MIRCEA
ELIADE (1970-1986)
Oleh:
Muhammad Thoriqul Islam[1]
Riwayat
Hidup

Dalam
perjalanan intelektual itu, Pals menegaskan, Eliade melihat banyak pertentangan
bertemu: antara Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, mistisisme dan
rasionalitas, kontemplasi dan kritisisme. (Aliade dalam Pals, 271).
Pertentangan tersebut ditulis dalam sebuah artikel di sebuah ruangan kosong di
rumahnya yang jarang dipakai, yang dikejutkan oleh pendar sinar matahari yang
menerobos gorden hijau hingga seluruh ruangan terpancar gerlap hijau yang
menyilaukan, mempesona, sekaligus menggetarkan. Serasa ia terpindahkan ke
sebuah dunia yang sama sekali belum diketahui. Pengalaman tersebut dinamakan
dengan istilah “nostalgia” yang menunjuk pada pemahaman tentang a beautiful
space of otherworldly perfection.[2]
Pengalaman
religius itu menginspirasi pemikiran Eliade dalam dunia akademik. Di
Universitas Bucharest dan Itali, ia mempelajari para pemikir Platonis mistis
dan para pemikir Itali Renaissance. Pada tahun 1928, ia mendaftar di
Universitas Calcutta dan berguru pada Surendranath Dasgupta. Berlatih yoga
dengan seorang guru di Himalaya juga ditempuhnya. Pada tahun 1931, demi wajib
militer ia kembali ke Rumania. Seusai menunaikan wajib militer ia kembali menulis
dan melahirkan banyak karya (dengan isu seputar gerakan mutakhir dalam sastra,
filsafat, dan seni).
Beberapa
karyanya antara lain: pertama, novel berjudul Maitreyi (Bengal Night) “Kisah
Cintanya dengan putri Dasgupta” mendapatkan penghargaan pada 1933. Kedua,
Disertasi doktoral berjudul “Yoga: An Essay on the Origin of Indian
Mystical Theology” (1936). Ketiga, Pattern in Comparative Religion
(1949) yang banyak menggali peran simbol-simbol dalam agama. Keempat, The
Myth of the Eternal Return (1949) yang berisi tentang penelitiannya atas
konsep sejarah dan waktu yang sakral maupun perbedaan antara agama purba
(archaic religion) dengan pemikiran modern.
Pemikiran Mircea Eliade
1.
Dereduksionisasi
Agama
Menurut
Eliade perlu dibenahi, sebab teori tersebut terlalu radikal bahkan tidak
merepresentasikan suatu fakta yang sangat faktual di dalamnya (dalam kontek ini
adalah fenomena agama). Hal ini telah mengakibatkan kecelakaan beragama yang
dapat merugikan banyak pihak. Agama bukan lagi sesuatu yang diminati, melainkan
menjadi permainan intelektual akibat dari kecerobohan dan keteledoran yang
sangat fatal.
Dalam
konteks ini, Eliade sangat menyayangkan tokoh pendahulunya, bahkan dalam dua
bangunan aksiomatiknya ia menyatakan dirinya untuk menolak reduksionis terhadap
pembacaan agama. Eliade secara tegas mengatakan “the independence of
religion or autonomy” yakni perihal independensi ide dan aktivitas agama.
Eliade menolak tegas agama sebagai suatu “devendet variable” melainkan “constant
variable”. Artinya paradigma variable devendet adalah salah, sebab secara
fungsionalis etika agama adalah penyebab bukan sebaliknya.[3]
Konsekuensinya
adalah Eliade sangat menekankan agar pembacaan terhadap agama harus melalui
bangunan-bangunan yang ada di dalamnya dan bukan sebaliknya.[4]
Di dalamnya terdapat fenomena realitas-religius. Berarti agama hanya dapat
dibaca dalam konteks realitas religius tersebut, bukan dibaca melalui realitas
psikologis, ekonomi, social dan sebagainya.
2. Fenomenologi: Sebuah Tawaran Metodis
Menurut
Eliade mahasiswa jurusan agama harus lebih efektif dalam belajar. Mereka
terlalu banyak berbicara tentang masa lalu melalui pengakumulasian dan
pengkolokasian fakta, generalisasi, kritisasi dan upaya penemuan konsekuensi di
dalamnya. Ini artinya agama hanya dilihat dari sisi historis yang kadang tidak
mampu bahkan tidak bisa merepresentasikan fakta-fakta di dalamnya dalam arti
pembacaan semata berdasarkan mata rantai historis. Konteks yang sama dengan
mata psikologis, ekonomi, sosial dan sebagainya, masing-masing tidak bisa
dipakai secara terpisah semata dan pada saat yang sama akhirnya nanti bernasib
sama dengan pendekatan historis semata. Dalam konteks ini Eliade secara tegas
mengatakan “at the some time, the study of religion cannot be just historitical
either”.
Kegelisahan
akademik dalam konteks inilah Eliade menawarkan satu pendekatan praktis dan
objektif. Ia menyebutnya dengan “fenomenologi”, yakni the comparative study of
things in the form, or appearance, they present to us.
Bisa
kita pastikan bahwa dasar pijakan fenomenologi khas Eliade ini adalah
“perbandingannya dengan sesuatu yang lain”. Artinya bahwa realitas fenomenologi
dapat terlihat setelah kita membandingkannya dengan realitas yang lain. Eliade
kemudian mencontohkannya dengan zat warna yang ada pada suatu benda, dimana
kita dapat melihat warna merah dalam spektrum akibat dari penampakan berbeda
dari yang biru atau violet. Nah, dalam konteks keagamaan, ketika kita ingin
memahami fakta keagamaan, kepercayaan atau ritual-ritual, maka kita harus membandingkannya
dengan yang lain.
3. The Concept of Religion: The Concept of Sacred and
Profane
Tidak
seperti pemikir sebelumnya seperti Tylor yang menganggap agama sebagai sebuah
keyakinan terhadap suatu yang spiritual”. Menurutnya, walaupun kita dapat
menemukan kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik
yang dimiliki setiap agama adalah keyakinan terhadap roh yang berpikir. Dan
esensi agama agama menurutnya adalah animism yakni sebuah kepercayaan bahwa ada
kekuatan yang lebih ‘unggul’ dari kekuatan manusia. Sementara Sigmun Frued,
lebih melihat agam sebagai sebuah ‘kekeliruan dan takhayul’. Ia lebih cenderung
melihat bahwa orang yang beragama adalah orang yang mengidap penyakit jiwa atau
lebih tepatnya orang yang beragama menurut Frued adalah orang yang mengidap
penyakit Neurotis, karena adanya kemiripan dalam perilaku orang yang beragama
dengan pasien neurotisnya. Seperti keduanya lebih menekankan bentuk-bentuk
seremonial dan akan merasa bersalah jika dia tidak melakukan ritual-ritual
tersebut dengan sempurna. Sedangkan Durkheim lebih melihatnya sebagai ‘satu
sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh’ dan selalu dikaitkan dengan
yang sakral yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku
tersebut, kemuduan disatukan kedalam satu komunitas yang disebut Gereja, tempat
masyarakat memberikan kesetiaannya.
Nah,
Eliade sama sekali tidak menyetujui pendapat tersebut, namun
mengkombinasikannya terutama pendapat antara Rudolp dan Dukheim. Kata Eliade,
agama adalah suatu sistem yang timbul dari sesuatu yang disakralkan atau
sakral. Ia mengangap agama dalam peradaban modern pada intinya adalah
transformasi bentuk dari prototipe keyakinan masyarakat kuno (archaic people).
Menurutnya, berbagai tingkat kebudayaan menunjukkan perihal keseriusan
masyarakat tradisional melaksanakan urusan dengan mengikuti pola yang
ditetapkan oleh para dewa. Otoritas dari yang sakral mengontrol semuanya.
Misalnya, sebuah desa harus dibangun dari di atas sebuah tempat dimana telah
ada suatu “hierofani” (hieros dan phainen = penampakan yang sakral). Dengan
demikian, desa yang dibangun sesuai cetak biru yang diberikan para dewa adalah
sebuah kosmos (keteraturan), di tengah-tengah dunia bahaya dan kesemrawutan, ia
adalah sebuah tempat tujuan yang penuh rasa aman.
Menurutnya
agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan. Sebagai suatu elemen
dalam kehidupan manusia fungsi agama harus dilihat sebagai sebuah sebab bukan
akibat. Untuk memahami agama, para sejarahwan harus masuk kepada kehidupan
Prasejarah dimana orang arkhais. Masyarakat arkhais memisahkan antara wilayah
kehidupan yang sakral dan yang profan. Fokus perhatian agama adalah supranatural.
Sifatnya mudah dimengerti dan bersifat sakral.
Terminologi
sakral-profan menjadi sesuatu yang urgen dalam konteks studi agama. Sebab,
secara epistemologis realita sakral-profan ada dalam sebuah agama. Namun,
bangunan-bangunan terminologinya tanpak berbeda bahkan berlawanan satu sama
lain. Dukheim misalnya melihat sakralitas ada dalam masyarakat itu sendiri,
sementara yang profan ada dalam individu, dan dalam konteks ini Eliade tidak
menyetujuinya. Eksplanasi Eliade mengenai sakral-profan memperlihatkan ruang
dan waktu yang benar-benar ril. Ketika pendapat lain mengatakan bahwa sakral
adalah sebuah fenomena sosiologis, sakral adalah sebuah pengalaman psikologis,
namun Eliade tetap mengatakan bahwa sakral adalah yang sakral. Ia adalah
sesuatu yang nyata, permanen dan abadi, bukan sebaliknya.
Dalam
konteks ini Eliade memperkenalkan konsep fundamental mengenai sakral yakni yang
ia sebut dengan “hierofani”, dimana yang “sakral’ diketahui oleh manusia karena
ia memanifestasikan dirinya pada dunia yang profan secara berbeda. Ini berarti
pusat kontrol ada pada yang sakral itu bukan ada pada yang profan. Sesuatu yang
sakral sering dijadikan sebagai pijakan dalam penentuan sesuatu. Contoh yang
paling ril adalah ketika masyarakat arkhasi mendirikan sebuah perkampungan.
Pemilihan lokasi pembangunan tidak preferensi teritorialnya melainkan secara
hierofani. Lokalisasi berdasarkan inilah yang kemudian nantinya dijadikan pusat
pembangunan, sebab lokasi tersebut dianggap sebagai pusat bumi yang bernilai
sakral dan sebagai tandanya adalah biasanya berbentuk gunung atau pohon.
Sakral
dan profan menurut Eliade adalah dua entitas yang berbeda dan ada” dan untuk
itu, ia membedakannya secara terpisah. Dunia sakral adalah the sphere of the
supernatural, of things extraordinary, memorable and momentaous
(wilayah-wilayah supernatural, hal-hal luar biasa, mengesankan dan penting).
Sementara yang profan adalah the realm of the everyday business-of things
ordinary, random and largely unimportant (wilayah keseharian-hal-hal biasa,
takdisengaja dan umumnya tidak penting). Dalam penjelasan berikutnya ia
menambahkan bahwa sakral adalah the eternal, full of substance and reallity (
yang abadi, penuh dengan substnasi dan realitas) sedangkan profan adalah
vainishing and fragile, full of shadows (menghilang dan mudah pecah, penuh
bayang-bayang. Pada sisi yang lain sakral adalah the sphere of order and
perfection, the home of the ancestors, heroes, and gods ( wilayah keteraturan
dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan dan dewa), sedang profan adalah
the arena of human affairs, which are changeable and opten chaotic (urusan
manusia yang dapat berubah-ubah dan sering kacau). Jadi, kalau saya lihat
paling tidak ada tiga sisi yang menjadi area perbedaan antara dua entitas
sakral dan profan tadi yakni dalam konteks aktivitas, eksistensi dan lokalitas.
Ketiga ini amat penting dalam membedakan dua entitas tersebut.
Entitas
sakral ini paling tidak selalu menyertai empat komponen dasar yakni space,
time, nature dan man. Keempat ini adalah bagian penting yang memang ada. Ruang
dalam perspektif manusia religious, memiliki makna khusus dan penting. Bukan
semata-mata karena ruang iru sendiri, melainkan kehierofanian yang ada pada
manusia itu sendiri. Sebab, manusia modern umumnya menganggap semua ruangan
adalah sama, dalam arti tidak ada beda satu dengan yang lainnya. Tentu ini
menurut Eliade merupakan suatu kemiskinan religious yang dialami kebanyakan
manusia modern. Mereka banyak kehilangan dimensi-dimensi penting dalam
beragama. Namun demikian, ruang sakral memang hanya dapat dirasakan oleh
manusia-manusia religious.
Hemat
saya, entitas sakral dalam pandangan Eliade tidak hanya merupakan bangunan
terminologis-teoritis, akan tetapi lebih dari itu. Ia dapat terasa secara
nyata, menjadi sebuah dimensi eksistensi yang mahakuat, berbeda dari yang lain
seolah berada di alam non-duniawi. Dalam pada itu, secara konseptual, ruang
lingkup sakral agaknya lebih luas dari bangunan konsep yang diperkenalkan tiga
agama samawi “Tuhan tunggal”. Artinya bahwa sakralitas tidak merupakan entitas
personal, melainkan ia sebuah zat yang kuat_juga ada pada ragam tempat semisal
kekuatan dewa, roh-roh, jiwa abadi dan sebagainya. Lalu konteks
fungsionalitasnya, sakral memiliki otoritas dalam mengatur entitas profane.
4. Understanding of Symbolism and Myth
Persoalan
simbol dan mitos ini sebetulnya memiliki relasi kuat dengan entitas sakral yang
sudah terbahas pada sub di atas. Karena sakral satu sisi merupakan entitas yang
abstrak dalam arti bukan berwujud benda, begitu juga yang profane, maka untuk
membacanya harus ditemukan pada simbol dan mitos. Nah, sub ini akan mencoba
mengeksplorasikan beberapa hal yang menyertainya sekaligus relasitas itu
sendiri, seperti pengertian, sifat dan karakteristik simbol serta sistem
oprasionalnya.
Dalam
KBBI, kita dapat melihat makna simbol dan mitos ini secara berbeda. Simbol
sendiri lebih diidentikan dengan tanda, lambing, sementara mitos adalah cerita
suatu bangsa atau dewa dan pahlawan zaman dahulu-mengandung penafsiran tentang
asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa-mengandung arti mendalam yg
diungkapkan dengan cara gaib. Dalam pandangan eliade, antara simbol dan mitos
memiliki kedudukan yang sama takterpisahkan. Mitos adalah simbol atau simbolik
yang terangkai dalam satuan cerita yang sedikit lebih komplikatif. Suatu cerita
suci yang mengisahkan perjalanan para dewa, leluhur, pahlawan dengan
supranatural yang mereka miliki masing-masing.
Bagi
Eliade, simbol dan mitologi memiliki peranan penting dalam konteks keberagamaan
seseorang. Melalui kedua inilah mereka dapat menemukan jati diri mereka yang
sebenaranya. Ketika mereka membaca kepribadian keagamaanya, mereka selalu
menelusurinya dengan simbol dan mitologoi. Ini terlihat seperti yang dilakukan
masyarakat arkhak dahulu.
Kalau
saya boleh bagi, konsespsi simbol Eliade terbagi dalam dua komponen penting
yakni makro simbol dan mikro simbol. Simbol makro umumnya diidentikkan pada
entitas langit dan isinya sementara mikronya pada wujud bumi dan isinya. Lalu
Eliade juga mencirikan dalam dua bentuk kategori yakni pertama, simbol-mitos
strukturalistik, kedua, peninggian simbol di atas simbol yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar