Ujaran Para Sufi Tentang Ladunni
“Sesungguhnya di antara ilmu pengetahuan ada yang seperti
barang simpanan. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang ahli makrifat
kepada Allah. Jika mereka mengucapkan ilmu tersebut, maka mereka yang
mengingkari hanyalah orang yang tertipu mengenai Allah.” (HR. ad-Dailami dalam
Musnadil-Firdaus).
Meskipun hadis ini dhaif, namun menurut Syekh
Abdullah bin Siddiq al-Ghumairi setidaknya memiliki dua dalil sahih yang
menjadi penguat. Yang pertama adalah hadis Abu Hurairah, beliau berkata, “Aku
menghafal dua wadah ilmu dari Rasulullah. Yang satu aku sebarkan. Sedangkan
yang lain, jika aku sebarkan maka tenggorokan ini akan diputus (dipenggal).”
Penguat kedua adalah fakta yang benar-benar terjadi.
“Kenyataannya orang-orang sufi memang mendapatkan ilmu wahbi dari Allah.
Dan, yang mengingkari hal itu hanyalah orang-orang dangkal yang tertipu,” kata
al-Ghumari. Ilmu wahbi inilah yang dalam sebuah Hadis disebut sebagai
bisikan ilham. Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah umat sebelum kalian, ada
beberapa orang yang mendapatkan bisikan ilham. Jika di dalam umatku ada seorang
yang mendapatkan itu, maka dialah Umar.”
Hikmah banyaknya orang-orang Bani Israil yang mendapat
ilham adalah karena mereka dibutuhkan oleh kaumnya ketika sedang tidak ada Nabi
yang diutus ditengah-tengah mereka. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad,
sandaran kepada ilham itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab, kendatipun Nabi
Muhammad sudah meninggal dunia, namun al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama
syariat tetap terjaga dengan sangat baik.
Itulah sebabnya pada masa sahabat, cukup jarang di antara
mereka orang yang mendapatkan ilham, kendatipun mereka adalah para wali Allah
yang paling tinggi, ahli mujahadah dan ahli istiqamah. Penyebabnya,
karena pada saat itu, sandaran umat kepada al-Quran dan sunnah sangatlah kokoh,
sehingga ilham memiliki peranan yang sangat kecil.
Berbeda halnya dengan masa-masa setelah itu. Banyak
sekali kisah tokoh-tokoh sufi yang mendapatkan ilham. Lalu, ilham tersebut
menjadi landasan dari bangunan tarekat yang mereka tata sedikit demi sedikit.
Oleh karena itu, ketika menelaah kitab-kitab tasawuf yang
berbicara mengenai tahapan-tahapan suluk, sangat sering ditemukan panduan dalam
menyikapi waridat atau bisikan-bisikan yang menerpa hati salik. Sebab,
jika salik tidak memiliki bekal ilmu syariat yang mapan, maka sangat mungkin
dia akan tertipu dengan bisikan yang datang. Dia mengira bisikan itu sebagai
ilham, tapi ternyata hanyalah tipuan yang dihembuskan oleh setan.
Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa oknum sufi
yang menyimpang dari syariat. Atau, bahkan kadangkala terdapat oknum tarekat
yang sampai mengaku mendapatkan wahyu, dan menobatkan dirinya sejajar dengan
para Nabi. Naudzubillah min dzalik.
Kalau ada warid atau bisikan semacam ilham maka
harus dirujuk kepada al-Quran dan Sunnah, atau syariat. Jika sesuai, maka bisa
di-follow up. Jika tidak sesuai,
berarti bisikan setan. Oleh karena itu, mayoritas ulama menyatakan bahwa
ilham tidak bisa dijadikan landasan hukum, sebab penerimanya bukanlah orang
yang ma’shum. Selain itu, sulit sekali menetapkan kriteria tentang mana
yang benar-benar ilham, dan mana pula yang merupakan bisikan dari setan.
Menurut as-Suhrawadi, pakar fikih madzhab Syafi’i yang sekaligus merupakan
tokoh sufi terkemuka, ilham merupakan hujjah (landasan dan lapangan)
bagi orang yang mendapatkannya, tidak bagi orang lain.
Warid, kata Syekh Mahmud
Abu asy-Samat, adalah kendaraan pembawa ilmu ladunni, dan warid, tegas
beliau, merupakan buah dari wirid. Menurut Abu Thalib al-Makki, konseptor sufi
yang menjadi rujukan utama Imam al-Ghazali dalam penyusunan Ihya’ Ulumiddin,
wirid adalah waktu khusus yang digunakan secara istiqamah oleh seseorang untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi, mengenai apa hakikat wirid, Abu Thalib al-Makki
lebih menekankan kepada aspek keistiqamahan, dari pada bentuk wirid yang
dilakukan. Keistiqamahan inilah yang membedakan antara orang yang sudah matang,
dan orang yang masih tingkat pemula. Orang yang sudah matang dalam suluknya,
dia memposisikan wirid sebagai sebuah kebutuhan yang tidak mungkin ia
tinggalkan. Hal ini sangat ampuh dalam menancapkan kemapanan spiritual secara
permanen dalam batin seseorang. Sebanyak apapun ibadah atau amalan jika hanya
dilakukan sesekali saja, maka nyaris tidak memberikan pengaruh apapun dalam
meningkatkan kematangan spiritual seseorang.
Para ulama sufi sepakat bahwa ketekunan dalam beribadah
dan berdzikir secara istiqamah, dengan penghayatan dan kekhusyukan hati,
merupakan sumber utama munculnya ilmu wahbi atau ilmu ladunni.
Hal tersebut sesuai dengan hadis yang ditulis oleh Husain
al-Mawarzi dalam az-Zawa’id, Abu Nuaim dalam al-Hilyah, dan Ibnu Adi dalam
al-Kamil, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Orang yang ikhlas (khusyuk
beribadah) kepada Allah selama 40 hari, maka akan muncul mata air hikmah dari
hati melalui lidahnya.”
Masa pembiasaan selama 40 hari jika dilakukan dengan
penuh ketulusan dan penghayatan, bisa membawa perubahan pada masa-masa berikutnya.
Sehingga, dalam hadis lain, Rasulullah juga memberikan jaminan terbebas dari
kemunafikan dan neraka bagi orang yang istiqamah mengikuti salat jamaah selama
40 hari berturut-turut, dengan menututi takbiratul ihramnya imam, dan ikhlas
karena Allah.
Keistiqamahan seperti inilah yang bisa memancarkan
kesejukan hikmah dan anugerah agung pada diri seorang salik. Sebab, tanpa
keistikamahan, ibadah dan kebajikan yang kita perbuat tidak lebih dari sekedar
memenuhi tuntutan selera yang muncul
sewaktu-waktu, lalu pergi diwaktu yang lain. wallahu a’lamu bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar