Senin, 25 Juli 2016

Mukhtalaful Hadith

Mukhtalaful Hadith
Antara Pro dan Kontra

Ilmu Mustalahul Hadith merupakan ilmu yang membahas tentang Hadis-hadis Rasulullah SAW baik dari segi rawi, sanad, dan matannya. Di dalamnya terdapat berbagai macam pembahasan yang pada intinya membahas tentang kualitas periwayatan Hadis; antara Sahih, Hasan, Da’if, dan lain sebaginya. Dari berbagai macam istilah tersebut, istilah yang terpenting dalam ilmu Mustalahul Hadith adalah Mukhtalaful Hadith. Karena dengan ilmu ini, kita dapat mengetahui Hadis Rasulullah SAW yang secara lahir bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Karena, jika kita meneliti lagi, maka pasti ditemukan solusi untuk mengkopromikannya, baik dengan cara digabung (jam’u), dihapus (naskh), diunggulkan (tarjih), dan didiamkan (tawaqquf).



Di samping itu, ilmu ini muncul karena banyak sekali firqah-firqah, utamanya golongan di luar Ahlusunah Waljamaah yang saling bermusuhan bahkan saling mengkafirkan antara yang satu dengan yang lain disebabkan Hadis Rasulullah SAW yang secara kasat mata bertentangan.
           
Maksud dari mukhtalaful hadith adalah pertentangan antara dua hadis. Menurut bahasa arab ikhtilaf (berbeda) adalah antonim dari ittifaq (sepakat). Namun, secara istilah, mukhtalaful hadith adalah dua hadis yang bertentangan dalam arti lahir sehingga di antara keduanya harus dicocokkan atau diambil yang paling dominan (rajih).

Sebagian ulama membedakan antara mukhtalaful hadith dengan musykilul hadith. Demikian ini karena musykilul h{adith cakupannya lebih umum daripada mukhtalaful h}adith, jika ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
  
  1. Mukhtalaful hadith lebih dikhususkan antara dua hadis khusus. Sedangkan musykilul hadith lebih umum.
  2. Mukhtalaful hadith lebih dikhususkan antara dua hadis saja, sedangkan musykilul hadith mencakup dari segala bentuk pertentangan hadis, seperti antara hadis dengan al-Qur’an, antara hadis dengan ijmak, antara hadis dan qias, dan antara hadis dengan akal.

Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian hadis mukhtalaf menurut pemahaman para ulama adalah hadis maqbul, seperti hadis sahih atau hasan, yang secara lahir maknanya tampak saling bertentangan dengan hadis maqbul lainnya. Namun, maksud yang dituju hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena antara hadis satu dengan yang lain sebenarnya dapat dikompromikan atau diselesaikan dengan cara-cara tertentu. Berarti secara garis besar definisi hadis mukhtalaf mencakup dua opsi; Pertama, adanya pertentangan, secara lahir antara dua hadis tersebut. Kedua, ada kemungkinan bisa dikompromikan. Jadi, setiap mukhtalaful hadith pasti termasuk musykilul hadith. Namun, tidak sebaliknya.

Mengenai hal ini, Imam Syafii adalah orang pertama yang membahas perbedaan-perbedaan hadis Rasulullah SAW dalam kitabnya, Ikhtilaful Hadis, lalu disusul oleh Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Bin Qutaibah dalam karyanya, Ta’wilu Mukhtalafil-Hadith, kemudian dibahas oleh Imam Ibnu Jarir dan Imam At-Thahawi dalam Musykilu al-Athar.

Terkait dengan pertentangan-pertentangan hadis, ulama mempunyai beberapa solusi untuk mencegah terjadinya hal itu, antara lain:

1.      Al-Jam’u (penggabungan)

Penggabungan ini bisa dilakukan asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Di antaranya: 1). Hadis-hadis yang bertentangan itu termasuk kategori hadith maqbul (bisa diterima), seperti hadis sahih dan hasan. 2). Penggabungan itu tidak menyebabkan batalnya pengamalan dalil syarak maupun salah satu hadis yang bertentangan tersebut, karena tujuan utama dari jam’u ini adalah mengamalkan kedua hadis itu, bukan salah satunya. 3). Penggabungan itu harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab dari berbagai aspeknya dan tidak menyalahi tujuan ditetapkannya hukum syarak.

2.      Naskh (mengahapus hadis sebelumnya)

Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Hadis itu telah di-naskh adalah: 1). Ada penjelasan langsung dari Rasulullah SAW bahwa Hadis itu telah di-naskh. 2). Adanya petunjuk dari sahabat tentang Hadis-hadis yang telah di-naskh. 3). Diketahui sejarahnya (asbabul wurud-nya). 4). Berdasarkan kesepakatan ulama.

3.      Tarjih (mengambil yang paling dominan)

Penjelasan hadis-hadis mukhtalaf dengan cara tarjih dilakukan jika hadis-hadis tersebut tidak bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan keterangan yang menunjukkan deperbolehkannya naskh. Sedangkan tujuan dari tarjih adalah menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama, dengan sesuatu yang menjadikan lebih utama dari yang lain. Kemudian hadis itu dikaji lebih jauh agar diketahui mana yang lebih kuat dan lebih tinggi hujahnya, untuk kemudian yang kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.

4.      Tawaqquf (sama-sama tidak diamalakan)

Penyelesaian dalam bentuk ini berarti mendiamkan atau tidak mengamalkan kedua hadis yang mukhtalaf untuk sementara waktu sampai terdapat dalil lain yang mengunggulkan salah satunya. Sebagaian ulama berpendapat bahwa konsekuensi dari bentuk penyelesaian ini adalah menganggap tidak adanya kedua hadis dan mengembalikan semua permasalahan pada kaidah ushul yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu boleh dilakukan sampai terdapat dalil yang mengharamkannya.

Dari empat solusi ini, dapat diketahui bahwa betapa sulit meneliti hadis-hadis Rasulullah SAW yang bertentangan, sehingga tidak semua orang bisa meneliti ilmu mukhtalaful hadith, kecuali para mujtahid yang ahli dalam bidangnya dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.


Dari semua penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW yang secara lahir kontra, namun realitanya tidak ada yang bertentangan,  kerena jika diteliti ulang hadis itu sama sekali tidak bertolak belakang. Buktinya, terdapat beberapa solusi yang dapat memecahkan masalah tersebut, sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu, Imam Ibnu Khuzaimah memberi instruksi bahwa, “siapa saja yang menemukan hadis Rasulullah SAW yang bertentangan, maka datangkanlah hadis itu pada saya, agar saya yang akan mengarangkan kitab khusus hadis tersebut”. Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar