KRISIS
KEBUDAYAAN MODERN
Oleh: Muhammad
Thoriqul Islam[1]
Pendahuluan
Dewasa ini sudah biasa orang menghubungkan kebudayaan modern dengan
kondisi-kondisi kehidupan tak terhindarkan yang diciptakannya, seperti
meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme,
kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan. Kondisi lain
yang tak terhindarkan ialah alienasi (keterasingan) dengan berbagai
manifestasinya, sikap asosial dan nihilisme yang membuat manusia kehilangan
makna dalam hidupnya dan dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya.
Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang
hidup dalam peradaban serba materialistis. Tetapi apabila orang berbicara
tentang kebudayaan dan peradaban modern serta krisis-krisis yang
ditimbulkannya, biasanya orang hanya menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu
adalah berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah
dicapai manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Definisi
Krisis Kebudayaan Modern
Secara bahasa krisis itu sendiri asal katanya artinya bahaya atau peluang.[2]
Secara terminologi atau istilah
krisis adalah malapetaka yang dapat muncul secara alami, hasil kesalahan,
intervensi, niat jahat.[3]
Menurut Davlin dikutip Kriyantono (2012a, h. 171) krisis adalah
sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan hasil
yang tidak diinginkan.[4]
Jadi, Krisis
adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat
membuat sesuatu bertambah buruk. Contohnya krisis kebudayaan modern dalam hal kemerosotan
nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual dan hasrat melampaui
batas terhadap kebebasan. Misalnya bagi perempuan yang sudah jelas-jelas
beragama Islam, namun tetap memakai pakaian ketat, hanya agar tidak dikatakan
ketinggalan zaman atau modern.[5]
Budaya adalah
hasil karya, karsa, dan cipta manusia yang digunakan untuk menghadapi
lingkungan dimana manusia itu hidup. Seorang antropolog Inggris Edward B.
Taylor (1832-1917)[6]
mengatakan bahwa kebudayaan atau peradaban[7]
adalah keseluruhan yang kompleks termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang
diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat.[8]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
perbedaan antara budaya dan kebudayaan adalah bahwa budaya itu merupakan
cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat, sedangkan kebudayaan merupakan proses
terjadinya penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang
tercakup di dalamnya.
Menurut Kamus
Besar Bahas Indonesia (KBBI) kata “modern” atau “modernus” berasal dari
bahasa latin “Modo” artinya cara dan “Ernus” artinya masa kini. Kemudian
muncul beberapa kata lainnya, yaitu modernitas, modernisme, dan modernisasi.[9]
Jadi, modern adalah suatu zaman yang berkembang pada sekarang ini.
Jadi, krisis
kebudayaan modern adalah runtuhnya unsur-unsur budaya baik itu moral, pengetahuan
dan sebagainya yang disebabkan beberapa hal, seperti hedonisme,[10]
kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan.
Kritik Terhadap Zaman Postmodernisme
Istilah
Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari
wilayah seni: musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotografi, arsitektur.
Dan dari situ berkembang menjadi istilah yang dipakai oleh beberapa wakil dari
beberapa ilmu.[11]
Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Loyotard,
dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjual belikan sebagai
sebuah “isme” baru. Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan
kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti maxisme,
eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain.
Ciri-ciri dari
postmodernisme[12]
antara lain:
1.
Timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas
2.
Meledaknya industri media massa
3.
Munculnya radikalisme etnis dan
keagamaan
4.
Munculnya kecenderungan baru untuk
menemukan identitas dan apresiasi.
Menurut Magnis
Suseno[13]
setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu:
1.
“Postmodernisme” buta terhadap
kenyataan bahwa banyak cerita kecil mengandung banyak kebusukan.
2.
“Postmodernisme” tidak membedakan
antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka,
dilain pihak.
3.
“Postmodernisme” adalah bahwa
tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil
sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Postmodernisme
diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak belakang. Disatu pihak ia
dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “relativisme”[14]
yang ekstrem, terlalu pesimis, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa
batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat (apapun saja boleh).
Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama,
justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.
Dampak
Negatif Kebudayaan Barat
Menurut Magnis
Suseno, dampak negatif dari kebudayaan barat antara lain:
1.
Pola Hidup Konsumtif[15]
Perkembangan
industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah.
Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak
pilihan yang ada.
2.
Sikap Individualistik
Masyarakat
merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi
membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka
adalah makhluk sosial.
3.
Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua
budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai
menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan
bebas remaja, remaja lebih menyukai dance dan lagu barat dibandingkan tarian
dari Indonesia dan lagu-lagu Indonesia, dan lainnya. Hal ini terjadi karena
kita sebagai penerus bangsa tidak bangga terhadap sesutu milik bangsa.
4.
Kesenjangan Sosial
Apabila dalam
suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti
arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara
individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan
sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si
miskin sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan
Bangsa Indonesia.
5.
Generasi muda sekarang lebih suka
meniru gaya orang-orang barat.[16]
6.
Munculnya sikap individualisme yang
menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga.
7.
Pergaulan masyarakat barat yang
bebas mulai memengaruhi budaya Indonesia yang sebelumya lebih beradab.
8.
Kurangnya rasa hormat tehadap
orangtua dan tidak peduli terhadap
lingkungan juga merupakan dampak yang ditimbulkan dari kebudayaan barat yang
menganut kebebasan sehingga mereka bertindak sesuka hatinya.
Ciri-Ciri
Budaya Modern
Beberapa ciri
dari masyarakat modern itu, diantaranya adalah: pertama, perkembangan
sains, teknik dan ekonomi kapitalis. kedua, adanya “kesadaran” yang
menempatkan manusia sebagai titik sentral jagad raya ini. ketiga, adanya
penolakan pada tradisi. keempat, keyakinan pada kemampuan akal, kemajuan
dan sains. kelima, pemisahan masyarakat dari yang sacral dan agama melalui
proses sekularisasi dan membuka nilai perubahan dan penemuan. keenam, kebiasaan
dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan
nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Penyebab
Krisis Kebudayaan Modern
Menurut Magnis
Suseno, penyebab krisis kebudayaan modern, diantaranya adalah: pertama, berbagai
manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia,
khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri. kedua, sumber dari berbagai krisis yang dihadapi manusia
sebenarnya dapat dicari pada falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia
(weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.
Dampak
Krisis Kebudayaan Modern
Pertama, meluasnya
berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan
spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan.
Kedua, Alienasi
dengan berbagai manifestasinya, sikap asosial dan nihilisme yang membuat
manusia kehilangan makna dalam hidupnya dan dengan demikian pula kehilangan
tujuan dalam hidupnya.
Ketiga, kebudayaan
modern sekarang yang serba kompleks ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi hampir seluruh kawasan dunia.
Keempat, hubungan antar
manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”.
Kelima, pada kehidupan
masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga
mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga,
sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya,
dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.
Keenam, masyarakat
modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan
perubahan pola makanan dan pola kerja.
Ketujuh, dehumanisasi[17]
dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi
untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi
menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedelapan, dalam kebudayaan
industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah
makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua
masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada
pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu
menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut
paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan
meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan
sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new
sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya
modern.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa krisis kebudayaan
modern menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang
keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan
penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia, khususnya di
bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan
Postmodernisme, Kajian Kritis atas pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 1997.
Emanuel Wora, Perenialisme kritik atas Modernisme dan
Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Ali.Imam, Tanyalah
Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Akbar S.
Ahmed, Postmodernisme dan Islam, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Frans Magnis
Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
http://asepfirmanxpg.blogspot.co.id/
di akses pada tanggal 25 April 2016.
http://liaambar.wordpress.com/2010/10/12/dampak-kebudayaan-barat/
di akses pada tanggal 25 April 2016.
[1]Ditulis oleh Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Prodi Ilmu Aqidah pada 25/04/2016, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Oksidentalisme di UNIDA GONTOR.
[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dua
kata ini mempunyai arti hampir sama. Bahaya artinya kejadian, peristiwa,
gangguan. Disini bahaya artinya perubahan atau kejadian yang sangat drastis
dalam ideologi budaya sesuai era globalisasi. Sedangkan peluang artinya
kesempatan. Kesempatan disini bukan berarti seperti di dunia akademik, meraih
ipk tertinggi tetapi keputusan yang diambil dalam suatu masalah. hal. 259.
[3] Arief Fajar, 2011, “Sistem Kendali dan
Strategi Penanganan (Manajemen) Krisis Dalam Kajian Public Relations”, dalam
Jurnal Komunikasi, Vol 1, Nomor 3, Surakarta, Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS), hal. 281.
[4] Rachmat Kriyantono, Public Relation &
Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations Etnografi Kritis &
Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 158.
[6] Edward B. Tylor adalah orang Inggris yang
mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusastraan dan peradaban Yunani dan
Rum klasik yang kemudian tertarik pada dunia etnografi dan mulai melakukan
beberapa kajian terkait fenomena keagamaan, salah satu bukunya yang terkenal
adalah Primitive Culture, Research into the Development of Mythology,
Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1874), dalam Koenjtaraningrat, Sejarah
Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 48.
[7] Makna kebudayaan atau peradaban itu hampir
sama, melainkan sebagian para pakar berbeda persepsi. Salah satunya adalah
seorang guru besar Antropologi Indonesia Kuntjaraningrat berpendapat bahwa berdasarkan
ilmu Antropologi “kebudayaan” atau “peradaban” membedakannya menjadi dua
pengertian, sebagai berikut: pertama, kebudayaan atau culture berasal
dari kata sansekerta budhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau
akal, kedua peradaban atau civilization sebagai penyebutan
unsur-unsur budaya yang halus, maju, dan indah. (Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal
9).
[9] Menurut Hasan Nasution, kata “modern”,
“modernisme”, “modernitas”, dan “modernisasi” mengandung arti pikiran, aliran
gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi
lama dan lain sebagainya agar menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan
keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. (Lihat Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan pemikiran Cet.IV,
(Bandung: Mizan,1996), hal. 181).
[10] Hedonisme secara etimologi berasal dari kata
tunggal bahasa Yunani yaitu Hedone, yang dapat diartikan sebagai nikmat
atau kenikmatan. Secara terminologi atau istilah Hedonisme adalah menurut
Wikipedia, “Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan
dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Paham ini muncul sekitar abad 400
SM dengan madzhabnya yang bernama Tyrene. Sedangkan perintis dari faham
hedonisme adalah Epicurus. (Lihat Ali.Imam, Tanyalah Aku Sebelum Kau
Kehilangan Aku, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hal. 59.
[14] Secara etimologis, relativisme yang dalam
bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus
(berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan
bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah
Protagoras, Pyrrho. (Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 949. Sedangkan secara terminologis, makna
relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin
bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan
budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak
bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham
relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat
mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada
individu, lingkungan maupun kondisi sosial. “The doctrine that knowledge,
truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical
context, and are not absolute. what is right or wrong and good or bad is not
absolute but variable and relative, depending on the person, circumstances, or
social situation. The view is as ancient as Protagoras, a leading Greek Sophist
of the 5th century BC, and as modern as the scientific approaches of sociology
and anthropology”. (Lihat: Britannica, 2001, Deluxe edition), hal. 259.
[16]
http://liaambar.wordpress.com/2010/10/12/dampak-kebudayaan-barat/ di akses pada
tanggal 25 April 2016.
[17] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dehumanisasi
artinya penghilangan harkat manusia. Secara istilah dehumanisasi adalah
suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai
manusia,melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang di ukur
dengan apa yang di milikinya dalam bentuk tertentu. hal. 155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar