Kamis, 12 Mei 2016

Pemikiran


MIRCEA ELIADE (1970-1986)
Oleh: Muhammad Thoriqul Islam[1]

Riwayat Hidup

Mircea Eliade adalah seorang penulis fiksi berbakat, sarjana lintas budaya, dan pakar studi perbandingan agama, yang lahir di Bucharest pada 9 Maret 1907. Dia anak dari seorang pegawai kemiliteran di Rumania. Sejak usia muda Eliade telah dikontrak sebuah surat kabar untuk menulis cerita, opini, dan resensi buku. Pengembaraan intelektual, ia jalani mulai dari Rumania, India, dan memperdalam dengan melakukan riset di tanah kelahirannya lagi, maupun beberapa wilayah Eropa. Ia juga pernah menjabat di sebuah universitas di Perancis, dan pada tahun 1950 ia bermigrasi ke Amerika dan menjadi profesor di universitas Chicago hingga akhir hayatnya pada 22 April 1986 dalam usia 79 tahun karena terserang struk.

Dalam perjalanan intelektual itu, Pals menegaskan, Eliade melihat banyak pertentangan bertemu: antara Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, mistisisme dan rasionalitas, kontemplasi dan kritisisme. (Aliade dalam Pals, 271). Pertentangan tersebut ditulis dalam sebuah artikel di sebuah ruangan kosong di rumahnya yang jarang dipakai, yang dikejutkan oleh pendar sinar matahari yang menerobos gorden hijau hingga seluruh ruangan terpancar gerlap hijau yang menyilaukan, mempesona, sekaligus menggetarkan. Serasa ia terpindahkan ke sebuah dunia yang sama sekali belum diketahui. Pengalaman tersebut dinamakan dengan istilah “nostalgia” yang menunjuk pada pemahaman tentang a beautiful space of otherworldly perfection.[2]
Pengalaman religius itu menginspirasi pemikiran Eliade dalam dunia akademik. Di Universitas Bucharest dan Itali, ia mempelajari para pemikir Platonis mistis dan para pemikir Itali Renaissance. Pada tahun 1928, ia mendaftar di Universitas Calcutta dan berguru pada Surendranath Dasgupta. Berlatih yoga dengan seorang guru di Himalaya juga ditempuhnya. Pada tahun 1931, demi wajib militer ia kembali ke Rumania. Seusai menunaikan wajib militer ia kembali menulis dan melahirkan banyak karya (dengan isu seputar gerakan mutakhir dalam sastra, filsafat, dan seni).
Beberapa karyanya antara lain: pertama, novel berjudul Maitreyi (Bengal Night) “Kisah Cintanya dengan putri Dasgupta” mendapatkan penghargaan pada 1933. Kedua, Disertasi doktoral berjudul “Yoga: An Essay on the Origin of Indian Mystical Theology” (1936). Ketiga, Pattern in Comparative Religion (1949) yang banyak menggali peran simbol-simbol dalam agama. Keempat, The Myth of the Eternal Return (1949) yang berisi tentang penelitiannya atas konsep sejarah dan waktu yang sakral maupun perbedaan antara agama purba (archaic religion) dengan pemikiran modern.
Pemikiran Mircea Eliade
1.       Dereduksionisasi Agama
Menurut Eliade perlu dibenahi, sebab teori tersebut terlalu radikal bahkan tidak merepresentasikan suatu fakta yang sangat faktual di dalamnya (dalam kontek ini adalah fenomena agama). Hal ini telah mengakibatkan kecelakaan beragama yang dapat merugikan banyak pihak. Agama bukan lagi sesuatu yang diminati, melainkan menjadi permainan intelektual akibat dari kecerobohan dan keteledoran yang sangat fatal.
Dalam konteks ini, Eliade sangat menyayangkan tokoh pendahulunya, bahkan dalam dua bangunan aksiomatiknya ia menyatakan dirinya untuk menolak reduksionis terhadap pembacaan agama. Eliade secara tegas mengatakan “the independence of religion or autonomy” yakni perihal independensi ide dan aktivitas agama. Eliade menolak tegas agama sebagai suatu “devendet variable” melainkan “constant variable”. Artinya paradigma variable devendet adalah salah, sebab secara fungsionalis etika agama adalah penyebab bukan sebaliknya.[3]
Konsekuensinya adalah Eliade sangat menekankan agar pembacaan terhadap agama harus melalui bangunan-bangunan yang ada di dalamnya dan bukan sebaliknya.[4] Di dalamnya terdapat fenomena realitas-religius. Berarti agama hanya dapat dibaca dalam konteks realitas religius tersebut, bukan dibaca melalui realitas psikologis, ekonomi, social dan sebagainya.
2.      Fenomenologi: Sebuah Tawaran Metodis
Menurut Eliade mahasiswa jurusan agama harus lebih efektif dalam belajar. Mereka terlalu banyak berbicara tentang masa lalu melalui pengakumulasian dan pengkolokasian fakta, generalisasi, kritisasi dan upaya penemuan konsekuensi di dalamnya. Ini artinya agama hanya dilihat dari sisi historis yang kadang tidak mampu bahkan tidak bisa merepresentasikan fakta-fakta di dalamnya dalam arti pembacaan semata berdasarkan mata rantai historis. Konteks yang sama dengan mata psikologis, ekonomi, sosial dan sebagainya, masing-masing tidak bisa dipakai secara terpisah semata dan pada saat yang sama akhirnya nanti bernasib sama dengan pendekatan historis semata. Dalam konteks ini Eliade secara tegas mengatakan “at the some time, the study of religion cannot be just historitical either”.
Kegelisahan akademik dalam konteks inilah Eliade menawarkan satu pendekatan praktis dan objektif. Ia menyebutnya dengan “fenomenologi”, yakni the comparative study of things in the form, or appearance, they present to us.
Bisa kita pastikan bahwa dasar pijakan fenomenologi khas Eliade ini adalah “perbandingannya dengan sesuatu yang lain”. Artinya bahwa realitas fenomenologi dapat terlihat setelah kita membandingkannya dengan realitas yang lain. Eliade kemudian mencontohkannya dengan zat warna yang ada pada suatu benda, dimana kita dapat melihat warna merah dalam spektrum akibat dari penampakan berbeda dari yang biru atau violet. Nah, dalam konteks keagamaan, ketika kita ingin memahami fakta keagamaan, kepercayaan atau ritual-ritual, maka kita harus membandingkannya dengan yang lain.
3.      The Concept of Religion: The Concept of Sacred and Profane
Tidak seperti pemikir sebelumnya seperti Tylor yang menganggap agama sebagai sebuah keyakinan terhadap suatu yang spiritual”. Menurutnya, walaupun kita dapat menemukan kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik yang dimiliki setiap agama adalah keyakinan terhadap roh yang berpikir. Dan esensi agama agama menurutnya adalah animism yakni sebuah kepercayaan bahwa ada kekuatan yang lebih ‘unggul’ dari kekuatan manusia. Sementara Sigmun Frued, lebih melihat agam sebagai sebuah ‘kekeliruan dan takhayul’. Ia lebih cenderung melihat bahwa orang yang beragama adalah orang yang mengidap penyakit jiwa atau lebih tepatnya orang yang beragama menurut Frued adalah orang yang mengidap penyakit Neurotis, karena adanya kemiripan dalam perilaku orang yang beragama dengan pasien neurotisnya. Seperti keduanya lebih menekankan bentuk-bentuk seremonial dan akan merasa bersalah jika dia tidak melakukan ritual-ritual tersebut dengan sempurna. Sedangkan Durkheim lebih melihatnya sebagai ‘satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh’ dan selalu dikaitkan dengan yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut, kemuduan disatukan kedalam satu komunitas yang disebut Gereja, tempat masyarakat memberikan kesetiaannya.
Nah, Eliade sama sekali tidak menyetujui pendapat tersebut, namun mengkombinasikannya terutama pendapat antara Rudolp dan Dukheim. Kata Eliade, agama adalah suatu sistem yang timbul dari sesuatu yang disakralkan atau sakral. Ia mengangap agama dalam peradaban modern pada intinya adalah transformasi bentuk dari prototipe keyakinan masyarakat kuno (archaic people). Menurutnya, berbagai tingkat kebudayaan menunjukkan perihal keseriusan masyarakat tradisional melaksanakan urusan dengan mengikuti pola yang ditetapkan oleh para dewa. Otoritas dari yang sakral mengontrol semuanya. Misalnya, sebuah desa harus dibangun dari di atas sebuah tempat dimana telah ada suatu “hierofani” (hieros dan phainen = penampakan yang sakral). Dengan demikian, desa yang dibangun sesuai cetak biru yang diberikan para dewa adalah sebuah kosmos (keteraturan), di tengah-tengah dunia bahaya dan kesemrawutan, ia adalah sebuah tempat tujuan yang penuh rasa aman.
            Menurutnya agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan. Sebagai suatu elemen dalam kehidupan manusia fungsi agama harus dilihat sebagai sebuah sebab bukan akibat. Untuk memahami agama, para sejarahwan harus masuk kepada kehidupan Prasejarah dimana orang arkhais. Masyarakat arkhais memisahkan antara wilayah kehidupan yang sakral dan yang profan. Fokus perhatian agama adalah supranatural. Sifatnya mudah dimengerti dan bersifat sakral.
Terminologi sakral-profan menjadi sesuatu yang urgen dalam konteks studi agama. Sebab, secara epistemologis realita sakral-profan ada dalam sebuah agama. Namun, bangunan-bangunan terminologinya tanpak berbeda bahkan berlawanan satu sama lain. Dukheim misalnya melihat sakralitas ada dalam masyarakat itu sendiri, sementara yang profan ada dalam individu, dan dalam konteks ini Eliade tidak menyetujuinya. Eksplanasi Eliade mengenai sakral-profan memperlihatkan ruang dan waktu yang benar-benar ril. Ketika pendapat lain mengatakan bahwa sakral adalah sebuah fenomena sosiologis, sakral adalah sebuah pengalaman psikologis, namun Eliade tetap mengatakan bahwa sakral adalah yang sakral. Ia adalah sesuatu yang nyata, permanen dan abadi, bukan sebaliknya.
Dalam konteks ini Eliade memperkenalkan konsep fundamental mengenai sakral yakni yang ia sebut dengan “hierofani”, dimana yang “sakral’ diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya pada dunia yang profan secara berbeda. Ini berarti pusat kontrol ada pada yang sakral itu bukan ada pada yang profan. Sesuatu yang sakral sering dijadikan sebagai pijakan dalam penentuan sesuatu. Contoh yang paling ril adalah ketika masyarakat arkhasi mendirikan sebuah perkampungan. Pemilihan lokasi pembangunan tidak preferensi teritorialnya melainkan secara hierofani. Lokalisasi berdasarkan inilah yang kemudian nantinya dijadikan pusat pembangunan, sebab lokasi tersebut dianggap sebagai pusat bumi yang bernilai sakral dan sebagai tandanya adalah biasanya berbentuk gunung atau pohon.
Sakral dan profan menurut Eliade adalah dua entitas yang berbeda dan ada” dan untuk itu, ia membedakannya secara terpisah. Dunia sakral adalah the sphere of the supernatural, of things extraordinary, memorable and momentaous (wilayah-wilayah supernatural, hal-hal luar biasa, mengesankan dan penting). Sementara yang profan adalah the realm of the everyday business-of things ordinary, random and largely unimportant (wilayah keseharian-hal-hal biasa, takdisengaja dan umumnya tidak penting). Dalam penjelasan berikutnya ia menambahkan bahwa sakral adalah the eternal, full of substance and reallity ( yang abadi, penuh dengan substnasi dan realitas) sedangkan profan adalah vainishing and fragile, full of shadows (menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang. Pada sisi yang lain sakral adalah the sphere of order and perfection, the home of the ancestors, heroes, and gods ( wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan dan dewa), sedang profan adalah the arena of human affairs, which are changeable and opten chaotic (urusan manusia yang dapat berubah-ubah dan sering kacau). Jadi, kalau saya lihat paling tidak ada tiga sisi yang menjadi area perbedaan antara dua entitas sakral dan profan tadi yakni dalam konteks aktivitas, eksistensi dan lokalitas. Ketiga ini amat penting dalam membedakan dua entitas tersebut.
Entitas sakral ini paling tidak selalu menyertai empat komponen dasar yakni space, time, nature dan man. Keempat ini adalah bagian penting yang memang ada. Ruang dalam perspektif manusia religious, memiliki makna khusus dan penting. Bukan semata-mata karena ruang iru sendiri, melainkan kehierofanian yang ada pada manusia itu sendiri. Sebab, manusia modern umumnya menganggap semua ruangan adalah sama, dalam arti tidak ada beda satu dengan yang lainnya. Tentu ini menurut Eliade merupakan suatu kemiskinan religious yang dialami kebanyakan manusia modern. Mereka banyak kehilangan dimensi-dimensi penting dalam beragama. Namun demikian, ruang sakral memang hanya dapat dirasakan oleh manusia-manusia religious.
Hemat saya, entitas sakral dalam pandangan Eliade tidak hanya merupakan bangunan terminologis-teoritis, akan tetapi lebih dari itu. Ia dapat terasa secara nyata, menjadi sebuah dimensi eksistensi yang mahakuat, berbeda dari yang lain seolah berada di alam non-duniawi. Dalam pada itu, secara konseptual, ruang lingkup sakral agaknya lebih luas dari bangunan konsep yang diperkenalkan tiga agama samawi “Tuhan tunggal”. Artinya bahwa sakralitas tidak merupakan entitas personal, melainkan ia sebuah zat yang kuat_juga ada pada ragam tempat semisal kekuatan dewa, roh-roh, jiwa abadi dan sebagainya. Lalu konteks fungsionalitasnya, sakral memiliki otoritas dalam mengatur entitas profane.
4.      Understanding of Symbolism and Myth
Persoalan simbol dan mitos ini sebetulnya memiliki relasi kuat dengan entitas sakral yang sudah terbahas pada sub di atas. Karena sakral satu sisi merupakan entitas yang abstrak dalam arti bukan berwujud benda, begitu juga yang profane, maka untuk membacanya harus ditemukan pada simbol dan mitos. Nah, sub ini akan mencoba mengeksplorasikan beberapa hal yang menyertainya sekaligus relasitas itu sendiri, seperti pengertian, sifat dan karakteristik simbol serta sistem oprasionalnya.
Dalam KBBI, kita dapat melihat makna simbol dan mitos ini secara berbeda. Simbol sendiri lebih diidentikan dengan tanda, lambing, sementara mitos adalah cerita suatu bangsa atau dewa dan pahlawan zaman dahulu-mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa-mengandung arti mendalam yg diungkapkan dengan cara gaib. Dalam pandangan eliade, antara simbol dan mitos memiliki kedudukan yang sama takterpisahkan. Mitos adalah simbol atau simbolik yang terangkai dalam satuan cerita yang sedikit lebih komplikatif. Suatu cerita suci yang mengisahkan perjalanan para dewa, leluhur, pahlawan dengan supranatural yang mereka miliki masing-masing.
Bagi Eliade, simbol dan mitologi memiliki peranan penting dalam konteks keberagamaan seseorang. Melalui kedua inilah mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sebenaranya. Ketika mereka membaca kepribadian keagamaanya, mereka selalu menelusurinya dengan simbol dan mitologoi. Ini terlihat seperti yang dilakukan masyarakat arkhak dahulu.
Kalau saya boleh bagi, konsespsi simbol Eliade terbagi dalam dua komponen penting yakni makro simbol dan mikro simbol. Simbol makro umumnya diidentikkan pada entitas langit dan isinya sementara mikronya pada wujud bumi dan isinya. Lalu Eliade juga mencirikan dalam dua bentuk kategori yakni pertama, simbol-mitos strukturalistik, kedua, peninggian simbol di atas simbol yang lain.



[1] Ditulis oleh Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Aqidah pada 03/05/2016, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Antropogi Agama di UNIDA GONTOR.
[2] Daniel L. Pass, Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama , (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001) cet. 1, hlm. 251
[3] Ibid, hal. 271-272.
[4] Brian Moris, Antropologi Agama, (Yogyakarta: AK Group, cet. I, 2003), hal. 219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar