Kamis, 27 Oktober 2016

PANDANGAN ISLAM MENGENAI KONSEP AL- QUR’AN MENURUT MUSLIM LIBERAL

PANDANGAN ISLAM MENGENAI KONSEP AL- QUR’AN MENURUT MUSLIM LIBERAL

Abstrak
Al- Qur’an merupakan sumber pemikiran Islam dan landasan pokok dari setiap permasalahan. Didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat manusia dan merupakan sumber ilmu yang terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis yang abadi bagi setiap umat.
Namun seiring berjalannya waktu, umat Islam semakin melalaikan Al- Qur’an. Meletakkan Al- Qur’an sebagai sumber ilmu dan pedoman sekunder setelah rasio. Bahkan dewasa ini banyak kita temui golongan yang menyalah artikan Al- Qur’an dan membuat propaganda seputar Al- Qur’an.
Seiring dengan perkembangan Islam di zaman modern, Muslim Liberal pun muncul dengan ideologinya yang mengusung tema ‘kebebasan’. Mereka banyak berkiprah dalam organisasi dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk berpolitik bersama menyerang Islam dan asas primernya yaitu Al-Qur’an.
Muslim Liberalpun mulai menelurkan argumen-argumen mereka tentang Islam dan konsep Al-Qur’an dan tafsirnya. Namun, argumen mereka sama sekali tidak sesuai dengan hakikat Islam dan konsep hakiki Al-Qur’an. Karena pendapat mereka penuh dengan propaganda dan kekeliruan.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Muslim Liberal, Hakekat al-Qur’an


PENDAHULUAN
              Telah banyak ulama yang menjelaskan tentang konsep Al- Qur’an. Telah banyak pula ulama yang menafsirkan Al- Qur’an ke dalam berbagai tema keilmuan. Mengingat Al-Qur’an merupakan pedoman yang absolut bagi kehidupan setiap manusia. Dan landasan primer bagi setiap perbuatan sebelum akal.
              Namun pada hakikatnya pemahaman umat Islam tentang Al- Qur’an masih sangat kurang. Bahkan dewasa ini, masih banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam kesesatan karena salah memahami Al- Qur’an.
              Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah tinjauan Islam perihal konsep Al- Qur’an menurut para Liberalis Islam. Mengingat semakin maraknya kesalahpahaman umat Islam atas Al- Qur’an yang timbul karena argumen para Liberalis, khususnya Liberalis Islam.
              Fenomena kesalahpahaman tersebut juga berakar dari minimnya pemahaman umat Islam zaman sekarang terhadap Al- Qur’an. Maka dari itu diperlukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat muslim Indonesia perihal keagungan Al- Qur’an dan segala keutamaan Al- Qur’an, agar tercipta masyarakat yang senantiasa menjaga Al- Qur’an dan mentadabburi Al- Qur’an.
              Dalam makalah ini, penulis ingin mengkaji pandangan liberalis Islam tentang konsep Al- Qur’an dan bagaimana Islam menyikapi pandangan tersebut. Karena banyaknya kesalahpahaman masyarakat Islam tentang Al-Qur’an. Dan mulai marak munculnya oknum-oknum yang berencana merusak Al-Qur’an dan Islam.
Hakikat Konsep Al-Qur’an Al-Karim
Al- Qur’an Al- kariim adalah sebuah kitab suci Allah SWT yang telah ia benamkan ke dalam kalbu Rasulullah Muhammad SAW. Untuk memberi petunjuk kepada manusia dan seluruh alam semesta.[1] Ia disebut dengan Al- Qur’an karena ia mampu menghimpun dan mengompilasi intisari dari semua kitab dan wahyu Allah yang sebelumnya telah diwahyukan kepada Nabi- Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.[2]
Al- Qur’an Al- kariim juga merupakan sumber dan pedoman yang sangat produktif untuk meneguhkan keilmuan manusia, mengidupkan hati yang telah mati, serta mengarahkan manusia menuju kecerdasan.[3]



Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Aku telah meninggalkan padamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan tersesat sesudahku, yaitu kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya”[4]

Al- Qur’an memiliki pengaruh yang luar biasa kepada setiap makhluk Allah, khususnya manusia. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya :
“Sekiranya Kami turunkan Al- Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Dan perumpamaan- perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka berpikir”.

Keagungan Al-Qur’an membuat para sahabat begitu memuliakan Al-Qur’an, bahkan para sahabat senantiasa mengamalkan Al-Qur’an dan meneladani setiap ayat yang turun pada saat itu. Sahabat tidak belajar Al-Qur’an untuk menambah keilmuan dan mengharap pahala. Namun para sahabat mempelajari Al-Qur’an untuk mentransformasi nilai-nilai kebaikan dalam Al-Qur’an kedalam hidup mereka.
Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa mentadabburi Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai tolak ukur dari setiap perilaku. Dan jika umat Islam mampu mentadabburi Al-Qur’an dan mentransformasikan nilai Al-Qur’an dengan baik dan benar, maka ia akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi hidup setiap Muslim. Al-Qur’an dapat bertransformasi menjadi pedoman, obat penawar, ensiklopedi, dan rahmat bagi mereka.[5]

Konsep Al-Qur’an dalam Prespektif Muslim Liberal
Sebelum kita mengkaji lebih dalam tentang pandangan Muslim Liberal terhadap Al-Qur’an, hendaknya kita memahami definisi Liberal dan Islam Liberal terlebih dahulu. Berikut ini adalah penjelasan seputar Liberal dan Islam Liberal.

Definisi Liberal dan Islam Liberal
Kata liberal diambil dari bahasa Latin liber yang artinya bebas dan bukan budak. Istilah ini lahir pada sekitar tahun 1512 ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, yang mencatat beberapa hak yang diberikan Raja kepada bangsawan bawahan. Dan dengan kata lain, charta ini akan membatasi kekuasaan raja dan memberikan kebebasan kepada bangsawan bawahan.
Makna bebas inilah yang kemudian menjadi sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka gerbang kebebasan berfikir (The Old Liberalism). Dari sinilah kata liberal berkembang sehingga memiliki berbagai makna.
Sedangkan ‘Islam Liberal’ sendiri memiliki kaitan erat dengan paham Liberalisme. Paham ini lahir saat para cendikiawan Barat berupaya melakukan suatu gerakan yang diberi nama Liberalisasi Pemikiran Islam.
Liberalisasi Pemikiran Islam adalah suatu gerakan yang lahir dan berkembang di Barat. Gerakan ini dipengaruhi cara berpikir manusia Barat sekuler.ketika paham ini menyerang pemikiran Islam, manusia bebas menafsirkan agama sesuai pemikirannya masing-masing. Serta manusia cenderung ingin bebas dari tuhan. Sehingga perkara yang jelas haram menjadi halal, dan perkara yang jelas wajib menjadi sunnah, dan seterusnya.
Tren Islam Liberal ini ternyata bukan berasal dari anak muda yang mengalami pubertas intelektual. Tapi setelah diidentifikasi, ternyata aliran ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh  cendkiawan Islam yang tidak muda lagi, seperti Jalaludin rahmat, Asghar Ali, Mohammed Arkhoun, Nurcholis Madjid, dan lain sebagainya.[6]
Gerakan Liberalisasi Pemikiran Islam ini telah menghabiskan banyak dana, namun masih belum cukup untuk mem-Barat-kan Islam. Proyek Liberalisasi Pemikiran Islam  ini mencakup upaya untuk membongkar aspek teologi dan epistemologi sehingga mampu merubah keyakinan umat Islam terhadap Al- Qur’an, Hadits, Hari Akhir, Otoritas Agama, dan Hukum Islam.
Strategi lain yang dilakukan para Muslim Liberal adalah dengan mengubah penafsiran Al- Qur’an, menyebarkan paham Pluralisme Agama, menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca kemajuan serta menanamkan paham relativisme[7] ke dalam hati umat Muslim.[8]
Pandangan Muslim Liberal terhadap Al-Qur’an
Muslim Liberal berpendapat bahwa tafsir yang menjadi pedoman para Ulama bersifat relatif. Para Muslim liberal juga sangat anti terhadap fatwa Majelis Ulama ataupun sejenisnya. Mereka menganggap bahwa orang- orang seperti Al- Qaradhawi dan Sayyid Quthb adalah orang yang sesat dan menyesatkan karena memberi fatwa.[9] Karena mereka menganggap ulama yang memberi fatwa hanyalah manusia biasa yang pendapatnya tidak wajib dilaksanakan.[10]
Sudah banyak Ulama yang melakukan kritik terhadap pemikiran para Muslim Liberal yang melenceng. Namun hal tersebut tidak pernah membendung usaha mereka untuk terus menciptakan keraguan umat Muslim atas hakikat Islam.
Jika kita mencermati berbagai fenomena tentang perkembangan paham liberal dikalangan umat Islam, setidaknya ada 3 aspek penting yang dewasa ini sedang mengalami Liberalisasi, yaitu Syari’at Islam, Aqidah Islam, Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an.
Dewasa ini gerakan desakralisasi[11] dan dekonstruksi[12] Al-Qur’an melalui berbagai tulisan rupanya sudah mulai merambah. Telah banyak aksi studi kritis terhadap Al- Qur’an yang dilakukan oleh beberapa institusi Islam di Indonesia.
Hal ini berakar dari liberalisasi yang sedang merajalela. Bahkan karena asas HAM, manusia rela menginjak-injak kesucian Al-Qur’an, dan meragukan otentisitas Al-Qur’an. Dan yang lebih parah, mereka menganggap Al-Qur’an sebagai produk buatan manusia. Berikut ini pedapat beberapa Muslim Liberal tentang Al-Qur’an dan tinjauan Islam terkait pendapat tersebut:
1). Pendapat Muhammad Ali
Muhammad Ali adalah dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga alumnus MSc Islam dan Politik Edinburg, Inggris. Ia memiliki pandangan pluralism yang sangat kental. Ia menilai bahwa  Al-Qur’an merupakan fondasi otentik pluralisme. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an telah mengakui perbedaan bahasa dan warna kulit, kemajemukan suku, dan membiarkan sinagog, gereja, dan biara berdiri kokoh. Bahkan ia menilai bahwa Al-Qur’an mengakui kebebasan berkeyakinan. Ia juga berpendapat bahwa penganut Yahudi, Islam dan Kristen adalah saudara seiman dan sebapak, yaitu Ibrahim.
2). Pendapat Sumanto Al- Qurthuby[13]
Dalam bukunya yang berjudul “Lubang Hitam Agama” ia mencetuskan beberapa argument yang menohok umat Islam. Dalam bukunya tersebut ia menuliskan bahwa Al-Qur’an tak lain adalah perangkap yang dipasang bangsa Quraisy.
Kemudian ia menambahkan dalam tulisannya, “bahwa penjelasan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT sungguh tidak memadai. Baik proses terbentuknya Al-Qur’an maupun aspek material dalam Al-Qur’an sungguh dipenuhi ambivalensi. Karena itu, tidak tepat bila Al-Qur’an disebut kitab suci yang sakral dan dimitoskan.”[14]
Ia juga melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir Al-Qur’an tentang kisah Nabi Luth dan konsep pernikahan, yaitu Al-Qur’an surat Al- A’raf ayat 80-84. Ia mengemukakan bahwa ayat tentang pengharaman nikah sesama jenis hanyalah untuk kepentingan Nabi Luth saja, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki yang homoseksual.
Dia menulis dalam bukunya sebagai berikut, Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak tercapai, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua lelaki tersebut tidak normal. Istri Luth bias memahami keadaan kedua lelaki homoseksual tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Namun istri Luth malah dianggap melawan suami. Kenapa Luth menilai buruk kedua pria tersebut? Sejauh yang saya tahu, Al-Qur’an tidak member jawaban yang jelas. Dan kebencian Luth terhadap homoseksual hanyalah karena faktor kecewa dan salah paham”[15]
Apabila kita kaji secara seksama, tentu saja tafsir Sumanto Al- Qurthuby tersebut bertentangan dengan agama Islam dan Al-Qur’an yang begitu memuliakan Nabi Luth sebagai utusan Allah SWT. Perihal kisah Nabi Luth itu sendiri, Al-Qur’an sudah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana terkutuknya kaum Luth yang merupakan pelaku homoseksual.
3). Pendapat Zuhairi Miswari Lc
Ia adalah pemuda yang aktif di dunia kepenulisan. Ia menjadi pimpinan redaksi buletin INFORMATIKA, ia juga menjadi redaktur majalah QOLAM, dan saat ini ia mendirikan LSIP ( Lembaga Studi Islam Progresif). Dalam organisasi tersebut ia aktif menyuarakan liberalisme Islam dan pluralisme agama.
Ia pernah menulis artikel di harian Republika pada 8 Desember dengan judul pluralisme berbasis Al-Qur’an. Ia berargumen dalam artikelnya tersebut bahwa dalam surat Al- Baqarah ayat 62, telah dijelaskan secara eksplisit bahwa umat agama-agama lain akan masuk surga.  Maka dari itu, orang-orang beriman, Yahudi, Kristen, dan Sabi’in tidak perlu bersedih.
Beberapa saat setelah itu, argumen tersebut ditanggapi oleh DR. Syamsudin Arif, Doktor Pemikiran Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, Malaysia. Ia menulis artikel di harian yang sama dengan judul Misinterpretasi ayat pluralisme. Syamsudin menuturkan, “Untuk memperoleh pemahaman yang jujur dan jernih perihal ‘ayat pluralisme’, sebaiknya kita tidak mengabaikan konteks siyaq, sibaq,serta lihaq ayat tersebut. Mari kita lihat konteks ayat yang mendahuluinya, yaitu Al- Baqarah ayat 41-68.
Secara eksplisit Allah SWT mengecam sikap dan perilaku ahlu kitab yang ingkar, gemar memelintir kebenaran, menuruti hawa nafsu, mempermainkan agama, dan menimbulkan permusuhan.
Dan selanjutnya mari kita lihat ayat yang mengikutinya, terutama surat Al- Maidah ayat 78-86 yang menjadi konteks lihaq ‘ayat pluralisme’ dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa Allah akan menyanjung umat Yahudi dan Nasrani, apabila mereka mau beriman kepada Nabi Muhammad SAW.” [16]
Dari sini sudah sangat jelas bahwa tafsir Zuhairi ini bertentangan dengan prespektif islam dan pandangan Al-Qur’an. Para Ulama pun bertanya-tanya, dimana letak keistiwaan Islam apabila semua agama akan selamat? Selain itu, dalam surat Ali ‘Imran ayat 85 telah dijelaskan bahwa orang orang yang menentang agama Islam akan merugi di Akhirat:
Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam,dia tidak akan diterima, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”.[17]

4). Pendapat Abu Zayd[18]
Abu Zayd adalah seorang Muslim Liberal yang aktif dalam melakukan studi kritis terhadap Al- Qur’an.Bahkan dalam studi terbarunya, ia memperkenalkan metode baru tentang kritik nalar Al-Qur’an. Metode ini diadopsi dari hermeneutika. Yaitu metode pembedahan dan studi kritis Bibel yang awalnya tumbuh dari tradisi Kristen, yang kemudian berkembang di kalangan filsuf Barat.
Tak hanya itu, untuk mendukung metodenya tersebut, Abu Zayd juga merasa prlu untuk mereposisi dan mendekonstruksi Al-Qur’an serta konsepnya sebagai Kalamullah.
Ia memposisikan Al-Qur’an sebagai wahyu yang selama 22 tahun telah berbaur dengan unsur budaya lokal, dan karena itu, Al-Qur’an mengandung unsur manusiawi yang berhak dikritik.[19]
Hal ini jelas sekali salah menurut pandangan Islam. Karena hakikat Al-Qur’an adalah kitab suci yang abadi, serta pedoman hidup yang tidak mengenal waktu dan tempat. Dan Al-Qur’an diciptakan untuk memecahkan permasalahan umat di segala periode. Maka apabila seorang Muslim ingin memecahkan problematika hidupnya, ia harus banyak menggali ilmu dan mentadabburi Al-Qur’an.[20]
5). Pendapat Jalaludin Rahmat ( Kang Jalal)
Sebelum menjadi Liberalis Muslim, Jalaluddin terkenal sebagai tokoh Syi’ah Indonesia. Namun setelah bukunya yang berjudul Islam Alternatif dan Islam Aktual terbit di Mizan, ia akhirnya beralih menjadi seorang Liberalis.
Argumen Kang Jalal tentang Al-Qur’an tercermin jelas saat ia menjelaskan konteks makna kafir dalam Al-Qur’an. Ia berpendapat bahwa kata kafir dan deviasinya dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan sebagai akhlak yang buruk. Dalam Al-Qur’an, kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan non-muslim. Definisi kafir sebagai non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja. Jadi, ia berpendapat bahwa kafir adalah label moral dan bukan label akidah.
Argumen tersebut sangat jelas bertentangan dengan konsep Islam dan Al-Qur’an. Karena  karena Islam sendiri telah mengajarkan kontradiksi antara benar dan salah. Begitupula kontradiksi antara Muslim dan Kafir yang telah banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an.[21]
6). Pendapat A. Moqsith Ghazali
Ia menulis buku berjudul Metodologi Studi Al-Qur’an, pada bulan Desember 2009 bersama Luthfi Syaukani, dan Ulil Abshar Abdalla[22]. Bukunya berisi bertujuan untuk menyebarkan keraguan dan kerancuan seputar otritas dan autentisitas mushaf Utsmani, mendekonstruksi konsep wahyu, dan pembaharuan metodologi Tafsir Al-Qur’an.
Pendapat petamanya adalah adanya kesalahan gramatikal dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti An-Nisa ayat 162:
لّٰكِنِ الرّٰسِخُونَ فِى الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ ۚ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَوٰةَ ۚ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَوٰةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ أُولٰئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
Ia menganggap bahwa Al-Qur’an adalah kitab biasa yang mengandung kesalahan gramatikal. Ia juga mencampur adukkan hermeneutika dengan tafsir Al-Qur’an.
Ia juga mengkritik metode tafsir Al-Qur’an klasik dan menawarkan metode tafsir alternatif. Ia memandang rendah tafsir Al-Qur’an klasik di dalam bukunya. Ia menilai bahwa metode lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik dalam menyulih atau bahkan menganulir ketentuan legal dalam islam yang tidak relevan.
Ia juga berpendapat bahwa metodologi tafsir Al-Qur’an klasik kurang menghiraukan kemampuan manusia untuk merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat itu sendiri. Selain itu, ia juga memandang bahwa tafsir klasik terlalu kaku dan mengabaikan realitas.

Rasyid Ridha akhirnya angkat bicara dan mulai mengomentari pendapat A. Moqsith Ghazali yang sangat keliru tersebut.
“Para musuh Islam gegabah mengklaim adanya kesalahan gramatikal dalam Al-Qur’an . ini adalah suatu kedunguan dan kejahilan. Hanya karena berpatokan pada kaidah nahwu, padahal nahwu hanya menyimpulkan fakta bahasa dan bukan di baliknya. Kalau kaidah nahwu itu tidak mampu mengakomodasi penuturan orang Arab asli, itu karena kelemahan nahwu. Karena semua bentuk penuturan orang Arab adalah bahasa Arab yang fasih”.[23]

Tinjauan Islam Tentang Konsep Al-Qur’an Menurut Liberalis Islam
Kesimpulan Nasr Hamid bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya tidak tepat. Ketika diturunkan secara gradual, Al-Qur’an ditentang dan menentang budaya Arab jahiliyah saat itu. ketika menyampaikan agama Islam, Rasulullah SAW ditentang dengan menuduh Rasulullah sebagai orang gila lalu Allah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 6 yang artinya:
     “Mereka berkata: Hai orang-orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.”[24]

Sebab Kesalahan Muslim Liberal Dalam Mengkaji Al- Qur’an Dan Tafsir Dalam Prespektif Islam
Kita telah mengkaji beberapa pedapat dan argumen para Liberalis Muslim tentang Al-Qur’an baik secara teks maupun kontekstual. Kesalahan pada pandangan  Liberalis Muslim terhadap Al-Qur’an berakar  dari ketidakpahaman  atas konsep Al-Qur’an dan hakikat agama Islam. Berikut ini beberapa sebab kesalahan presepsi Muslim Liberal tentang Al-Qur’an, diantaranya:
Pertama, Mencampuradukkan antara penggunaan hermeneutika dan tafsir  Al-Qur’an tanpa memperhatikan bahaya yang timbul saat kedua metode ini digabungkan. Dengan kata lain, Muslim Liberal menyamakan kitab suci Al-Qur’an dengan kitab suci kaum Nasrani.
Kedua, Muslim Liberal tidak mengkaji Al-Qur’an secara menyeluruh dan tidak memperhatikan konteks ayat yang mendahuluinya (sibaq), konteks ayat setelahnya (lihaq). Sehingga banyak timbul kesalahpahaman atas konteks Al-Qur’an.
Ketiga, Ketidakpahaman kaum Liberalis terhadap Islam dan Al-Qur’an yang pada akhirnya membuat mereka menerima doktrin dan paham yang salah dari barat dan bahkan berusaha memadukannya ke dalam Islam.
Keempat, Para Liberalis menafsirka Al-Qur’an bukan atas dasar tadabbur dan tidak didasari hati yang bersih. Sehingga nilai penafsirannya cenderung bersifat kritis dan menjatuhkan Islam.
Kelima, Selain itu, sebagai seorang mufassir , mereka masih belum memenuhi syarat dan masih banyak aspek keilmuan yang masih belum mereka kuasai. Karena lazimnya seorang mufassir setidaknya harus benar benar paham tentang 10 aspek keilmuan dalam Al-Qur’an. Seperti Ilmu bahasa Arab, Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Psikologi dan Antropologi, Ilmu Biologi, Ilmu Alam Semesta, Nasikh dan Mansukh, Ilmu Qira’at, dan Sejarah Peradaban Islam,Asbabun Nuzul , dan lain sebagainya.[25]
Demikian kita telah mengetahui letak kesalahan presepsi Muslim Liberalis tentang Al-Qur’an, serta mengetahui sebab kesalahan tafsir dan presepsi Muslim Liberal. Maka dari kesalahan ini, kita perlu lebih berhati-hati dalam menyikapi setiap hal , terlebih hal yang berhubungan dengan Aqidah dan Syari’at.

Cara Menangkal Arus Liberalisasi Islam

Memang cukup sulit menyikapi arus liberalisasi yang menyebar di sekitar kita, terlebih jika arus yang menyebar adalah presepsi dan pandangan menyimpang mereka tentang Al-Qur’an dan agama Islam. Karena, apabila kita terbawa arus tersebut, maka kita termasuk golongan orang yang menafikan keagungan Al-Qur’an dan menafikan Islam sebagai agama yang benar.
Maka berikut ini cara untuk menangkal dan menyikapi arus Liberalisasi yang sedang menyerang Al-Qur’an:
a.    Memposisikan Al-Qur’an sebagai asas primer pendidikan Islam, diatas segala asas.
b.    Menjadikan Al-Qur’an sebagai ‘manual guide’ bagi hidup manusia dalam menjalani hidupnya.
c.    Menjadikan Al-Qur’an sebagai laboratorium dan media eksplorasi rahasia alam semesta.
d.    Memposisikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan landasan hukum social bagi para Mukmin.
e.    Serta mempererat komitmen untuk beriman kepada Al-Qur’an dan Rasulullah SAW yang telah membawa kita menuju masa yang bercahaya.[26]
Selain kelima langkah tersebut, kita pun perlu mensosialisasikan pemahaman tentang Al-Qur’an ke tengah masyarakat awam. Agar nantinya tidak ada lagi generasi yang rusak karena ketidakpahaman mereka tentang Islam dan Al-Qur’an. Terlebih lagi, sasaran Liberalisasi adalah masyarakat yang masih belum paham tentang hakikat Islam dan generasi muda yang masih dipenuhi gejolak mencari kebebasan.
Selain itu, kita juga harus memahamkan kepada masyarakat bahwa konsep kebebasan dalam Islam sebenarnya adalah Ikhtiyar. Yang akar katanya berasal dari khayr (kebaikan), artinya bebas memilih antara yang baik atau yagng buruk. Namun ketika memilih, kita juga harus memilih dengan dilandasi ilmu.
Karena ketika kita tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kita tidak akan bisa menentukan pilihan. Maka sebagai generasi muda yang berilmu, hendaknya kita mempu menjaga diri dan umat Islam dari arus Liberalisasi yang menyerang Islam dan jantung agama Islam yaitu Al-Qur’an dengan cara menghidupkan Al-Qur’an, khususnya ke tengah masyarakat. 

KESIMPULAN
Setelah kita mengkaji pemikiran tokoh-tokoh Muslim Liberal tentang Al-Qur’an, kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran mereka tentang Al-Qur’an sama sekali tidak sesuai dengan hakikat Islam dan Al-Qur’an. Mereka mengkaji Al-Qur’an dengan menggunakan metode yang menyimpang dan salah kaprah.
Kesalahan pada tafsir dan kajian Liberalis terhadap Al-Qur’an disebabkan karena ketidakpahaman mereka akan Islam dan Al-Qur’an. Hal ini juga dilandasi atas visi mereka untuk memunculkan keraguan umat Islam terhadap Al-Qur’an.
Maka dari itu, upya yang harus kita lakukan adalah kembali menghidupkan generasi Qur’any ke tengah masyarakat dengan mensosialisasikan Al-Qur’an dan memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat awam dan remaja. Agar tidak terjadi kesalahpahaman remaja dan masyarakat terhadap Al-Qur’an yang berujung pada kesesatan.
Serta berusaha meneladani tadabbur Al-Qur’an ala sahabat Rasulullah SAW yang senantiasa mengamalkan ayat Al-Qur’an setelah menghafalnya. Serta menghidupkan Al-Qur’an dan menjadikan Al-Qur’an sebagai akhlak dan pedoman hidup mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mohammad Achyat. 2013. Liberalisasi Islam di Pesantren. cetakan I. Pustaka Sidogiri.
Gullen, Muhammad Fethullah. 2011. Adhwa-un Qur’aniyyatun fii sama’i Al- Wijdani. cetakan I. Penerbit Republika.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia. cetakan II. Hujjah Press.
Harb, Ali. 2012. Nalar kritis Islam Kontemporer. cetakan I. Penerbit Diva Press.
Ismail, Muhammad. 2013. Bunga Rampai Pemikiran Islam. cetakan I. Gema Insani.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2002. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. cetakan I. Pustaka Al-Kautsar.
May, Asmal. 2015. Melacak Peranan Tujuan Pendidikan dalam Prespektif Islam. Jurnal TSAQAFAH. Universitas Darussalam Gontor. volume 11 nomor 2
Salim, Fahmi. 2013.  Tafsir Sesat. cetakan I. Jakarta. Gema Insani.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2008. Liberalisasi Pemikiran Islam. Cetakan I. CIOS.
Agustin, Risa. Kamus Ilmiah Populer.
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Cetakan I. Gema Insani
Armas, Adnin. 2005. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. Cetakan I. Gema Insani
Rahman, Daden Robi. 2010. Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Cetakan I. Ponorogo. CIOS
Al Baqy, Muhammad Fu’ad Abdul. 2007. Al Mu’jam Al Mufahros. Kairo. Dar Al Hadits





[1] Muhammad Fethullah Gullen, Adhwa-un Qur’aniyyatun fii sama’i Al- Wijdani, cetakan I, 2011, penerbit Republika, hal 7
[2] Gullen, Adhwa-un Qur’aniyyatun fii sama’i Al- Wijdani , hal 8.
[3] Gullen, Adhwa-un Qur’aniyyatun fii sama’i Al- Wijdani, hal 9.
[4] Asmal May, Melacak Peranan Tujuan Pendidikan dalam Prespektif Islam, Jurnal TSAQAFAH, Universitas Darussalam Gontor, volume 11 nomor 2, hal 219
[5] Fahmi Salim, Tafsir Sesat, cetakan I, 2013, Jakarta, Gema Insani, hal 8.
[6] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, cetakan I, 2002, Pustaka Al- kautsar, hal 236.
                [7] Relativisme: Pandangan bahwa kebenaran itu tergantung pada waktu dan tempat, serta pikiran dan pandangan orang yang mengamati; tak ada kebenaran yang mutlak (Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer,Jakarta,Serba Jaya, hal 460)
[8] Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hal 122
[9]Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, cetakan I, 2008, CIOS, hal 94
[10] Syamsyudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan II, 2008, Gema Insani, Jakarta, hal 117
                [11]  Upaya penghapusan kesakralan; paham yang menganggap bahwa sesuatu itu tidak sakral.(Risa Agustin,Kamus Ilmiah Populer,Jakarta,Serba Jaya, hal 76)
[12]  Upaya membongkar sebuah konsep yang terkonstruk ke dalam metafisika kehadiran. Metode pendekatan upaya ini adalah dengan Gramatologi/ membongkar teks, dan diferansi / kerja membedakan dalam konsep ruang dan memandang konteks waktu dan kehadiran (Adnin Armas, Pluralisme Agama, Jakarta, INSIST, 2013, hal 130)
[13] Salah satu tokoh Muslim Liberal Indonesia, ia merupakan Pelopor ILHAM/ Institut Lintas Humaniora dan Islam, ia juga aktif dalam organisasi sosial keagamaan seperti Jaringan Islam Liberal, Jaringan Emansitoris P3M, dan koordinator Program Lakspekdam NU Jawa Tengah.
[14] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, hal 251
[15] Ibid.
[16] Ali Harb, Nalar kritis Islam Kontemporer, cetakan I, 2012, penerbit IRCiSoD, hal 16
[17]  Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hal 26
[18]  Ia memiliki nama lengkap Nasr Hamid Abu Zayd, ia merupakan intelektual Mesir dan Liberalis yang aktif dalam studi mengkaji Al-Qur’an. Bahkan dalam studi terbarunya, ia memperkenalkan metode baru tentang kritik nalar Al-Qur’an.
[19]  Mohammad Achyat Ahmad, Liberalisasi Islam di Pesantren,cetakan I, 2013, Pustaka Sidogiri, hal 244.
[20] Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, cetakan I, 2013, Gema Insani, hal 32.
[21] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, cetakan II, 2007,Hujjah Press 29
[22]  Ulil merupakan pendiri sekaligus koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang aktif dalam menyuarakan liberalisasi tafsir Al-Qur’an. Ulil menuai banyak kritik, dan atas kiprahnya mengusung gagasan pemikiran Islam Liberal itu, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam melebihi Nurcholish Madjid.(Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, cetakan II, Jakarta, 2007, Hujjah Press hal 262)
[23]  Fahmi Salim, Tafsir Sesat, hal 256
[24] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, cetakan. I, Jakarta, Gema  Insani, 2005
[25]  Fahmi Salim, Tafsir Sesat, hal 187
[26]  Salim, Fahmi,Tafsir Sesat, hal 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar