Kamis, 27 Oktober 2016

TEORI ALIENASI AGAMA KARL MARX

TEORI ALIENASI AGAMA KARL MARX
Oleh: Muhammad Thoriqul Islam/Af 5

     Dalam permasalahan keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama” ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup dan seterusnya.
       Sesungguhnya agama sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Adanya campur tangan dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada level historis-empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan. Hampir semua agama mempunyai institusi dan organisasi pendukung yang memperkuat, menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya, ada yang bergerak dalam wilayah sosial budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, politik, ekonomi, jurnalistik, paguyuban dan lain sebagainya.
            Unsur alienasi (pengasingan diri) yang digagas oleh Karl Marx dalam agama menambah rumitnya persoalan. Dalam hal ini, semua wilayah perbincangan dan persoalan keagamaan yang sebenarnya bersifat profan (mu’amalah ma’a al-nas) ikut-ikut dialiensikan.
            Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya”. Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik dari kapitalisme yang mengguncang pasca revolusi industri.
            Teori alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industri yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang mencoba untuk mandiri mengembangkan diri selalu terkotakkan oleh kaum borjuis.
            Dengan paham alienasi yang diciptakannya, Karl Marx dapat melahirkan Marxisme sebagai sebuah aliran ideology komunis yang menurutnya menjadi resolusi atas konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang bermasyarakat.
            Dengan jelas Marx menyebutkan bukanlah kepercayaan agama dan kebenaran tentang Tuhan, surga dan teks suci untuk melakukan perubahan mendasar terhadap kondisi masyarakat melainkan dengan peran kepercayaan dalam wujud perjuangan sosial.
Biografi Singkat Karl Marx
Karl Marx (1818-1883) lahir di Trier (Treves)[1], daerah Rhine di Jerman, pada tanggal 5 mei 1818. Ayahnya bernama Heinrich Marx, seorang pengacara borjuis yang berpindah agama dari agama yahudi menjadi agama protestan untuk dapat menjadi seorang pengacara. Pada usia 18 tahun setelah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, Dengan alasan sering mabuk-mabukan, berkelahi dan menghindari wajib militer dengan alasan kondisi kesehatan yang buruk kemudian ia pindah ke Univeristas Berlin[2] dan mempelajari filsafat. Pada masa kuliahnya pemikiran Marx banyak mendapatkan pengaruh filsafat Hegellianisme, lewat filsafat Hegel ia banyak mengkritik sistem politik di Jerman kala itu. Tahun 1941, ia di promosikan menjadi doctor dalam bidang filsafat yang desertasinya berjudul Natural Philosophis of Democritus and Epicurus (Falsafah alam Demokritus dan Epikurus).[3]

            Sebagai seorang yang berpandangan non kompromis, permohonanya menjadi dosen di universitas itu ditolak dengan alasan pemikirannya yang liberal dan radikal membuat kemustahilannya untuk menjadi professor di Berlin. Oleh karenanya Ia kemudian beralih menjadi seorang jurnalis yang kemudian membawanya menjadi pimpinan redaksi harian umum radikal, Rheinsche Zeitung, suatu profesi yahg mengantarkannya menjadi pemikir yang orisinil dan begitu bersemangat. Bermula dari menyerang agama melalui politik di Jerman, pada tahun 1843 jurnal harian yang dipimpinya dilarang terbit oleh pemerintah Jerman, lantas ia memutuskan pergi ke Perancis dan mengkaji masalah ekonomi dan sosial yang pada akhirnya dengan Freidrick Enggels teman yang menemaninya berjuang melawan kapitalisme. Pada tahun yang sama sebelum ia pindah ke Peranci, ia menikah dengan Jeny Van Westphaen putri dari tetangga dan sahabat lama keluarganya.
Kritik terhadap Agama
Jika membahas hal-hal yang termasuk ideologi dan superstruktur yang pada akhirnya akan masuk ke dalam pembicaraan tentang agama. Inti pandangan Marx dalam konteks ini sangatlah mengejutkan. Bila dilihat dan diperhatikan dengan seksama, Marx kadangkala membicarakan agama dalam ungkapan yang baik sekali, namun dalam kesempatan lain berubah menjadi sangat kasar dan kejam. Menurutnya, agama sama sekali adalah sebuah ilusi. Rasa takut adalah sebuah ilusi dengan konsekuensi yang sangat menyakitkan. Agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata. Agama adalah sebuah sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Walaupun doktrin satu agama berbeda dengan agama lain, namun bentuk-bentuk spesifik yang ada dalam masyarakat pada akhirnya tergantung pada satu hal, yaitu kondisi sosial kehidupan yang pasti juga bergantung pada kekuatan materi yang bisa mengatur masyarakat dimana pun dan kapan pun. Marx menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa adalah lambing kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan.
Perseteruan abadi ini, menurut Marx, mempunyai akar jauh yang melampaui sekedar perdebatan-perdebatan intelektual. Karena Marx sendiri telah masa mudanya telah memutuskan untuk menolak agama. Ketika itu dia menyatakan keyakinannya sebagai penganut ateis.
Marx menegaskan bahwa garis paralel antara agama dan aktivitas sosio-ekonomi harus ditarik. Keduanya sama-sama menciptakan aliensasi, agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural yang disebut Tuhan.
Agama adalah bagian dari superstruktur masyarakat dan ekonomi lah yang menjadi pondasinya. Maka bukti-bukti dari alienasi yang terdapat dalam agama tersebut harus dilihat sebagai refleksi, sebuah pantulan keterasingan manusia yang paling nyata, dan keterasingan ini lebih bersifat ekonomi dan material dari pada spiritual. Atas dasar inilah, tentu tidak sulit dipahami kenapa agama bagi kebanyakan masyarakat merupakan kekuatan terbesar dan tempat pelarian terakhir, karena agama memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan superstruktur-superstruktur yang lain dalam masyarakat. Agama mampu memberikan dan mengarahkan kebutuhan emosional manusia yang teralienasi.[4]
Menurut Marx, fungsi yang dimainkan agama dalam kehidupan masyarakat sama seperti candu pada diri seseorang, dengan agama, penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang terekspolitas dapat diringankan melalui fantasi tentang dunia supernatural tempat dimana tidak ada lagi penderitaan.
Pandangan problema studi agama menurut Karl Marx menyatakan bahwa, agama adalah nafas dari mahkluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari kebekuan yang tak bernyawa, candu masyarakat[5]
Alienasi dalam agama sebenarnya hanya merupakan ekspresi dari ketidak bahagiaan yang lebih dasar yang selalu bersifat ekonomi. Pertanyaannya mengapa eksistensi agama semakin terus “bercokol”? jawabannya adalah karena agama telah memperhatikan kebutuhan manusia yang teralienasi. Bahkan Marx mengatakan agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas dan merupakan ekspresi penderitaan ekonomi yang lain sekaligus protes melawan penderitaan yang riil.
Kritik yang dilakukan Marx tehadap agama pada asasnya adalah kritik terhadap “Lembah air mata” yang mahkotanya adalah agama.[6] Agama adalah ilusi semata, dan sebetulnya agama ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan setiap doktrin atau kepercayaannya demi manfaatnya sendiri. Kepercayaan manusi terhadap agama berawal dari kritisisme yang irreligious yaitu manusia membuat agama tetapi agama tidak membuat manusia. Terlebih agama telah mengambil sifat-sidat ideal moral dari kehidupan manusia yang dasar dan secara tidak wajar memberikannya kepada suatu wujud asing dan khayalan yang disebut dengan Tuhan. Bahkan agama dianggapnya terasa merampas kebaikan individu manusia dan memberikannya kepada Tuhan.
Agama seperti halnya sebuah ideologi, merefleksikan sesuatu kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka disiptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama. Mark menjelaskan dirinya tidak menolak kehadiran agama, melainkan menolak suatu sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama.
Agama merupakan kesadaran dan perasaan diri bagi manusia ketika ia belum berhasil menemukan dirinya dan ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk yang abstrak yang bercokol di luar dunia, melainkan manusia berada dalam dunia manusia, Negara dan masyarakat Kesengsaraan yang terjadi pada manusia merupakan kesengsaraan religius yang nyata sekaligus sebagai tindakan prortes terhadap kesengsaraan nyata itu sendiri.
Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak berkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Sehingga Marx menyatakan bahwa agama sebagai candu rakyat. Agama bukan saja sia-sia, tetapi juga merugikan. Ia merampas banyak kodrat dan martabat manusia dan mengalihkannya kepada suatu makhluk khayalan. Bahkan lebih-lebih agama merendahkan derajatnya dengan memberikan perasaan dosa pada manusia itu sendiri, dengan mengajarkan kerendahan hati pada agama, dengan membuat dirinya hina dihadapan dirinya sendiri, alih-alih lebih merugikan lagi Mark menjelaskan bahwa agama memberikan hiburan palsu. Maka oleh karena itu, Marx menerangkan penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan sejati.
Alienasi Agama
Agama merupakan refleksi keterasingan manusia semata yang mencoba untuk menghindarkan dirinya dari penderitaan sosial, karenanya agama hanya menjadi candu masyarakat yang hanya memberi penenang sementara, semu dan tidak mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan. (Karl Marx, 1818 – 1883)
Berbicara tentang Karl Marx, tidak lepas dari ungkapannya yang dinilai kontroversi seperti halnya ungkapan di atas. Semenjak awal Marx tidak mempercayai akan keberadaan agama, bahkan Tuhan dianggapnya tidak ada, Tuhan ada karena dicipatakan oleh alam pikiran fantasi manusia yang keliru. Marx sebagai salah satu pemimpin ideologi komunis secara terang-terangan menyebutkan ketidak percayaannya terhadap agama secara universal.[7] Dengan paham yang diciptakannya itu dia dapat melahirkan Marxisme sebagai sebuah aliran ideologi komunis yang menurutnya menjadi resolusi atas konflik yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang yang bermasyarakat.[8]
Alih-alih komunisme mengklaim tidak hanya menghadirkan suatu teori yang luas tentang politik, masyarakat dan ekonomi melainkan juga suatu visi kehidupan manusia yang betul-betul memaksa, penuh dengan sikap filsafat tentang tempat manusia di dunia natural, suatu penjelasan tentang semua sejarah di masa lalu dan suatu ramalan tentang apa yang masih akan datang.[9] Dengan jelas Marx menyebutkan bukanlah kepercayaan agama dan kebenaran tentang tuhan, surga dan teks suci untuk melakukan perubahan mendasar terhadap kondisi masyarakat melainkan dengan peran kepercayaan dalam wujud perjuangan sosial.
Masyarakat menurut Marx dibagi menjadi empat tahapan:
Pertama, mayarakat tradisional (Komunisme Primitif) sebagai bentuk masyarakat awal yang sederhana, dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan dengan cara berburu dan nomaden.
Kedua, masyarakat feodal yaitu suatu kondisi masyarakat yang sudah mengenal kepemilikan pribadi sebagai modal untuk mendapatkan keuntungan besar dari kepemilikannya itu sehingga pada bentuk masyarakat ini mengalami ekploitasi oleh pemilik modal.
Ketiga, masyarakat kapitalisme yang memperkenalkan aktivitas komersial motif mencari keuntungan dalam skala besar oleh kamum borjuis atas perolehan usaha dari kaum proletar. 
Keempat, masyarakat sosialisyang mencoba untuk menghapus eksploitasi oleh kaum borjuis melalui revolusi sosial melalui penggorganisasian dan gerakan buruh.
Kelima, masyarakat komunis modern, dalam sistem sosialsi ini hanya merupakan transisi karena masih menyembunyikan kepentingan antara penguasa dan rakyat yang digiring untuk menjadi bagian dari masyarakat yang humanis.
Seperti apa yang telah diungkap sebelumnya, Marx secara terbuka tidak mendukung total atas keberadaan suatu agama. Seperti apa yang dikemukakan Daniel L. Pals bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan sejak awal berkenaan dengan Karl Marx. 
Pertama, bentuk komunisme, Marx hanya memberikan suatu teori tentang agama, bukan sebuah pemikiran total yang dengan sendirinya menyerupai sebuah agama. Dan yang lebih penting apa yang dihadirkan Marx dalam pemikirannya bukanlah suatu catatan tentang agama secara umum melainkan suatu analisis tentang agama Kristen dan agama lainnya yang serupa dengan menekankan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan eskatologi. Sehingga dalam pemikirannya hanya pemikiran Kristen yang semula memberikan pengaruh atas modal dasar teori yang telah dicetuskannya itu ketika ia mengemukakan bahwa agama sebagai pelarian orang miskin dari penderitaan dan penindasan ekonomi.
 Kedua, filsafat Marx begitu jauh jangkauannya, apa yang ia tawarkan sebagai suatu “teori” tentang agama tradisional merupakan bagian yang agak kecil dan tidak mesti sentral dari pemikirannya.
Dan hal yang berkenaan dengan pemikiran Karl Marx dalam teori-teorinya tentang agama maupun ekonomi, membuat seseorang berpesan untuknya sebagai “nabi tanpa wahyu”, dia berpendapat bahwa Marx boleh jadi “hatinya beriman tapi otaknya kafir”. Dari pesan ini baiknya, Marx kembali kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan ini tertuangkan dalam Javid Namah “orang Barat kehilangan visi tentang surga, mereka berburu mencari spirit murni dari perut”[10].
Marx menyatakan bahwa, cenderung mengedepankan sisi materialisme dibandingkan sisi idelaismenya dalam mengungkap teori tentang agama. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan Marx yang lain “Bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduah dan berpakaian sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama”[11]
Dalam ungkapannya ini dapat diketahui bahwa manusia hidup dalam duni yang riil, bukan dalam dunia ilusi. Segala yang hakiki adalah bersifat materil bukan yang immateri sehingga dalam kehidupan di dunia ini yang nyata dan utama adalah materi (natural dan bukan supranatural). Ungakapan Marx ini merupakan pandangan atas tesis Hegel tentang materi dan pikiran yang menyatakan bahwa hal-hal mental-ide, konsep adalah fundamental bagi dunia, sementara benda-benda materi selalu sekunder; benda-benda itu adalah ungkapan fisik dari roh universal yang dasar atau ide yang absolut.[12]
Pandangan Marx terhadap agama diambil dari Feurbach yang menyalahkan bahwa agama merupakan alienasi berdasarkan proyeksi. Hakikat manusia diberi bentuk dengan nama “Allah”. Akan tetapi dengan penciptaan “Allah” ini, manusia diasingkan dari dunia kini dan sini, kalau manusia diletakkan di luar dirinya sendiri, ia kehilangan sesuatu yang sangat penting. Dengan demikian, proses ini harus dikembalikan lagi supaya manusia dikembalikan kepada dirinya sendiri.
Bagi Marx dan para pengikut Marxisme, agama adalah candu bagi masyarakat, karena agama mambius masyarakat untuk tidak mengatasi kesulitan social ekonominya.[13] Marx juga mengatakan bahwa agama merupakan alat bagi kelas borjuis untuk memeras kelas proletar.[14]
Karl Marx merupakan penganut paham filsafat hengelian. Idealisme Hengelian beranggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat material adalah sekunder. Sedangkan realitas yang sebenarnya adalah “Roh Absolute” atau “Ide Absolute”, yang dalam ajaran agama disebut Tuhan. Dalam system Hegel, yang absolute adalah sesuatu yang selalu bergerak menuju suatu kesadaran penuh tentang diri-Nya sendiri. Mark menerima konsep aliensasi atau ide tentang pergerakan sejarah yang melewati proses-proses konflik dari Hagel.
Bedanya adalah Marx menempatkan kedua hal ini dalam matrealisme dan menjadikan materialisme tersebut sebagai titik pusat pandangannya tentang sejarah manusia. dia mengatakan, sejarah sesungguhnya adalah suatu area konflik. Menurut Marx, Hegel memang benar ketika melihat alinsasi sebagai pusat konflik tersebut, namun keliru ketika menganggap alienasi dan pergerakan sejarah berakar pada sebatas ide-ide dan bukan pada realitas material kehidupan ini.
Menurut Marx, alienasi adalah sesuatu yang dikonstruksi dan aktual. Perebutan manusia sendirilah yang menyebabkan mereka teralienasi. Dan tentu saja alienasi ada yang “dilekatkan” dengan sengaja kepada orang lain, termasuk ide-ide sendiri, padahal sesungguhnya manusialah yang jadi pemilik sebenarnya. Itulah alienasi yang paling riil dan menjadi sumber utama kesengsaraan umat manusia. dalam agama Tuhan selalu disembah dan dipatuhi, padahal semua itu adalah kepunyaan manusia.[15]
Pendekatan Marx terhadap agama mirip dengan penjelasan fungsional yang diterapkan oleh Freud dan Dukheim. Yang menjadi ketertarikannya adalah bagaimana kepercayaan agama tentang apa yang dipahami masyarakat dengan kata-kata Tuhan, surga, bible, tulisan sakral atau sesuatu yang ghoib berperan dalam pergumulan kehidupan sosial. Sama seperti Freud dan Durkheim, Marx juga menegaskan kita akan menemukan kunci untuk memahami agama bila kita telah menemukan fungsi agama itu, yaitu menemukan apa yang diberikan agama kepada masyarakat, baik dalam bentuk sosial, psikologis atau kedua-duanya.
Kecenderungan Marx adalah selalu menggambarkan agama sebagai sebuah ekspresi, sebuah gejala dari sesuatu yang lebih riil dan substansial yang terdapat dalam inti masyarakat. Marx selalu mencari penyebab yang sebenarnya dari semua ini, dan penyebab itu harus ditemukan bukan dalam agama itu sendiri. Bagi Freud penyebabnya akan ditemukan dalam kebutuhan neuritis psikologis, bagi Durkheim akan ditemukan dalam masyarakat, dan bagi Marx akan ditemukan dalam realitas yang terdapat dalam dua hal, yaitu fakta material pertentangan kelas dan alienasi. Karena kedua beban ini telah membentuk kenyataan yang ada dibalik khayalan-khayalan keimanan, maka kita harus menjelaskan agama dengan cara merekduksinya menjadi kekuatan-kekuatan ekonomi yang telah menciptakan agama tersebut.
Selanjutnya menurut Marx, fenomena keterasingan (aliensi) yang disebabkan agama muncul ketika masyarakat mulai bekenalan dengan kelas dan kepemilikan pribadi. Maka, dengan begitu pasti ada satu masa dalam sejarah manusia sebelum munculnya konsep-konsep ini ketika masyarakat tidak memerlukan agama serta pembagian kelas dan kepemilikan pribadi pun juga tidak ada. Hal ini mungkin saja terjadi di zaman pra-sejarah dahulu kala, tapi bukti sejarah yang menguatkan pendapat ini tidak tersedia. Dalam masyarakat primitif yang hidup di zaman modern ini pun, bukti-bukti yang dapat mendukung pendapat ini juga tidak bisa ditemukan, walaupun kehidupan mereka sangat dekat dengan ide Marx tentang masyarakat komunis primitif, sebab mereka hidup tanpa agama dan tidak memperlihatkan tanda-tanda proses menuju ketahap agama.



KESIMPULAN
Marx secara terbuka tidak mendukung total atas keberadaan suatu agama. Agama dianggap sebagai candu. Kecenderungan Marx adalah selalu menggambarkan agama sebagai sebuah akibat, sebuah ekspresi, sebuah gejala dari sesuatu yang lebih riil dan substansial yang terdapat dalam inti masyarakat. Mark menjelaskan bahwa agama memberikan hiburan palsu. Oleh karena itu, Marx menerangkan penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan sejati.
Marx memandang agama sebagai penghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin pada ucapan Marx bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Menurutnya, karena ajaran agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan.
Mengenai pandangannya tentang agama yang dinilai sebagai candu, tidaklah mendapat respon yang baik. Karena ternyata agama masih dinikmati oleh manusia bahkan semakin lama manusia manusia cenderung religius, kebutuhan manusia tidak hanya materi saja akan tetapi juga komunikasi dan spiritual.
Dengan adanya doktrin agama antara satu dengan lainnya, membuat Marx menyatakan bahwasanya kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa merupakan lambang kekecewaan dalam hal tersebut. Sehingga, Karl Marx menjadikan keyakinannya sebagai penganut atheis. Karena banyaknya pengertian-pengertian agama serta aliran-aliran dalam hal tersebut.
Alienasi dimaksudkan sebagai upaya mengeluarkan sesuatu dari dirinya apa yang ada dalam dirinya dan merupakan esensi, kemudian mengelurkan hal itu sebagai sesuatu yang berlainan dengan hakikat tersebut sebagai suatu realita yang sekaligus bersifat asing dan melawannya. Pengamatan yang dialkukan Marx pertama-tama adalah membagi masyarakat ke dalam dua kelas yakni borjuis (kelas pengusaha/ pemilik modal dan menengah) dan Proletar (Pekerja/ Buruh), yang jelas berbeda dengan Hegel yang menganggap bangsa sebagai kendaraan gerakan dialektis.
Masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia (teralienasi dari potensinya sebagai manusia sejati), keadaan seperti ini disebabkan kapitalis mereduksi kepentingan manusia it uke dalam tingkat buruh. Alienasi adalah “Pemisahan manusia dari dirinya” (Teralienasi dari pekerja).
Keterasingan dalam penuturan Mark akan terjadi jika semakin banyak modal terkumpul untuk kepentingan kapitalis, dan semakin miskin pula si Buruh akibat hasil eksploitasi si kapitalis terhadap produksi yang telah dilakukan buruh. Analisis Marx terhadap prose produksi materi manusia terdiri dari tiga komponen atau faktor yaitu kondisi produksi, kekuatan produksi dan hubungan produksi dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Husaini, Adian, 2015. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani), Cet III.
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV Pustaka Setia), Cet-I.
Permata, Ahmad Norma, 2000. Metodologi Studi Agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Cet-I.
Zarkasyi, Hamid Fahmy, 2012. Misykat. (Jakarta: INSIST, MIUMI), Cet-II.
Pals, Daniel L, 2011. Seven Theories of Religion. (Yogyakarta: IRCiSod), Cet-I.
Novia, Windy, 2009. Kamus Ilmiah Populer. (WIPRESS, T.T), Cet-I.





[1] Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat; kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, Terj. Sigit Jatmiko, ((Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 1019
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 211
[3] Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 2. Januari 2002: 117
[4] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 200-204
[5] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 17
[6] Louis Leahy, Aliran-aliran besar Atheisme, Tinjauan kritis, (Yogyakarta, Kanisisus, 1992), hlm. 99
[7] Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions “Dari Animisme E.B. Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi Budaya C.Geertz”, Terj. Ali Noerjaman (Yogyakarta; Qalam, 2001), Hlm. 242
[8] T.Z. Lavine, Konflik Kelas dan Orang yang Terasing, (Yogyakarta; Jendela, 2003), Hlm. 17
[9] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 209

[10] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisme, dan Islam (Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012), hal 9
[11] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 207
[12] Ibid, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 211
[13] Atang Abdul hakim, filsafat ilmu, penerbit Pustaka Setia, 2008, hal 386
[14] Bustanuddin Agus, agama dalam kehidupan manusia, Rajawali press, 2006, hal 129
[15] Daniel L. Pals, seven theories of religion, IRCISoD press,2012, hal 191-193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar