Jumat, 06 Mei 2016

Krisis Kebudayaan Modern

KRISIS KEBUDAYAAN MODERN
Oleh: Muhammad Thoriqul Islam[1]

Pendahuluan
Dewasa ini sudah biasa orang menghubungkan kebudayaan modern dengan kondisi-kondisi kehidupan tak terhindarkan yang diciptakannya, seperti meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan. Kondisi lain yang tak terhindarkan ialah alienasi (keterasingan) dengan berbagai manifestasinya, sikap asosial dan nihilisme yang membuat manusia kehilangan makna dalam hidupnya dan dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya. Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba materialistis. Tetapi apabila orang berbicara tentang kebudayaan dan peradaban modern serta krisis-krisis yang ditimbulkannya, biasanya orang hanya menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Definisi Krisis Kebudayaan Modern
Secara bahasa krisis itu sendiri asal katanya artinya bahaya atau peluang.[2]  Secara terminologi atau istilah krisis adalah malapetaka yang dapat muncul secara alami, hasil kesalahan, intervensi, niat jahat.[3]
Menurut Davlin dikutip Kriyantono (2012a, h. 171) krisis adalah sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan hasil yang tidak diinginkan.[4]
Jadi, Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu bertambah buruk. Contohnya krisis kebudayaan modern dalam hal kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan. Misalnya bagi perempuan yang sudah jelas-jelas beragama Islam, namun tetap memakai pakaian ketat, hanya agar tidak dikatakan ketinggalan zaman atau modern.[5]
Budaya adalah hasil karya, karsa, dan cipta manusia yang digunakan untuk menghadapi lingkungan dimana manusia itu hidup. Seorang antropolog Inggris Edward B. Taylor (1832-1917)[6] mengatakan bahwa kebudayaan atau peradaban[7] adalah keseluruhan yang kompleks termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat.[8] Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara budaya dan kebudayaan adalah bahwa budaya itu merupakan cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat, sedangkan kebudayaan merupakan proses terjadinya penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang tercakup di dalamnya.
Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) kata “modern” atau “modernus” berasal dari bahasa latin “Modo” artinya cara dan “Ernus” artinya masa kini. Kemudian muncul beberapa kata lainnya, yaitu modernitas, modernisme, dan modernisasi.[9] Jadi, modern adalah suatu zaman yang berkembang pada sekarang ini.
Jadi, krisis kebudayaan modern adalah runtuhnya unsur-unsur budaya baik itu moral, pengetahuan dan sebagainya yang disebabkan beberapa hal, seperti hedonisme,[10] kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan.
Kritik Terhadap Zaman Postmodernisme
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni: musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotografi, arsitektur. Dan dari situ berkembang menjadi istilah yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu.[11] Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Loyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjual belikan sebagai sebuah “isme” baru. Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti maxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain.
Ciri-ciri dari postmodernisme[12] antara lain:
1.      Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas
2.      Meledaknya industri media massa
3.      Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan
4.      Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi.
Menurut Magnis Suseno[13] setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu:
1.      “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil mengandung banyak kebusukan.
2.      “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.
3.      “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Postmodernisme diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “relativisme”[14] yang ekstrem, terlalu pesimis, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat (apapun saja boleh). Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.
Dampak Negatif Kebudayaan Barat
Menurut Magnis Suseno, dampak negatif dari kebudayaan barat antara lain:
1.      Pola Hidup Konsumtif[15]
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
2.      Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
3.      Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, remaja lebih menyukai dance dan lagu barat dibandingkan tarian dari Indonesia dan lagu-lagu Indonesia, dan lainnya. Hal ini terjadi karena kita sebagai penerus bangsa tidak bangga terhadap sesutu milik bangsa.
4.      Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan social menyebabkan adanya jarak antara si kaya dan si miskin sehingga sangat mungkin bias merusak kebhinekaan dan ketunggalikaan Bangsa Indonesia.
5.      Generasi muda sekarang lebih suka meniru gaya orang-orang barat.[16]
6.      Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga.
7.      Pergaulan masyarakat barat yang bebas mulai memengaruhi budaya Indonesia yang sebelumya lebih beradab.
8.      Kurangnya rasa hormat tehadap orangtua  dan tidak peduli terhadap lingkungan juga merupakan dampak yang ditimbulkan dari kebudayaan barat yang menganut kebebasan sehingga mereka bertindak sesuka hatinya.
Ciri-Ciri Budaya Modern
Beberapa ciri dari masyarakat modern itu, diantaranya adalah: pertama, perkembangan sains, teknik dan ekonomi kapitalis. kedua, adanya “kesadaran” yang menempatkan manusia sebagai titik sentral jagad raya ini. ketiga, adanya penolakan pada tradisi. keempat, keyakinan pada kemampuan akal, kemajuan dan sains. kelima, pemisahan masyarakat dari yang sacral dan agama melalui proses sekularisasi dan membuka nilai perubahan dan penemuan. keenam, kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Penyebab Krisis Kebudayaan Modern
Menurut Magnis Suseno, penyebab krisis kebudayaan modern, diantaranya adalah: pertama, berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. kedua, sumber dari berbagai krisis yang dihadapi manusia sebenarnya dapat dicari pada falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia (weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.
Dampak Krisis Kebudayaan Modern
Pertama, meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan.
Kedua, Alienasi dengan berbagai manifestasinya, sikap asosial dan nihilisme yang membuat manusia kehilangan makna dalam hidupnya dan dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya.
Ketiga, kebudayaan modern sekarang yang serba kompleks ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi hampir seluruh kawasan dunia.
Keempat, hubungan antar manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”.
Kelima, pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga, sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.
Keenam, masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
Ketujuh, dehumanisasi[17] dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedelapan, dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa krisis kebudayaan modern menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme, Kajian Kritis atas pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1997.
Emanuel Wora, Perenialisme kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Ali.Imam, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme dan Islam, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
http://asepfirmanxpg.blogspot.co.id/ di akses pada tanggal 25 April 2016.
http://liaambar.wordpress.com/2010/10/12/dampak-kebudayaan-barat/ di akses pada tanggal 25 April 2016.








[1]Ditulis oleh Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Aqidah pada 25/04/2016, dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Oksidentalisme di UNIDA GONTOR.
[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dua kata ini mempunyai arti hampir sama. Bahaya artinya kejadian, peristiwa, gangguan. Disini bahaya artinya perubahan atau kejadian yang sangat drastis dalam ideologi budaya sesuai era globalisasi. Sedangkan peluang artinya kesempatan. Kesempatan disini bukan berarti seperti di dunia akademik, meraih ipk tertinggi tetapi keputusan yang diambil dalam suatu masalah. hal. 259.
[3] Arief Fajar, 2011, “Sistem Kendali dan Strategi Penanganan (Manajemen) Krisis Dalam Kajian Public Relations”, dalam Jurnal Komunikasi, Vol 1, Nomor 3, Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), hal. 281.
[4] Rachmat Kriyantono, Public Relation & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations Etnografi Kritis & Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 158.
[5] Rhenald Kasali, Change, (Jakarta: Gramamedia, 2005), hal. 89
[6] Edward B. Tylor adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusastraan dan peradaban Yunani dan Rum klasik yang kemudian tertarik pada dunia etnografi dan mulai melakukan beberapa kajian terkait fenomena keagamaan, salah satu bukunya yang terkenal adalah Primitive Culture, Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1874), dalam Koenjtaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 48.
[7] Makna kebudayaan atau peradaban itu hampir sama, melainkan sebagian para pakar berbeda persepsi. Salah satunya adalah seorang guru besar Antropologi Indonesia Kuntjaraningrat berpendapat bahwa berdasarkan ilmu Antropologi “kebudayaan” atau “peradaban” membedakannya menjadi dua pengertian, sebagai berikut: pertama, kebudayaan atau culture berasal dari kata sansekerta budhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, kedua peradaban atau civilization sebagai penyebutan unsur-unsur budaya yang halus, maju, dan indah. (Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal 9).
[8] William A. Haviland, Antropologi, Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 332.
[9] Menurut Hasan Nasution, kata “modern”, “modernisme”, “modernitas”, dan “modernisasi” mengandung arti pikiran, aliran gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya agar menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (Lihat Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan pemikiran Cet.IV, (Bandung: Mizan,1996), hal. 181).
[10] Hedonisme secara etimologi berasal dari kata tunggal bahasa Yunani yaitu Hedone, yang dapat diartikan sebagai nikmat atau kenikmatan. Secara terminologi atau istilah Hedonisme adalah menurut Wikipedia, “Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Paham ini muncul sekitar abad 400 SM dengan madzhabnya yang bernama Tyrene. Sedangkan perintis dari faham hedonisme adalah Epicurus. (Lihat Ali.Imam, Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hal. 59.  
[11] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme dan Islam, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 31.
[12] Ibid, 32.
[13] Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 34.
[14] Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho. (Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 949. Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. “The doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute. what is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and relative, depending on the person, circumstances, or social situation. The view is as ancient as Protagoras, a leading Greek Sophist of the 5th century BC, and as modern as the scientific approaches of sociology and anthropology”. (Lihat: Britannica, 2001, Deluxe edition), hal. 259.
[15] http://asepfirmanxpg.blogspot.co.id/ di akses pada tanggal 25 April 2016.
[16] http://liaambar.wordpress.com/2010/10/12/dampak-kebudayaan-barat/ di akses pada tanggal 25 April 2016.

[17] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dehumanisasi artinya penghilangan harkat manusia. Secara istilah dehumanisasi adalah suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia,melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang di ukur dengan apa yang di milikinya dalam bentuk tertentu. hal. 155.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar