Kesetaraan
Gender dalam Pendidikan dan Ruang Publik
Pendahuluan
Isu-isu
tentang perempuan, sekarang ini, banyak mengisi wacana di tengah-tengah
masyarakat kita, di samping wacana-wacana politik dan ekonomi. Isu perempuan
ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan di antara kedua
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang sering disebut ketidakadilan
gender, ini semakin tinggi di kalangan masyarakat kita. Perempuan yang sekarang
ini jumlahnya lebih besar dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan
menempati sektor-sektor publik yang ikut berpengaruh di dalam menentukan
keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan penting. Kalaupun perempuan
memasuki sektor publik, posisinya selalu berada di bawah laki-laki, terutama
dalam bidang politik. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terjadi di
negara-negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Berbagai
upaya ditempuh untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan agar setara dengan
laki-laki melalui berbagai institusi, baik yang formal maupun yang non-formal.
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya keadilan gender (keadilan
sosial) di tengah-tengah masyarakat. Di antara strategi yang ditempuh untuk
mewujudkan keadilan tersebut adalah melibatkan perempuan dalam pembangunan.
Strategi
ini menjadi dominan di tahun 70-an. Setelah PBB menetapkan decade pertama
pembangunan kaum perempuan, sejak saat itulah hampir semua pemerintahan dunia
ketiga mulai mengembangkan kementrian peranan wanita (urusan perempuan) dengan
tujuan utamanya adalah peningkatan peran wanita dalam pembangunan. Pemberian
kesempatan yang sama terhadap perempuan untuk melakukan aktivitas diberbagai
bidang sebagaimana laki-laki, ternyata tidak menjamin untuk terealisasikannya
keadilan gender. Penyebab utamanya adalah rendahnya kualitas sumber daya kaum
perempuan yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki
dalam pembangunan, sehingga posisi penting dalam pemerintahan maupun dunia
usaha didominasi oleh kaum lelaki.
Perbedaan
gender sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk memahami
bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat
manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, seperti marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[1]
Lalu
bagaimana kita menyikapi kondisi seperti itu? Tentu saja, kita ingin
mengupayakan terwujudnya keadilan atau kesetaraan gender. Sebelum kita
melakukan hal itu, kita perlu tahu terlebih dahulu bagaimana kesetaraan gender
ini di tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia. Lebih khusus lagi kita perlu
juga tahu bagaimana kesetaraan gender menurut Islam dan juga dalam bidang
pendidikan? Permasalahan inilah yang akan dikaji dalam tulisan singkat ini.
Namun, sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu konsep gender secara
singkat.
Epistemologi
Gender
Istilah
“gender” sudah tidak asing lagi di telinga kita, tetapi masih banyak di antara
kita yang belum memahami dengan benar istilah tersebut. Gender sering
diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau
kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian.
Secara
etimologis, kata “gender” berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis
kelamin.[2]
Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi 1984 “gender” diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of
Current English, Edisi 1990, kata “gender” diartikan sebagai penggolongan
gramatikal terhadap kata-kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan
dengannya, yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta
ketiadaan jenis kelamin (kenetralan).
Secara
terminologis, “gender” oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson
mengartikan “gender” sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Sementara itu, Elaine
Showalter mengartikan “gender” lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.[3]
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu
bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati.
Perbedaan
Sex dengan Gender
Gender
berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama, yaitu jenis
kelamin.[4]
Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Kalau studi sex
lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis, komposisi kimia dan hormon
dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta karakteristik biologis lainnya
dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih
menekankan kepada perkembangan aspek sosial, budaya, psikologis, dan
aspek-aspek non biologis lainnya.
Untuk
melihat perbedaan pemahaman tentang sex dan gender dengan jelas dapat
dilihat ilustrasi berikut ini. Menurut tinjauan sex, seorang laki-laki
bercirikan seperti memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma,
sedang seorang perempuan bercirikan seperti memiliki vagina, memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memiliki payudara, dan
memproduksi sel telur. Ciri-ciri ini melekat pada laki-laki dan perempuan dan
tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Semua ciri-ciri tersebut diperoleh
secara kodrat dari Tuhan. Sedang menurut tinjauan gender, seorang perempuan
memiliki ciri-ciri seperti cantik, lemah lembut, emosional, dan keibuan, sedang
seorang laki-laki memiliki ciri-ciri seperti kuat, rasional, gagah, perkasa,
jantan, dan masih banyak lagi yang lain. Ciri-ciri ini tidak selamanya tetap,
tetapi dapat berubah. Artinya tidak semua laki-laki atau perempuan memiliki
ciri-ciri seperti tersebut. Ciri-ciri itu bisa saling dipertukarkan. Bisa jadi
ada seorang perempuan yang kuat dan rasional, tetapi ada juga seorang laki-laki
yang lemah lembut dan emosional.
Tegasnya,
dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, gender diperkenalkan untuk mengacu kepada
perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan laki-laki tanpa konotasi-konotasi
yang sepenuhnya bersifat biologis, tetapi lebih merujuk kepada
perbedaan-perbedaan akibat bentukan sosial. Karena itu, yang dinamakan relasi
gender adalah seperangkat aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik
dalam masyarakat dan dalam kebudayaan yang menentukan batas-batas feminin dan
maskulin.[5]
Jadi,
gender menjadi istilah kunci untuk menyebut femininitas dan maskulinitas yang
dibentuk secara sosial yang berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu
yang lain, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan sex
(jenis kelamin), perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses
pembelajaran, bukan semata-mata berasal dari pemberian (kodrat) Tuhan yang
tidak dapat dipengaruhi oleh manusia.
Sejarah
perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti
kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses
yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan
Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan
gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender
memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan
pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang
terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga
dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang.
Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang
untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang
banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Kesetaraan
Gender Perspektif Islam
Secara
umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika
dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah berabad-abad lamanya pandangan ini
mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari
agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin juga
agama-agama lainnya. Ada baiknya di sini dipaparkan sekilas pandanagan historis
mengenai posisi perempuan.
Sebelum
Islam datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang tidak imbang
dibandingkan dengan strata sosial laki-laki. Selama berabad-abad kaum perempuan
terus menerus berada di bawah dominasi kaumlaki-laki. Nasib perempuan begitu
sengsara dan memprihatinkan. Perempuan dijadikan boneka-boneka istana untuk
memuaskan nafsu para raja atau penguasa, bahkan perempuan juga dijadikan
seperti barang yang dapat diperjualbelikan. Dalam kehidupan rumah tangga,
kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada kekuasaan suaminya. Perempuan tidak
memiliki hak-hak yang semestinya. Kondisi perempuan seperti ini hampir terjadi
di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti bangsa Yunani, Romawi,
Cina, India, Persia, dan lain sebagainya.[6]
Di
kalangan bangsa Arab sendiri sebelum Islam datang, kondisi perempuan sangat
memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi perempuan pada masa Jahiliah
dengan panjang lebar seperti berikut: pertama, perempuan terhalang dari
hak mewarisi, kedua, suami berhak menceraikan isterinya seenaknya dan
dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri sama
sekali pasif dalam masalah ini, ketiga, tidak ada batasan dalam masalah
jumlah isteri, keempat, isteri merupakan bagian dari harta peninggalan
suami, kelima, menanam hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi
yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah, keenam dalam rangka
memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan istibda’
(maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya
kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya,
kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang
tersebut dan setalah itu, ia kembali kepada suaminya lagi), ketujuh, adanya
kebiasaan perkawinan syighar (yang berarti pertukaran anak perempuan, yaitu
apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum kawin, mereka
biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar bagi seorang anak
perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan yang
lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari
anak perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka.[7]
Demikianlah,
selama berabad-abad perempuan terus-menerus berada di bawah kekuasaan
laki-laki. Kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk
kepada kekuatan laki-laki demi kelancaran dan kelestarian keluarga. Datangnya
agama Yahudi dan Nasrani yang ajarannya kemudian banyak disimpangkan oleh para
penganutnya belum bisa menjamin kedudukan perempuan sebagaimana mestinya.
Kemudian
datanglah Islam yang berusaha mengangkat kedudukan perempuan hingga menjadi
sejajar dengan kedudukan laki-laki. Islam datang untuk melepaskan perempuan
dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam
memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang
memiliki berbagai hak di samping kewajiban.
Islam
mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap perempuan. Islam memandang
sama antara laki-laki dan perempuan dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Hujurât
(49): 13). Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan
laki-laki dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama (Q.S. al-Taubat (9):
71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Burûj (85): 10), menerima balasan di
akhirat (Q.S. al-Nisâ’ (4): 124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak
disebutkan dalam al-Quran. Namun demikian, dalam hal ini masih diakui adanya
sedikit perbedaan antara perempuan dan laki-laki, misalnya dalam hal status
perempuan menjadi saksi, besarnya bagian perempuan dalam warisan, dan
kesempatan perempuan menjadi kepala negara. Yang pasti, secara kodrati
perempuan berbeda dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi,
hamil, melahirkan, dan menyusui.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada
perempuan setara dengan kedudukan yang diberikan kepada laki-laki. Kesetaraan
ini bukan berarti menjadikan perempuan sama persis dengan laki-laki dalam
segala hal. Tentunya ada batasan-batasan tertentu yang membedakan wanita dengan
pria.
Pada
perkembangan selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya sistem
ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat memberikan kesadaran baru terhadap
hak-hak perempuan. Kaum perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang
mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal. Mereka menolak dianggap rendah
status sosialnya dibanding laki-laki. Mereka menuntut hak-haknya untuk belajar
dan mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini dikenal dengan gerakan
feminisme, yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa
kaum wanita mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menghentikan
diskriminasi tersebut.[8]
Munculnya
kesadaran baru seperti itu banyak menggugah para pakar untuk lebih menyuarakan
hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisan mereka. Mulai dekade 1980 para pakar
Muslim pun mulai banyak berbicara mengenai hak-hak perempuan dengan
mempermasalahkan kembali pemahaman Islam (fiqh) yang terkandung dalam
kitab-kitab fikih, tafsir, dan syarah hadis yang menurut mereka masih
mencerminkan dan dominasi partikal yang cukup kental. Mereka ini kemudian
dijuluki tokoh-tokoh feminis Muslim atau sering juga dikenal sebagai kaum
feminis Muslim. Di antara tokoh-tokoh feminis Muslim yang tulisan-tulisannya
dapat dibaca, baik dalam bentuk buku maupun artikel, adalah Fatima Mernissi
dari Maroko, Riffat Hassan dari Pakistan, Nawal el-Sadawi dari Mesir, Amina
Wadud Muhsin dari Malaysia, dan Asghar Ali Engineer dari Pakistan.
Dari
tulisan-tulisan para feminis Muslim itu dapat dilihat bahwa Islam sebenarnya
sama sekali tidak menempatkan kedudukan perempuan berada di bawah kedudukan
laki-laki. Jadi Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan
gender.
Kalau-lah
selama ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam, ketika memposisikan
perempuan dan laki-laki dalam hukum, adalah karena warisan pemahaman Islam
(fikih) dari para tokoh Muslim tradisional yang diperkuat oleh justifikasi
agama. Oleh karena itu, kaum feminis itu bersepakat untuk mengadakan
rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran tradisional agama untuk sejauh mungkin
mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara laki-laki dan
perempuan yang telah dikukuhkan selama berabad-abad. Rekonstruksi dilakukan
dengan jalan menafsirkan kembali teks-teks al-Quran yang berkaitan dengan
wanita yang selama ini sering ditafsirkan dengan nada misoginis (yang
menunjukkan kebencian kepada perempuan).
Studi
yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap al-Quran menunjukkan adanya kesetaraan
gender. Dia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni, pertama,
Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat
misalnya dalam surat al-Hujurat (49): 13 dan al-Nahl (16): 97, kedua, Laki-laki
dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam surat al-Baqarah
(2): 30 dan al-An’am (6): 165, ketiga, Laki-laki dan perempuan menerima
perjanjian primordial seperti terlihat dalam surat al-A’raf (7): 172, keempat,
Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan ini
terlihat dalam surat al-Baqarah (2): 35 dan 187, al-A’raf (7): 20, 22, dan 23, kelima,
Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat
dalam surat Ali ‘Imran (3): 195, al-Nisa’ (4): 124, al-Nahl (16): 97, dan
Ghafir (40): 40.[9]
Kalaupun
kemudian muncul pendapat yang bernada misoginis terhadap perempuan, atau yang
menunjukkan subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki, dikarenakan
adanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Quran.
Persoalan
yang sama seperti itu juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis.
Namun, dalam bidang hadis ini juga dipengaruhi oleh status atau kualitas hadis
yang oleh para ulama hadis dinilai berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak
seperti al-Quran yang sejak turunnya hingga sekarang tidak diragukan
keautentikannya.
Hadis
tidak seperti al-Quran, karena sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan
peristiwa-peristiwa historis yang bermuatan sosio-kultural, terutama bagi para
perawi atau sanad yang membawanya kepada kita. Inilah yang kemudian
mempengaruhi kualitas hadis, sehingga hadis ada yang shahih, hasan, dan dla’if.
Kualitas inilah yang juga ikut mempengaruhi wacana pemikiran (fiqh)
tentang perempuan dalam Islam.
Dari
sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman hadis, yaitu usaha
penyesuaian dengan dan dari hadis untuk mendapatkan pandangan yang sejati,
orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi. Ini
berarti bahwa kontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan
dengan teks hadis atau sebaliknya, tetapi dilakukan dengan dialog atau saling
mengisi di antara keduanya.[10]
Tujuan kontekstualisasi ini tidak lain untuk melihat posisi perempuan yang
sebenarnya dalam hadis atau Sunnah Nabi.
Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan
Keseteraan
gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting mengingat sektor
pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan
kesetaraan gender. Di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan memberi arah pada
terciptanya kesetaraan gender. Tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebijakan
tersebut. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM)
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan.
Upaya
pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan di Indonesia terus
dilakukan, tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda
Indonesia. Dampak krisis ekonomi ini tidak saja kepada daya beli masyarakat
tetapi juga berdampak kepada kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah
anak-anaknya.
Dan
sekarang ini pemerintah lebih giat lagi untuk memajukan pendidikan di
Indonesia, terutama dengan dipenuhinya anggara pendidikan 20 % dari APBN.
Dengan kebijakan sekolah gratisnya, pemerintah cukup mendapatkan apresiasi
positif dari masyarakat.
Peraturan
perundang-undangan di negara kita tentang pendidikan tidak ada yang mengarah
kepada ketimpangan gender. Tidak ada kebijakan yang yang bias gender terkait
dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang
Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kalaupun terjadi perbedaan
jumlah laki-laki dan perempuan pada jurusan-juruan tertentu baik di SMA, SMK,
maupun di PT, bukan karena kebijakan yang dibuat menuntut demikian, tetapi hal
ini semata-mata adalah karena pilihan para peserta didik yang dipengaruhi oleh
asumsi perbedaan kemampuan mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Ace Suryadi,
bahwa terjadinya ketimpangan menurut gender yang tercermin dalam proporsi
jumlah peserta didik yang tidak seimbang menurut jurusan-jurusan atau
program-program studi yang ada pada pendidikan menengah dan tinggi disebabkan
adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan ketrampilan antara laki-laki
dan perempuan (Ace Suryadi, 2004: 114).
Kita
pun juga sering menemukan adanya gejala kesenjangan gender dalam sistem
pendidikan, khususnya dalam pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dalam
hal proporsi laki-laki dan perempuan dalam jurusan-jurusan yang dibuka.
Penyebabnya, selain mungkin peserta didik itu sendiri kekurangan informasi
untuk menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor
keluarga dengan berbagai persepsinya yang sudah bias gender. Sering kali dalam
memilih jurusan, mereka mendapat intervensi dari orang tua mereka, padahal
jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan
meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan.
Bisa
ditegaskan di sini, bahwa di SMU sudah terjadi kesetaraan gender dalam program
penjurusan. Namun, yang terjadi di SMK masih terjadi kesenjangan gender
berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas diikuti laki-laki atau
perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program studi Bisnis dan
Manajemen,
Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih mendominasi program studi
Teknik. Hal ini juga terjadi di jurusan-jurusan atau program-program studi di
perguruan tinggi (PT).
Bab III
Penutup
Uraian
di atas menjelaskan kepada kita bahwa Islam sama sekali tidak menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, baik
dari segi substansi penciptaannya, tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya,
maupun dalam rangka meraih prestasi puncak yang diidam-idamkannya. Islam,
melalui kedua sumbernya al-Quran dan Sunnah, menetapkan posisi dan kedudukan
perempuan setara dan seimbang dan setara dengan posisi dan kedudukan laki-laki.
Dengan kata lain, Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan gender dan
tidak menghendaki ketidakadilan atau ketimpangan gender.
[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet. II, h. 13.
[2] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cet. XII, h. 265.
[3] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 33-34.
[4] Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cet. XII, h. 517.
[5] Macdonald, Mandy dkk, Gender dan Perubahan
Organisasi: Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahsa:
Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. xii.
[6] Al-Bari, Haya Binti Mubarak, Mausu’at al-Mar’ah
al-Muslimah. Alih bahasa: Amir Hamzah Fachruddin. (Jakarta: Darul Falah,
1997), Cet. I, h. 5-8. Lihat juga N.M. Shaikh, Woman in Muslim Society,
(New Delhi: Kitab Bhavan. 1991), Cet. I, h. 2-5.
[7] Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji, Ahkam al-Mar’ah fi
al-Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa: Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib, (Semarang:
Dina Utama, 1995), Cet. I, h. 23-24.
[8] Nurul Agustina, 1993, “Tradisionalisme Islam dan
Feminisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. (Edisi Khusus) No. 5 dan 6, Vol. V, h.
63.
[9] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender
Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 245-265.
[10] Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.), Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), Cet. I, h. 180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar