Mukhtalaful
Hadith
Antara
Pro dan Kontra
Ilmu Mustalahul Hadith merupakan
ilmu yang membahas tentang Hadis-hadis Rasulullah SAW baik dari segi rawi,
sanad, dan matannya. Di dalamnya terdapat berbagai macam pembahasan yang pada
intinya membahas tentang kualitas periwayatan Hadis; antara Sahih, Hasan, Da’if, dan lain sebaginya. Dari berbagai macam istilah
tersebut, istilah yang terpenting dalam ilmu
Mustalahul Hadith adalah Mukhtalaful Hadith. Karena
dengan ilmu ini, kita dapat mengetahui Hadis Rasulullah SAW yang secara lahir
bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Karena, jika kita meneliti lagi, maka
pasti ditemukan solusi untuk mengkopromikannya, baik dengan cara digabung (jam’u), dihapus (naskh),
diunggulkan (tarjih), dan
didiamkan (tawaqquf).
Di samping
itu, ilmu ini muncul karena banyak sekali firqah-firqah, utamanya golongan di luar Ahlusunah
Waljamaah yang saling bermusuhan bahkan saling mengkafirkan
antara yang satu dengan yang lain disebabkan Hadis Rasulullah SAW yang secara kasat
mata bertentangan.
Maksud dari mukhtalaful hadith adalah pertentangan antara
dua hadis. Menurut bahasa arab ikhtilaf (berbeda) adalah
antonim dari ittifaq (sepakat).
Namun, secara istilah, mukhtalaful hadith adalah dua
hadis yang bertentangan dalam arti lahir sehingga di antara keduanya harus
dicocokkan atau diambil yang paling dominan (rajih).
Sebagian
ulama membedakan antara mukhtalaful hadith dengan musykilul hadith. Demikian ini karena
musykilul
h{adith cakupannya
lebih umum daripada mukhtalaful h}adith, jika ditinjau dari beberapa aspek, antara lain:
- Mukhtalaful
hadith lebih dikhususkan antara dua hadis khusus.
Sedangkan musykilul hadith lebih
umum.
- Mukhtalaful
hadith lebih dikhususkan antara dua hadis saja, sedangkan
musykilul
hadith mencakup dari segala bentuk pertentangan hadis, seperti antara hadis
dengan al-Qur’an, antara hadis dengan ijmak, antara hadis dan qias, dan
antara hadis dengan akal.
Dari penjelasan ini, dapat
disimpulkan bahwa pengertian hadis mukhtalaf menurut pemahaman para ulama adalah hadis maqbul, seperti hadis sahih atau hasan, yang secara lahir maknanya tampak
saling bertentangan dengan hadis maqbul lainnya. Namun, maksud yang dituju hadis-hadis
tersebut tidaklah bertentangan karena antara hadis satu dengan yang lain
sebenarnya dapat dikompromikan atau diselesaikan dengan cara-cara tertentu. Berarti
secara garis besar definisi hadis mukhtalaf mencakup dua opsi; Pertama, adanya pertentangan,
secara lahir antara dua hadis tersebut. Kedua, ada kemungkinan bisa
dikompromikan. Jadi, setiap mukhtalaful hadith pasti termasuk musykilul hadith. Namun, tidak sebaliknya.
Mengenai hal
ini, Imam Syafii adalah orang pertama yang membahas perbedaan-perbedaan hadis
Rasulullah SAW dalam kitabnya, Ikhtilaful Hadis, lalu
disusul oleh Abu Muhammad
Abdullah bin Muslim Bin Qutaibah dalam karyanya, Ta’wilu
Mukhtalafil-Hadith, kemudian dibahas oleh Imam Ibnu Jarir dan Imam
At-Thahawi dalam Musykilu al-Athar.
Terkait
dengan pertentangan-pertentangan hadis, ulama mempunyai beberapa solusi untuk
mencegah terjadinya hal itu, antara lain:
1. Al-Jam’u (penggabungan)
Penggabungan
ini bisa dilakukan asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Di antaranya:
1). Hadis-hadis yang bertentangan itu termasuk kategori hadith maqbul (bisa diterima), seperti
hadis sahih dan hasan. 2). Penggabungan itu tidak menyebabkan batalnya
pengamalan dalil syarak maupun salah satu hadis yang bertentangan tersebut, karena
tujuan utama dari jam’u ini adalah
mengamalkan kedua hadis itu, bukan salah satunya. 3). Penggabungan itu harus
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dari berbagai aspeknya dan tidak menyalahi
tujuan ditetapkannya hukum syarak.
2.
Naskh (mengahapus hadis sebelumnya)
Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Hadis itu
telah di-naskh adalah: 1). Ada penjelasan langsung dari
Rasulullah SAW bahwa Hadis itu
telah di-naskh. 2). Adanya petunjuk dari sahabat
tentang Hadis-hadis yang telah di-naskh. 3). Diketahui sejarahnya (asbabul wurud-nya). 4). Berdasarkan kesepakatan ulama.
3.
Tarjih (mengambil yang paling dominan)
Penjelasan hadis-hadis mukhtalaf dengan cara tarjih dilakukan jika hadis-hadis tersebut tidak
bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan keterangan yang menunjukkan
deperbolehkannya naskh. Sedangkan tujuan
dari tarjih adalah
menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama, dengan sesuatu yang
menjadikan lebih utama dari yang lain. Kemudian hadis itu dikaji lebih jauh
agar diketahui mana yang lebih kuat dan lebih tinggi hujahnya, untuk kemudian
yang kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.
4. Tawaqquf (sama-sama tidak
diamalakan)
Penyelesaian
dalam bentuk ini berarti mendiamkan atau tidak mengamalkan kedua hadis yang mukhtalaf untuk
sementara waktu sampai terdapat dalil lain yang mengunggulkan salah satunya.
Sebagaian ulama berpendapat bahwa konsekuensi dari bentuk penyelesaian ini
adalah menganggap tidak adanya kedua hadis dan mengembalikan semua permasalahan
pada kaidah ushul yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu boleh
dilakukan sampai terdapat dalil yang mengharamkannya.
Dari empat
solusi ini, dapat diketahui bahwa betapa sulit meneliti hadis-hadis Rasulullah SAW yang bertentangan, sehingga tidak
semua orang bisa meneliti ilmu mukhtalaful hadith, kecuali para mujtahid yang ahli dalam bidangnya dan memiliki
kapasitas keilmuan yang memadai.
Dari semua
penjelasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW yang
secara lahir kontra, namun realitanya tidak ada yang bertentangan, kerena jika diteliti ulang hadis itu sama
sekali tidak bertolak belakang. Buktinya, terdapat beberapa solusi yang dapat
memecahkan masalah tersebut, sebagaimana uraian di atas. Oleh karena itu, Imam
Ibnu Khuzaimah memberi instruksi bahwa, “siapa saja yang menemukan hadis
Rasulullah SAW yang bertentangan, maka datangkanlah hadis itu pada saya, agar
saya yang akan mengarangkan kitab khusus hadis tersebut”. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar