TEORI
ALIENASI AGAMA KARL MARX
Oleh:
Muhammad Thoriqul Islam/Af 5
Dalam
permasalahan keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa “agama” ternyata mempunyai
banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya,
yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan,
keimanan, kredo, pedoman hidup dan seterusnya.
Sesungguhnya
agama sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang
tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Adanya campur tangan dengan berbagai
kepentingan sosial kemasyarakatan pada level historis-empiris merupakan salah
satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan. Hampir
semua agama mempunyai institusi dan organisasi pendukung yang memperkuat,
menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya, ada yang bergerak dalam wilayah
sosial budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, politik, ekonomi, jurnalistik,
paguyuban dan lain sebagainya.
Unsur
alienasi (pengasingan diri) yang digagas oleh Karl Marx dalam agama menambah
rumitnya persoalan. Dalam hal ini, semua wilayah perbincangan dan persoalan
keagamaan yang sebenarnya bersifat profan (mu’amalah ma’a al-nas) ikut-ikut
dialiensikan.
Dalam
penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang
dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya”. Marx percaya bahwa alienasi
merupakan hasil sistematik dari kapitalisme yang mengguncang pasca revolusi
industri.
Teori
alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industri
yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan
kontrol atas hidup mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni
manusia yang mencoba untuk mandiri mengembangkan diri selalu terkotakkan oleh
kaum borjuis.
Dengan
paham alienasi yang diciptakannya, Karl Marx dapat melahirkan Marxisme sebagai
sebuah aliran ideology komunis yang menurutnya menjadi resolusi atas konflik
yang terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang bermasyarakat.
Dengan
jelas Marx menyebutkan bukanlah kepercayaan agama dan kebenaran tentang Tuhan,
surga dan teks suci untuk melakukan perubahan mendasar terhadap kondisi
masyarakat melainkan dengan peran kepercayaan dalam wujud perjuangan sosial.
Biografi Singkat Karl Marx
Karl Marx
(1818-1883) lahir di Trier (Treves)[1],
daerah Rhine di Jerman, pada tanggal 5 mei 1818. Ayahnya bernama Heinrich Marx,
seorang pengacara borjuis yang berpindah agama dari agama yahudi menjadi agama
protestan untuk dapat menjadi seorang pengacara. Pada usia 18 tahun setelah
mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, Dengan alasan sering
mabuk-mabukan, berkelahi dan menghindari wajib militer dengan alasan kondisi
kesehatan yang buruk kemudian ia pindah ke Univeristas Berlin[2] dan
mempelajari filsafat. Pada masa kuliahnya pemikiran Marx banyak mendapatkan
pengaruh filsafat Hegellianisme, lewat filsafat Hegel ia banyak mengkritik
sistem politik di Jerman kala itu. Tahun 1941, ia di promosikan menjadi doctor
dalam bidang filsafat yang desertasinya berjudul Natural Philosophis of
Democritus and Epicurus (Falsafah alam Demokritus dan Epikurus).[3]
Sebagai
seorang yang berpandangan non kompromis, permohonanya menjadi dosen di
universitas itu ditolak dengan alasan pemikirannya yang liberal dan radikal
membuat kemustahilannya untuk menjadi professor di Berlin. Oleh karenanya Ia
kemudian beralih menjadi seorang jurnalis yang kemudian membawanya menjadi
pimpinan redaksi harian umum radikal, Rheinsche
Zeitung, suatu profesi yahg mengantarkannya menjadi pemikir yang orisinil
dan begitu bersemangat. Bermula dari menyerang agama melalui politik di Jerman,
pada tahun 1843 jurnal harian yang dipimpinya dilarang terbit oleh pemerintah
Jerman, lantas ia memutuskan pergi ke Perancis dan mengkaji masalah ekonomi dan
sosial yang pada akhirnya dengan Freidrick Enggels teman yang menemaninya
berjuang melawan kapitalisme. Pada tahun yang sama sebelum ia pindah ke
Peranci, ia menikah dengan Jeny Van Westphaen putri dari tetangga dan sahabat
lama keluarganya.
Kritik terhadap Agama
Jika membahas hal-hal yang termasuk
ideologi dan superstruktur yang pada akhirnya akan masuk ke dalam pembicaraan
tentang agama. Inti pandangan Marx dalam konteks ini sangatlah mengejutkan.
Bila dilihat dan diperhatikan dengan seksama, Marx kadangkala membicarakan
agama dalam ungkapan yang baik sekali, namun dalam kesempatan lain berubah
menjadi sangat kasar dan kejam. Menurutnya, agama sama sekali adalah sebuah
ilusi. Rasa takut adalah sebuah ilusi dengan konsekuensi yang sangat
menyakitkan. Agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata.
Agama adalah sebuah sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat
memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa
berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Walaupun doktrin satu agama berbeda
dengan agama lain, namun bentuk-bentuk spesifik yang ada dalam masyarakat pada
akhirnya tergantung pada satu hal, yaitu kondisi sosial kehidupan yang pasti
juga bergantung pada kekuatan materi yang bisa mengatur masyarakat dimana pun
dan kapan pun. Marx menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa
adalah lambing kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan.
Perseteruan abadi ini, menurut Marx,
mempunyai akar jauh yang melampaui sekedar perdebatan-perdebatan intelektual.
Karena Marx sendiri telah masa mudanya telah memutuskan untuk menolak agama.
Ketika itu dia menyatakan keyakinannya sebagai penganut ateis.
Marx menegaskan bahwa garis paralel
antara agama dan aktivitas sosio-ekonomi harus ditarik. Keduanya sama-sama menciptakan
aliensasi, agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan
mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural yang disebut Tuhan.
Agama adalah bagian dari
superstruktur masyarakat dan ekonomi lah yang menjadi pondasinya. Maka
bukti-bukti dari alienasi yang terdapat dalam agama tersebut harus dilihat
sebagai refleksi, sebuah pantulan keterasingan manusia yang paling nyata, dan
keterasingan ini lebih bersifat ekonomi dan material dari pada spiritual. Atas
dasar inilah, tentu tidak sulit dipahami kenapa agama bagi kebanyakan
masyarakat merupakan kekuatan terbesar dan tempat pelarian terakhir, karena
agama memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan superstruktur-superstruktur
yang lain dalam masyarakat. Agama mampu memberikan dan mengarahkan kebutuhan
emosional manusia yang teralienasi.[4]
Menurut Marx, fungsi yang dimainkan
agama dalam kehidupan masyarakat sama seperti candu pada diri seseorang, dengan
agama, penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang
terekspolitas dapat diringankan melalui fantasi tentang dunia supernatural
tempat dimana tidak ada lagi penderitaan.
Pandangan problema studi agama
menurut Karl Marx menyatakan bahwa, agama adalah nafas dari mahkluk yang
tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari kebekuan yang tak
bernyawa, candu masyarakat[5]
Alienasi dalam
agama sebenarnya hanya merupakan ekspresi dari ketidak bahagiaan yang lebih
dasar yang selalu bersifat ekonomi. Pertanyaannya mengapa eksistensi agama
semakin terus “bercokol”? jawabannya adalah karena agama telah memperhatikan
kebutuhan manusia yang teralienasi. Bahkan Marx mengatakan agama adalah keluh
kesah makhluk yang tertindas dan merupakan ekspresi penderitaan ekonomi
yang lain sekaligus protes melawan penderitaan yang riil.
Kritik yang
dilakukan Marx tehadap agama pada asasnya adalah kritik terhadap “Lembah
air mata” yang mahkotanya adalah agama.[6] Agama
adalah ilusi semata, dan sebetulnya agama ditentukan oleh ekonomi sehingga
tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan setiap doktrin atau kepercayaannya
demi manfaatnya sendiri. Kepercayaan manusi terhadap agama berawal dari
kritisisme yang irreligious yaitu manusia membuat agama tetapi agama tidak
membuat manusia. Terlebih agama telah mengambil sifat-sidat ideal moral dari
kehidupan manusia yang dasar dan secara tidak wajar memberikannya kepada suatu
wujud asing dan khayalan yang disebut dengan Tuhan. Bahkan agama dianggapnya
terasa merampas kebaikan individu manusia dan memberikannya kepada Tuhan.
Agama seperti
halnya sebuah ideologi, merefleksikan sesuatu kebenaran namun terbalik. Karena
orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka
disiptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama.
Mark menjelaskan dirinya tidak menolak kehadiran agama, melainkan menolak suatu
sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama.
Agama merupakan
kesadaran dan perasaan diri bagi manusia ketika ia belum berhasil menemukan
dirinya dan ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu
makhluk yang abstrak yang bercokol di luar dunia, melainkan manusia berada
dalam dunia manusia, Negara dan masyarakat Kesengsaraan yang terjadi pada
manusia merupakan kesengsaraan religius yang nyata sekaligus sebagai tindakan
prortes terhadap kesengsaraan nyata itu sendiri.
Agama adalah
keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak berkalbu, sebagaimana ia
merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Sehingga Marx
menyatakan bahwa agama sebagai candu rakyat. Agama bukan saja sia-sia, tetapi
juga merugikan. Ia merampas banyak kodrat dan martabat manusia dan
mengalihkannya kepada suatu makhluk khayalan. Bahkan lebih-lebih agama
merendahkan derajatnya dengan memberikan perasaan dosa pada manusia itu
sendiri, dengan mengajarkan kerendahan hati pada agama, dengan membuat dirinya
hina dihadapan dirinya sendiri, alih-alih lebih merugikan lagi Mark menjelaskan
bahwa agama memberikan hiburan palsu. Maka oleh karena itu, Marx menerangkan
penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan sejati.
Alienasi Agama
Agama merupakan refleksi keterasingan manusia semata yang mencoba
untuk menghindarkan dirinya dari penderitaan sosial, karenanya agama hanya
menjadi candu masyarakat yang hanya memberi penenang sementara, semu dan tidak
mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan
penderitaan. (Karl Marx, 1818 – 1883)
Berbicara tentang Karl Marx, tidak lepas dari ungkapannya yang
dinilai kontroversi seperti halnya ungkapan di atas. Semenjak awal Marx tidak
mempercayai akan keberadaan agama, bahkan Tuhan dianggapnya tidak ada, Tuhan
ada karena dicipatakan oleh alam pikiran fantasi manusia yang keliru. Marx
sebagai salah satu pemimpin ideologi komunis secara terang-terangan menyebutkan
ketidak percayaannya terhadap agama secara universal.[7] Dengan
paham yang diciptakannya itu dia dapat melahirkan Marxisme sebagai sebuah
aliran ideologi komunis yang menurutnya menjadi resolusi atas konflik yang
terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang yang bermasyarakat.[8]
Alih-alih komunisme mengklaim tidak hanya menghadirkan suatu teori
yang luas tentang politik, masyarakat dan ekonomi melainkan juga suatu visi
kehidupan manusia yang betul-betul memaksa, penuh dengan sikap filsafat tentang
tempat manusia di dunia natural, suatu penjelasan tentang semua sejarah di masa
lalu dan suatu ramalan tentang apa yang masih akan datang.[9] Dengan
jelas Marx menyebutkan bukanlah kepercayaan agama dan kebenaran tentang tuhan,
surga dan teks suci untuk melakukan perubahan mendasar terhadap kondisi
masyarakat melainkan dengan peran kepercayaan dalam wujud perjuangan sosial.
Masyarakat menurut Marx dibagi menjadi empat tahapan:
Pertama, mayarakat tradisional (Komunisme Primitif) sebagai
bentuk masyarakat awal yang sederhana, dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup
dilakukan dengan cara berburu dan nomaden.
Kedua, masyarakat feodal yaitu suatu kondisi masyarakat
yang sudah mengenal kepemilikan pribadi sebagai modal untuk mendapatkan
keuntungan besar dari kepemilikannya itu sehingga pada bentuk masyarakat ini
mengalami ekploitasi oleh pemilik modal.
Ketiga, masyarakat kapitalisme yang memperkenalkan
aktivitas komersial motif mencari keuntungan dalam skala besar oleh kamum
borjuis atas perolehan usaha dari kaum proletar.
Keempat, masyarakat sosialisyang mencoba untuk menghapus
eksploitasi oleh kaum borjuis melalui revolusi sosial melalui penggorganisasian
dan gerakan buruh.
Kelima, masyarakat komunis modern, dalam sistem sosialsi
ini hanya merupakan transisi karena masih menyembunyikan kepentingan antara
penguasa dan rakyat yang digiring untuk menjadi bagian dari masyarakat yang
humanis.
Seperti apa yang telah diungkap sebelumnya, Marx secara
terbuka tidak mendukung total atas keberadaan suatu agama. Seperti apa yang
dikemukakan Daniel L. Pals bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan sejak awal
berkenaan dengan Karl Marx.
Pertama, bentuk komunisme, Marx hanya memberikan suatu
teori tentang agama, bukan sebuah pemikiran total yang dengan sendirinya
menyerupai sebuah agama. Dan yang lebih penting apa yang dihadirkan Marx dalam
pemikirannya bukanlah suatu catatan tentang agama secara umum melainkan suatu
analisis tentang agama Kristen dan agama lainnya yang serupa dengan menekankan
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan eskatologi. Sehingga dalam
pemikirannya hanya pemikiran Kristen yang semula memberikan pengaruh atas modal
dasar teori yang telah dicetuskannya itu ketika ia mengemukakan bahwa agama
sebagai pelarian orang miskin dari penderitaan dan penindasan ekonomi.
Kedua, filsafat Marx begitu jauh jangkauannya, apa yang
ia tawarkan sebagai suatu “teori” tentang
agama tradisional merupakan bagian yang agak kecil dan tidak mesti sentral dari
pemikirannya.
Dan hal yang berkenaan dengan pemikiran Karl Marx dalam
teori-teorinya tentang agama maupun ekonomi, membuat seseorang berpesan
untuknya sebagai “nabi tanpa wahyu”, dia berpendapat bahwa Marx boleh jadi
“hatinya beriman tapi otaknya kafir”. Dari pesan ini baiknya, Marx kembali
kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan ini tertuangkan dalam Javid Namah
“orang Barat kehilangan visi tentang surga, mereka berburu mencari spirit murni
dari perut”[10].
Marx menyatakan bahwa, cenderung mengedepankan sisi
materialisme dibandingkan sisi idelaismenya dalam mengungkap teori tentang
agama. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan Marx yang lain “Bahwa umat
manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduah dan
berpakaian sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama”[11].
Dalam ungkapannya
ini dapat diketahui bahwa manusia hidup dalam duni yang riil, bukan dalam dunia
ilusi. Segala yang hakiki adalah bersifat materil bukan yang immateri sehingga
dalam kehidupan di dunia ini yang nyata dan utama adalah materi (natural dan
bukan supranatural). Ungakapan Marx ini merupakan pandangan atas tesis Hegel
tentang materi dan pikiran yang menyatakan bahwa hal-hal mental-ide, konsep
adalah fundamental bagi dunia, sementara benda-benda materi selalu sekunder;
benda-benda itu adalah ungkapan fisik dari roh universal yang dasar atau ide
yang absolut.[12]
Pandangan Marx terhadap agama
diambil dari Feurbach yang menyalahkan bahwa agama merupakan alienasi
berdasarkan proyeksi. Hakikat manusia diberi bentuk dengan nama “Allah”. Akan
tetapi dengan penciptaan “Allah” ini, manusia diasingkan dari dunia kini dan
sini, kalau manusia diletakkan di luar dirinya sendiri, ia kehilangan sesuatu
yang sangat penting. Dengan demikian, proses ini harus dikembalikan lagi supaya
manusia dikembalikan kepada dirinya sendiri.
Bagi
Marx dan para pengikut Marxisme, agama adalah candu bagi masyarakat, karena
agama mambius masyarakat untuk tidak mengatasi kesulitan social ekonominya.[13]
Marx juga mengatakan bahwa agama merupakan alat bagi kelas borjuis untuk
memeras kelas proletar.[14]
Karl
Marx merupakan penganut paham filsafat hengelian. Idealisme Hengelian
beranggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat material adalah sekunder.
Sedangkan realitas yang sebenarnya adalah “Roh Absolute” atau “Ide Absolute”,
yang dalam ajaran agama disebut Tuhan. Dalam system Hegel, yang absolute adalah
sesuatu yang selalu bergerak menuju suatu kesadaran penuh tentang diri-Nya
sendiri. Mark menerima konsep aliensasi atau ide tentang pergerakan sejarah
yang melewati proses-proses konflik dari Hagel.
Bedanya
adalah Marx menempatkan kedua hal ini dalam matrealisme dan menjadikan
materialisme tersebut sebagai titik pusat pandangannya tentang sejarah manusia.
dia mengatakan, sejarah sesungguhnya adalah suatu area konflik. Menurut Marx,
Hegel memang benar ketika melihat alinsasi sebagai pusat konflik tersebut,
namun keliru ketika menganggap alienasi dan pergerakan sejarah berakar pada
sebatas ide-ide dan bukan pada realitas material kehidupan ini.
Menurut
Marx, alienasi adalah sesuatu yang dikonstruksi dan aktual. Perebutan manusia
sendirilah yang menyebabkan mereka teralienasi. Dan tentu saja alienasi ada
yang “dilekatkan” dengan sengaja kepada orang lain, termasuk ide-ide sendiri,
padahal sesungguhnya manusialah yang jadi pemilik sebenarnya. Itulah alienasi
yang paling riil dan menjadi sumber utama kesengsaraan umat manusia. dalam
agama Tuhan selalu disembah dan dipatuhi, padahal semua itu adalah kepunyaan
manusia.[15]
Pendekatan
Marx terhadap agama mirip dengan penjelasan fungsional yang diterapkan oleh
Freud dan Dukheim. Yang menjadi ketertarikannya adalah bagaimana kepercayaan
agama tentang apa yang dipahami masyarakat dengan kata-kata Tuhan, surga,
bible, tulisan sakral atau sesuatu yang ghoib berperan dalam pergumulan
kehidupan sosial. Sama seperti Freud dan Durkheim, Marx juga menegaskan kita
akan menemukan kunci untuk memahami agama bila kita telah menemukan fungsi
agama itu, yaitu menemukan apa yang diberikan agama kepada masyarakat, baik
dalam bentuk sosial, psikologis atau kedua-duanya.
Kecenderungan
Marx adalah selalu menggambarkan agama sebagai sebuah ekspresi, sebuah gejala
dari sesuatu yang lebih riil dan substansial yang terdapat dalam inti
masyarakat. Marx selalu mencari penyebab yang sebenarnya dari semua ini, dan
penyebab itu harus ditemukan bukan dalam agama itu sendiri. Bagi Freud
penyebabnya akan ditemukan dalam kebutuhan neuritis psikologis, bagi Durkheim
akan ditemukan dalam masyarakat, dan bagi Marx akan ditemukan dalam realitas
yang terdapat dalam dua hal, yaitu fakta material pertentangan kelas dan
alienasi. Karena kedua beban ini telah membentuk kenyataan yang ada dibalik
khayalan-khayalan keimanan, maka kita harus menjelaskan agama dengan cara
merekduksinya menjadi kekuatan-kekuatan ekonomi yang telah menciptakan agama
tersebut.
Selanjutnya
menurut Marx, fenomena keterasingan (aliensi) yang disebabkan agama muncul
ketika masyarakat mulai bekenalan dengan kelas dan kepemilikan pribadi. Maka,
dengan begitu pasti ada satu masa dalam sejarah manusia sebelum munculnya
konsep-konsep ini ketika masyarakat tidak memerlukan agama serta pembagian
kelas dan kepemilikan pribadi pun juga tidak ada. Hal ini mungkin saja terjadi
di zaman pra-sejarah dahulu kala, tapi bukti sejarah yang menguatkan pendapat
ini tidak tersedia. Dalam masyarakat primitif yang hidup di zaman modern ini
pun, bukti-bukti yang dapat mendukung pendapat ini juga tidak bisa ditemukan,
walaupun kehidupan mereka sangat dekat dengan ide Marx tentang masyarakat
komunis primitif, sebab mereka hidup tanpa agama dan tidak memperlihatkan
tanda-tanda proses menuju ketahap agama.
KESIMPULAN
Marx
secara terbuka tidak mendukung total atas keberadaan suatu agama. Agama
dianggap sebagai candu. Kecenderungan
Marx adalah selalu menggambarkan agama sebagai sebuah akibat, sebuah ekspresi,
sebuah gejala dari sesuatu yang lebih riil dan substansial yang terdapat dalam
inti masyarakat. Mark menjelaskan bahwa agama
memberikan hiburan palsu. Oleh karena itu, Marx menerangkan penghapusan agama
sebagai suatu kebahagiaan sejati.
Marx
memandang agama sebagai penghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin
pada ucapan Marx bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Menurutnya, karena
ajaran agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak
untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan.
Mengenai
pandangannya tentang agama yang dinilai sebagai candu, tidaklah mendapat respon
yang baik. Karena ternyata agama masih dinikmati oleh manusia bahkan semakin
lama manusia manusia cenderung religius, kebutuhan manusia tidak hanya materi
saja akan tetapi juga komunikasi dan spiritual.
Dengan
adanya doktrin agama antara satu dengan lainnya, membuat Marx menyatakan
bahwasanya kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa merupakan lambang
kekecewaan dalam hal tersebut. Sehingga, Karl Marx menjadikan keyakinannya
sebagai penganut atheis. Karena banyaknya pengertian-pengertian agama serta aliran-aliran
dalam hal tersebut.
Alienasi dimaksudkan
sebagai upaya mengeluarkan sesuatu dari dirinya apa yang ada dalam dirinya dan
merupakan esensi, kemudian mengelurkan hal itu sebagai sesuatu yang berlainan
dengan hakikat tersebut sebagai suatu realita yang sekaligus bersifat asing dan
melawannya. Pengamatan yang dialkukan Marx pertama-tama adalah membagi
masyarakat ke dalam dua kelas yakni borjuis (kelas pengusaha/ pemilik modal dan
menengah) dan Proletar (Pekerja/ Buruh), yang jelas berbeda dengan Hegel yang
menganggap bangsa sebagai kendaraan gerakan dialektis.
Masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia
(teralienasi dari potensinya sebagai manusia sejati), keadaan seperti ini
disebabkan kapitalis mereduksi kepentingan manusia it uke dalam tingkat buruh. Alienasi
adalah “Pemisahan manusia dari dirinya” (Teralienasi dari
pekerja).
Keterasingan dalam penuturan Mark akan terjadi jika semakin
banyak modal terkumpul untuk kepentingan kapitalis, dan semakin miskin pula si
Buruh akibat hasil eksploitasi si kapitalis terhadap produksi yang telah
dilakukan buruh. Analisis Marx terhadap prose produksi materi manusia terdiri
dari tiga komponen atau faktor yaitu kondisi produksi, kekuatan produksi dan
hubungan produksi dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini, Adian,
2015. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani), Cet III.
Hakim, Atang
Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV Pustaka
Setia), Cet-I.
Permata, Ahmad
Norma, 2000. Metodologi Studi Agama. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
Cet-I.
Zarkasyi, Hamid
Fahmy, 2012. Misykat. (Jakarta: INSIST, MIUMI), Cet-II.
Pals, Daniel L,
2011. Seven Theories of Religion. (Yogyakarta: IRCiSod), Cet-I.
Novia, Windy,
2009. Kamus Ilmiah Populer. (WIPRESS, T.T), Cet-I.
[1] Bertrand
Russel. Sejarah Filsafat Barat;
kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang, Terj. Sigit Jatmiko,
((Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 1019
[6] Louis
Leahy, Aliran-aliran besar
Atheisme, Tinjauan kritis, (Yogyakarta,
Kanisisus, 1992), hlm. 99
[7] Daniel
L. Pals, Seven Theoris of
Religions “Dari Animisme E.B. Taylor, Materialism Karl Marx, hingga Antropologi
Budaya C.Geertz”, Terj. Ali Noerjaman
(Yogyakarta; Qalam, 2001), Hlm. 242
[9] Daniel L. Pals, Seven Theories
of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 209
[10] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat;
Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisme, dan Islam (Jakarta:
INSISTS-MIUMI, 2012), hal 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar