, Ringkasan Sirah Nabawiyah, menjelaskan bahwa sirah
Nabawiyah adalah rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah
saw. dan berbagai pelajaran paling berharga darinya. Diantaranya adalah suri
tauladan yang terdapat pada diri Rasulullah saw.
Kedua, buku yang
ditulis oleh Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury dalam bukunya yang berjudul
“Sirah Nabawiyah”, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
ajaran Islam merupakan sosok yang memiliki akhlak yang sangat terpuji.
Ketiga, buku
yang ditulis oleh Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabawiyah Dalam Sorotan
al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, menjelaskan bahwa sīrah nabawiyah
bermula dan bertitik tolak dari bahasan tentang al-Qur’an dan Sunnah yang
kemudian ditemukan pula celah uraian tentang al-Qur’an dan Sunnah.
Perbedaan
penyusunan paper ini dengan beberapa buku tersebut di atas adalah tokoh dan
sumber datanya, namun masih akan dilaksanakan riset kelayakan materi sīrah nabawiyah praktis
yang disusun oleh sīrah nabawiyah. Paper ini menjelaskan sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan
karakter.
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
A.
TAHAP PENULISAN
Adapun
metodologi penulisan atau sistematika penulisan pada penelitian ini, dibagi
dalam 5 bab:
Pada bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan
kegunaan penelitian, serta diakhiri dengan uraian tentang batasan masalah.
Bab kedua, membahas mengenai kajian pustaka
Bab ketiga, membahas mengenai metodologi penulisan
atau sistematika penulisan dan pembahasan
Bab keempat, pembahasan dimana penelitian ini membahas
tentang sīrah nabawiyah sebagai
basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an, mulai dari epistemologi sīrah
nabawiyah, sīrah
nabawiyah sebagai basis pendidikan
karakter, pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an
Bab kelima, akan memaparkan kesimpulan dari
keseluruhan pembahsan diatas dan saran-saran.
B.
KERANGKA BERPIKIR
Sirah
Nabawiyah adalah rekam jejak Perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah
saw. Tujuan utama mempelajari sīrah Nabawiyah bukanlah sekadar untuk
mengungkap peristiwa-peristiwa bersejarah tentang Muhammad, juga bukan hanya
untuk menonjolkan sisi-sisi superioritasnya dibanding manusia-manusia lain,
tetapi haruslah diarahkan pada pengungkapan nilai-nilai historis dan bukan fakta-fakta
historis belaka.
Sedangkan Pendidikan karakter
merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu,
sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.
Secara
spesifik, term sīrah Nabawiyah disebut beberapa kali dalam al-Qur’an.
Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya
adalah Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40, Qs. Muhammad 47/2, dan Qs.
Al-Fath 48/29. Kepribadiannya juga mendapatkan pujian dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qalam
68/4).
Maka pertanyaannya adalah, bagaimana pendidikan
karakter berbasis sīrah Nabawiyah mampu memberdayakan kemampuan peserta
didik dalam menjawab persoalan kehidupan manusia?
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis
pembelajaran sīrah Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah
Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi,
riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak
perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Sebut saja edukasi yang merupakan
salah satu kegiatan tersebut, menyajikan beberapa program kerja, yaitu: pertama,
halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua,
pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk
menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada
setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat
an-Nisa’:7) yang merupakan bagian Mawaris, ketiga, Kajian Islam Dasar
Intensif (KDII), yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat
umum yang terkait dengan sīrah Nabawiyah.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Epistemologi Sirah
Nabawiyah
Kata sīrah
secara bahasa
berarti “jalan” (tarīqah) atau “perilaku” (sunnah).[6]
Dalam konteks historiografi, sīrah berarti perjalanan hidup atau biografi.
Jika disebut sīrah saja, tanpa dihubungkan dengan nama tokoh tertentu,
maka yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup atau biografi Nabi Muhammad saw.[7]
Secara terminologis, sīrah adalah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. sejak
munculnya berbagai irhas (kejadian luar biasa sebelum kenabian) yang melapangkan
jalan bagi kenabiannya, atau sesuatu yang terjadi sebelum kelahiran, saat
kelahiran, pertumbuhan, sampai diangkat menjadi nabi, lalu menjalankan dakwahnya,
hingga akhirnya meninggal dunia.[8]
Ada pula yang mengartikan sīrah dengan “the study of the life and
career of the Prophet Muhammad, sallallah ‘alaih wa sallam, as it happened in
history” (studi tentang kehidupan dan karier Nabi Muhammad saw.,
sebagaimana hal itu terjadi dalam sejarah).[9]
Berdasarkan uraian di atas bahwa sīrah
Nabawiyah adalah rekam jejak Perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah
saw.[10]
Tujuan utama mempelajari sīrah Nabawiyah bukanlah sekadar untuk mengungkap
peristiwa-peristiwa bersejarah tentang Muhammad, juga bukan hanya untuk
menonjolkan sisi-sisi superioritasnya dibanding manusia-manusia lain, tetapi haruslah
diarahkan pada pengungkapan nilai-nilai historis dan bukan fakta-fakta historis
belaka.[11]
Secara spesifik, term sīrah Nabawiyah
disebut beberapa kali dalam al-Qur’an. Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa
kali dalam al-Qur’an, diantaranya adalah Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40,
Qs. Muhammad 47/2, dan Qs. Al-Fath 48/29. Kepribadiannya juga mendapatkan
pujian dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qalam 68/4).
B.
Sirah
Nabawiyah sebagai Basis Pendidikan Karakter
Secara
harfiah, istilah karakter berasal dari bahasa Inggris character yang
berarti watak, karakter, atau sifat.[12] Dalam Kamus Bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, atau
berarti tabiat, dan budi pekerti.[13] Karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.[14]
Dengan
demikian, istilah pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap
pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi
pekerti, dan mempunyai kepribadian.[15]
Untuk
mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekankan tiga
komponen (components of good character) penting yakni, moral knowing
(pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan
moral action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan
seseorang membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta
nilai-nilai universal. Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan
secara dogmatis dan doktrin) pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela
dalam kehidupan. Hal itu dilakukan lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad saw.
sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadis-hadis dan sunahnya. Sedangkan
moral feeling dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh
terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga tumbuh kesadaran dan keinginan
serta kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri.[16] Adapun moral action adalah menampakkan
pembiasaan perilaku-perilaku yang baik dan terpuji pada diri seseorang dalam
kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan
ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik harus didukung
oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan kemampuan
melakukan perbuatan baik.[17] Dengan kata lain, indikator manusia yang memiliki kualitas
pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki keinginan
untuk berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren
memancar sebagai hasil dari 5 (lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah
raga, olah rasa, dan olah karsa.
Pendidikan sīrah nabawiyah merupakan
upaya agar peserta didik mendapatkan gambaran sosok ideal dan contoh mulia
dalam seluruh aspek kehidupannya. Sebagai apapun status orang di tengah
masyarakat, ia akan mendapati contoh terbaik itu ada pada diri Rasulullah
Muhammad saw. karena Allah telah menjadikannya qudwah bagi seluruh
manusia sebagaimana tercantum dalam Firman Allah Surat Al-Ahzab ayat 21.[18]
Maka pertanyaannya adalah, bagaimana pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah
mampu memberdayakan kemampuan peserta didik dalam menjawab persoalan kehidupan
manusia?
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis
pembelajaran sīrah Nabawiyah dengan mendirikan sebuah markaz sīrah
Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan sebuah center pusat studi (edukasi,
riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau rekam jejak
perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Program kegiatan diantaranya, edukasi
yaitu: pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat
berbasis Masjid, kedua, pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan
praktik) kepada keluarga. Untuk menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris
merupakan fardlu kifayah pada setiap kematian atau dengan
mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7) yang merupakan bagian
Mawaris, ketiga Kajian Islam Dasar Intensif (KDII), yaitu kajian,
materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait dengan sīrah
Nabawiyah.[19]
C.
Pendidikan Karakter
dalam Perspektif al-Qur’an
Berangkat dari realitas kehidupan, Allah
mengutus Muhammad untuk dapat melakukan transformasi budaya dari masyarakat
jahiliyah menuju masyarakat yang berperadaban, dari masyarakat yang biadab
menuju masyarakat yang beradab. Untuk itu, misi utama kenabiannya adalah
akhlak, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Aku hanya
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Misi utama ini bukan sekedar simbol, semboyan,
atau jargon untuk menarik simpati audiens,
tetapi Rasulullah sendiri terlebih dahulu menghiasi dirinya dengan
akhlak mulia berupa kejujuran dan amanah. Itulah sebabnya sehingga
Allah menjunjung tinggi Rasulullah dalam Q.S. al-Qalam/68: 4:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang luhur.”[20]
Menurut Quraish Shihab, ayat ini mengesankan
bahwa Nabi Muhammad saw. berada di atas tingkat budi pekerti yang luhur, bukan sekedar
berbudi pekerti luhur. Allah menegur Rasulullah jika bersikap dengan sikap yang
hanya baik dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang di nilai sebagai
berakhlak mulia. Keluhuran budi pekerti Nabi saw. yang mencapai puncaknya itu
bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan Innaka (sesungguhnya engkau),
tetapi juga dengan tanwin (bunyi dengung) pada kata khuluqin dan huruf lam
yang digunakan untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata ‘ala
disamping kata ‘ala itu sendiri.[21]
Allah swt. juga berfirman dalam Q.S.al-Ahzab/33:
21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“(Demi Allah) Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”[22]
Quraish Shihab mengemukakan, bahwa Zamakhsyari
ketika menafsirkan ayat di atas ada dua kemungkinan tentang maksud keteladanan
yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama, dalam arti kepribadian
Rasulullah secara totalitasnya adalah teladan. Kedua, bahwa dalam
kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama
lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama.[23]
Dari keterangan di atas, dapat dijelaskan
bahwa konsep pendidikan karakter dalam al-Qur’an, dapat ditemukan melalui tiga
dimensi, yaitu pertama, akhlak kepada Allah (kecerdasan spiritual), kedua,
akhlak terhadap diri sendiri (kecerdasan emosional), ketiga, akhlak
terhadap makhluk Tuhan yaitu manusia dan lingkungan (kecerdasan sosial).
Akhlak kepada Allah dapat di implementasikan
dalam bentuk ketaatan, keikhlasan, syukur, sabar, tawakkal, mahabbah, dan
sebagainya. Dengan kata lain, akhlak ini lebih mengacu pada keterampilan,
kemampuan, dan usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan dengan Allah
atau dengan istilah lainnya “kecerdasan spiritual”. Kecerdasan ini melahirkan
kepekaan yang mendalam dalam rangka menegaskan wujud Tuhan, melahirkan
kemampuan untuk menemukan makna hidup, serta memperhalus budi pekerti. Inilah
yang melahirkan apa yang di istilahkan dengan mata ketiga atau indera keenam
bagi manusia, sehingga mampu mengantarnya menuju serta memuja suatu realitas
yang Maha sempurna, tanpa cacat, tanpa batas, dan tanpa akhir, yakni Allah.
Adapun tolok ukur kecerdasan ini dilihat dari segi sejauh mana intensitas
komunikasi spiritual seseorang dengan Tuhan-Nya yang termanifestasi dalam
bentuk frekuensi do’a, kedalam mahabbah yang bersemayam dalam hati, serta rasa
syukur kehadirat-Nya.[24]
BAB V
KESIMPULAN DAN
SARAN
A.
KESIMPULAN
Pendidikan
bukan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya, tetapi harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan. Pendidikan tidak harus selamanya dikorbankan dengan tuntutan perubahan yang
terjadi dimasyarakat, seharusnya dilihat sebagai proses utuh dan komprehensif
diri dan keterlibatannya dengan konteks konkrit setempat, yang diharapkan pada akhirnya peserta didik tidak tercabut dari akar sejarah hidup masyarakatnya. Di perlukan sebuah komitmen moral
untuk membangun dunia pendidikan yang humanis, egaliter, kreatif, dan
demokratis dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal (local of
wisdom), sehingga peserta didik tidak menjadi sosok-sosok
liyan (terasing) pada lingkungannya.
Di samping itu
seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan (capability), kompetensi
akademik yang memadai sebagai upaya memberikan ruang, jalan bagi pemahaman
agama yang baik dan benar terhadap peserta didik agar tidak terkontaminasi dinamika
modernitas yang hipokrit dan permisif, sehingga nantinya pendidik bisa menjadi
pemandu, pembimbing bagi peserta didik dalam menterjemahkan dan memahami
nilai-nilai idealisme pendidikan, terutama pendidikan agama secara kontekstual,
dengan pendekatan yang humanis, inklusif dan egaliter, sebagaimana dalam ajaran
Islam bahwa Islam datang dan hadir sebagai rahmatan lil ‘alamīn.
B.
SARAN
Setelah
penulis menguraikan bahasan sirah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter
dalam perspektif al-Qur’an, selanjutnya penulis mengajukan beberapa saran:
1. Seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, serta
merebaknya dekadensi moral dan timbulnya kegersangan spiritual, maka sirah
nabawiyah ini layak diterapkan dan dijadikan pertimbangan sebagai solusi
alternatif dalam memecahkan problem masyarakat dalam bidang pendidikan Islam.
2. Kepada seluruh civitas akademik, agar dapat mengembangkan
keilmuannya secara dinamis sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman tanpa
mengabaikan nilai-nilai moral serta niai agama
DAFTAR PUSTAKA
Muhajir, As’aril. 2001. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Fromm, Erich. 1972. Psychoanalysis and Religion. Yale
University Press
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter
Perspektif Islam, Cet. II, Bandung: Remaja Rosdakaya,
Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Sadir, t.th.
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
al-Mursifi, Sa’ad. 1994. al-Jami’ al-Sahih Li al-Sirah
al-Nabawiyah. Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah.
Bashier, Zakaria. 1990. Sunshine at Madinah.
Leicester: The Islamic Foundation.
al-Buti, Sa’id Ramdhan. 1999. Fiqh al-Sirah
al-Nabawiyah Ma’ Mujaz Li Tarikh al-Khilafah al-Rashidah, Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah
Lisirah al-Mustafa Salla Allahu ‘Alaih wa Sallam wa Ma Yantawi ‘Alaih Min ‘Izat
wa Mabadi’ wa Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr.
John M. Echols dan Hasan Shadily. 1979. Kamus
Inggris Indonesia. Cet. VII. Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Cet. XVI.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Abdul Majid dan Dian Andayani.
2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Cet. II. Bandung: Remaja
Rosdakaya.
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury. 2000. Sirah Nabawiyah,
Pustaka Al-Kautsar.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan
Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta Media, t.th.
Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah;
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. XIV. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Muhajir,
As’aril, 20011, Ilmu Pendidikan
Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 38.
[3] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakaya, 2012), h.
112.
[8] Sa’d al-Mursifi, al-Jami’ al-Sahih Li
al-Sirah al-Nabawiyah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 1994), h. 62.
[11] Sa’id Ramadan al-Buti, Fiqh
al-Sirah al-Nabawiyah Ma’ Mujaz Li Tarikh al-Khilafah al-Rashidah, Dirasah
Manhajiyah ‘Ilmiyah Lisirah al-Mustafa Salla Allahu ‘Alaih wa Sallam wa Ma
Yantawi ‘Alaih Min ‘Izat wa Mabadi’ wa Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), h.
15.
[12] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 107.
[16] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakaya, 2012), h.
112.
[18] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 245.
[19] Musthafa as-Shiba’I, Ringkasan Sirah
Nabawiyah, cet. 1, (Banyuanyar Solo: Ahad Books, 2013), h. 10.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan
Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, t.th), h. 564.
[21] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan,
Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
244.
[23] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Tematik Atas Pebagai Persoalan Umat, Cet. I, (Jakarta: Mizan, 2013), h. 70.
Lihat pula Vol. 10, h. 439.
[24] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Memfungsikan
Wahyu Dalam Kehidupan, Jilid 2, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h.
206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar