Kamis, 27 Oktober 2016

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Ruang Publik

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Ruang Publik

Pendahuluan
Isu-isu tentang perempuan, sekarang ini, banyak mengisi wacana di tengah-tengah masyarakat kita, di samping wacana-wacana politik dan ekonomi. Isu perempuan ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan di antara kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang sering disebut ketidakadilan gender, ini semakin tinggi di kalangan masyarakat kita. Perempuan yang sekarang ini jumlahnya lebih besar dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan menempati sektor-sektor publik yang ikut berpengaruh di dalam menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan penting. Kalaupun perempuan memasuki sektor publik, posisinya selalu berada di bawah laki-laki, terutama dalam bidang politik. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Berbagai upaya ditempuh untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui berbagai institusi, baik yang formal maupun yang non-formal. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya keadilan gender (keadilan sosial) di tengah-tengah masyarakat. Di antara strategi yang ditempuh untuk mewujudkan keadilan tersebut adalah melibatkan perempuan dalam pembangunan.
Strategi ini menjadi dominan di tahun 70-an. Setelah PBB menetapkan decade pertama pembangunan kaum perempuan, sejak saat itulah hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan kementrian peranan wanita (urusan perempuan) dengan tujuan utamanya adalah peningkatan peran wanita dalam pembangunan. Pemberian kesempatan yang sama terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas diberbagai bidang sebagaimana laki-laki, ternyata tidak menjamin untuk terealisasikannya keadilan gender. Penyebab utamanya adalah rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki dalam pembangunan, sehingga posisi penting dalam pemerintahan maupun dunia usaha didominasi oleh kaum lelaki.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[1]
Lalu bagaimana kita menyikapi kondisi seperti itu? Tentu saja, kita ingin mengupayakan terwujudnya keadilan atau kesetaraan gender. Sebelum kita melakukan hal itu, kita perlu tahu terlebih dahulu bagaimana kesetaraan gender ini di tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia. Lebih khusus lagi kita perlu juga tahu bagaimana kesetaraan gender menurut Islam dan juga dalam bidang pendidikan? Permasalahan inilah yang akan dikaji dalam tulisan singkat ini. Namun, sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu konsep gender secara singkat.
Epistemologi Gender
Istilah “gender” sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian.
Secara etimologis, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin.[2] Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984 “gender” diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English, Edisi 1990, kata “gender” diartikan sebagai penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis kelamin (kenetralan).
Secara terminologis, “gender” oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan “gender” sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan “gender” lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.[3]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
Perbedaan Sex dengan Gender
Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama, yaitu jenis kelamin.[4] Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis, komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Untuk melihat perbedaan pemahaman tentang sex dan gender dengan jelas dapat dilihat ilustrasi berikut ini. Menurut tinjauan sex, seorang laki-laki bercirikan seperti memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma, sedang seorang perempuan bercirikan seperti memiliki vagina, memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki payudara, dan memproduksi sel telur. Ciri-ciri ini melekat pada laki-laki dan perempuan dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Semua ciri-ciri tersebut diperoleh secara kodrat dari Tuhan. Sedang menurut tinjauan gender, seorang perempuan memiliki ciri-ciri seperti cantik, lemah lembut, emosional, dan keibuan, sedang seorang laki-laki memiliki ciri-ciri seperti kuat, rasional, gagah, perkasa, jantan, dan masih banyak lagi yang lain. Ciri-ciri ini tidak selamanya tetap, tetapi dapat berubah. Artinya tidak semua laki-laki atau perempuan memiliki ciri-ciri seperti tersebut. Ciri-ciri itu bisa saling dipertukarkan. Bisa jadi ada seorang perempuan yang kuat dan rasional, tetapi ada juga seorang laki-laki yang lemah lembut dan emosional.
Tegasnya, dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, gender diperkenalkan untuk mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan laki-laki tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis, tetapi lebih merujuk kepada perbedaan-perbedaan akibat bentukan sosial. Karena itu, yang dinamakan relasi gender adalah seperangkat aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan yang menentukan batas-batas feminin dan maskulin.[5]
Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk menyebut femininitas dan maskulinitas yang dibentuk secara sosial yang berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan sex (jenis kelamin), perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan semata-mata berasal dari pemberian (kodrat) Tuhan yang tidak dapat dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Kesetaraan Gender Perspektif Islam
Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah berabad-abad lamanya pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin juga agama-agama lainnya. Ada baiknya di sini dipaparkan sekilas pandanagan historis mengenai posisi perempuan.
Sebelum Islam datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang tidak imbang dibandingkan dengan strata sosial laki-laki. Selama berabad-abad kaum perempuan terus menerus berada di bawah dominasi kaumlaki-laki. Nasib perempuan begitu sengsara dan memprihatinkan. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk memuaskan nafsu para raja atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat diperjualbelikan. Dalam kehidupan rumah tangga, kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada kekuasaan suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang semestinya. Kondisi perempuan seperti ini hampir terjadi di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa Yunani, Romawi, Cina, India, Persia, dan lain sebagainya.[6]
Di kalangan bangsa Arab sendiri sebelum Islam datang, kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan pada masa Jahiliah dengan panjang lebar seperti berikut: pertama, perempuan terhalang dari hak mewarisi, kedua, suami berhak menceraikan isterinya seenaknya dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri sama sekali pasif dalam masalah ini, ketiga, tidak ada batasan dalam masalah jumlah isteri, keempat, isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami, kelima, menanam hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah, keenam dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan istibda’ (maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah itu, ia kembali kepada suaminya lagi), ketujuh, adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan yang lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari anak perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka.[7]
Demikianlah, selama berabad-abad perempuan terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki. Kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuatan laki-laki demi kelancaran dan kelestarian keluarga. Datangnya agama Yahudi dan Nasrani yang ajarannya kemudian banyak disimpangkan oleh para penganutnya belum bisa menjamin kedudukan perempuan sebagaimana mestinya.
Kemudian datanglah Islam yang berusaha mengangkat kedudukan perempuan hingga menjadi sejajar dengan kedudukan laki-laki. Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban.
Islam mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan perempuan dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurât (49): 13). Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubat (9): 71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Burûj (85): 10), menerima balasan di akhirat (Q.S. al-Nisâ’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak disebutkan dalam al-Quran. Namun demikian, dalam hal ini masih diakui adanya sedikit perbedaan antara perempuan dan laki-laki, misalnya dalam hal status perempuan menjadi saksi, besarnya bagian perempuan dalam warisan, dan kesempatan perempuan menjadi kepala negara. Yang pasti, secara kodrati perempuan berbeda dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki. Kesetaraan ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang membedakan wanita dengan pria.
Pada perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya sistem ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal. Mereka menolak dianggap rendah status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka menuntut hak-haknya untuk belajar dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini dikenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut.[8]
Munculnya kesadaran baru seperti itu banyak menggugah para pakar untuk lebih menyuarakan hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisan mereka. Mulai dekade 1980 para pakar Muslim pun mulai banyak berbicara mengenai hak-hak perempuan dengan mempermasalahkan kembali pemahaman Islam (fiqh) yang terkandung dalam kitab-kitab fikih, tafsir, dan syarah hadis yang menurut mereka masih mencerminkan dan dominasi partikal yang cukup kental. Mereka ini kemudian dijuluki tokoh-tokoh feminis Muslim atau sering juga dikenal sebagai kaum feminis Muslim. Di antara tokoh-tokoh feminis Muslim yang tulisan-tulisannya dapat dibaca, baik dalam bentuk buku maupun artikel, adalah Fatima Mernissi dari Maroko, Riffat Hassan dari Pakistan, Nawal el-Sadawi dari Mesir, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, dan Asghar Ali Engineer dari Pakistan.
Dari tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam sebenarnya sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan laki-laki. Jadi Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Kalau-lah selama ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam, ketika memposisikan perempuan dan laki-laki dalam hukum, adalah karena warisan pemahaman Islam (fikih) dari para tokoh Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi agama. Oleh karena itu, kaum feminis itu bersepakat untuk mengadakan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan dengan jalan menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan dengan wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang menunjukkan kebencian kepada perempuan).
Studi yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap al-Quran menunjukkan adanya kesetaraan gender. Dia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni, pertama, Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam surat al-Hujurat (49): 13 dan al-Nahl (16): 97, kedua, Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam surat al-Baqarah (2): 30 dan al-An’am (6): 165, ketiga, Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti terlihat dalam surat al-A’raf (7): 172, keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam surat al-Baqarah (2): 35 dan 187, al-A’raf (7): 20, 22, dan 23, kelima, Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat dalam surat Ali ‘Imran (3): 195, al-Nisa’ (4): 124, al-Nahl (16): 97, dan Ghafir (40): 40.[9]
Kalaupun kemudian muncul pendapat yang bernada misoginis terhadap perempuan, atau yang menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki, dikarenakan adanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Quran.
Persoalan yang sama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis. Namun, dalam bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh status atau kualitas hadis yang oleh para ulama hadis dinilai berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak seperti al-Quran yang sejak turunnya hingga sekarang tidak diragukan keautentikannya.
Hadis tidak seperti al-Quran, karena sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis yang bermuatan sosio-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya kepada kita. Inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas hadis, sehingga hadis ada yang shahih, hasan, dan dla’if. Kualitas inilah yang juga ikut mempengaruhi wacana pemikiran (fiqh) tentang perempuan dalam Islam.
Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman hadis, yaitu usaha penyesuaian dengan dan dari hadis untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan dengan teks hadis atau sebaliknya, tetapi dilakukan dengan dialog atau saling mengisi di antara keduanya.[10] Tujuan kontekstualisasi ini tidak lain untuk melihat posisi perempuan yang sebenarnya dalam hadis atau Sunnah Nabi.
Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan
Keseteraan gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting mengingat sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan memberi arah pada terciptanya kesetaraan gender. Tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan.
Upaya pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan di Indonesia terus dilakukan, tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Dampak krisis ekonomi ini tidak saja kepada daya beli masyarakat tetapi juga berdampak kepada kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
Dan sekarang ini pemerintah lebih giat lagi untuk memajukan pendidikan di Indonesia, terutama dengan dipenuhinya anggara pendidikan 20 % dari APBN. Dengan kebijakan sekolah gratisnya, pemerintah cukup mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Peraturan perundang-undangan di negara kita tentang pendidikan tidak ada yang mengarah kepada ketimpangan gender. Tidak ada kebijakan yang yang bias gender terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kalaupun terjadi perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan pada jurusan-juruan tertentu baik di SMA, SMK, maupun di PT, bukan karena kebijakan yang dibuat menuntut demikian, tetapi hal ini semata-mata adalah karena pilihan para peserta didik yang dipengaruhi oleh asumsi perbedaan kemampuan mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Ace Suryadi, bahwa terjadinya ketimpangan menurut gender yang tercermin dalam proporsi jumlah peserta didik yang tidak seimbang menurut jurusan-jurusan atau program-program studi yang ada pada pendidikan menengah dan tinggi disebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan ketrampilan antara laki-laki dan perempuan (Ace Suryadi, 2004: 114).
Kita pun juga sering menemukan adanya gejala kesenjangan gender dalam sistem pendidikan, khususnya dalam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dalam hal proporsi laki-laki dan perempuan dalam jurusan-jurusan yang dibuka. Penyebabnya, selain mungkin peserta didik itu sendiri kekurangan informasi untuk menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor keluarga dengan berbagai persepsinya yang sudah bias gender. Sering kali dalam memilih jurusan, mereka mendapat intervensi dari orang tua mereka, padahal jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan.
Bisa ditegaskan di sini, bahwa di SMU sudah terjadi kesetaraan gender dalam program penjurusan. Namun, yang terjadi di SMK masih terjadi kesenjangan gender berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas diikuti laki-laki atau perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program studi Bisnis dan
Manajemen, Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih mendominasi program studi Teknik. Hal ini juga terjadi di jurusan-jurusan atau program-program studi di perguruan tinggi (PT).














Bab III
Penutup
Uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sama sekali tidak menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik dari segi substansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya, maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam, melalui kedua sumbernya al-Quran dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan perempuan setara dan seimbang dan setara dengan posisi dan kedudukan laki-laki. Dengan kata lain, Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan gender dan tidak menghendaki ketidakadilan atau ketimpangan gender.



[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet. II, h. 13.
[2] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cet. XII, h. 265.
[3] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 33-34.
[4] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cet. XII, h. 517.
[5] Macdonald, Mandy dkk, Gender dan Perubahan Organisasi: Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahsa: Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. xii.
[6] Al-Bari, Haya Binti Mubarak, Mausu’at al-Mar’ah al-Muslimah. Alih bahasa: Amir Hamzah Fachruddin. (Jakarta: Darul Falah, 1997), Cet. I, h. 5-8. Lihat juga N.M. Shaikh, Woman in Muslim Society, (New Delhi: Kitab Bhavan. 1991), Cet. I, h. 2-5.  
[7] Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji, Ahkam al-Mar’ah fi al-Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa: Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib, (Semarang: Dina Utama, 1995), Cet. I, h. 23-24.
[8] Nurul Agustina, 1993, “Tradisionalisme Islam dan Feminisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. (Edisi Khusus) No. 5 dan 6, Vol. V, h. 63.
[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 245-265.
[10] Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, h. 180. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar