Sabtu, 02 April 2016

Pendidikan Karakter

Paradoks Dunia Pendidikan

Semua bermula dari pendidikan, yang dengan segenap ragam rupanya. Pendidikan adalah batu pertama yang diletakkan dalam-dalam, sebagai akar bagi cita-cita luhur bangsa yang tengah ditanam. Diharapkan, pohon cita-cita ini akan tumbuh subur, tinggi menjulang, dan memberi manfaat yang besar. Akan tetapi, bagaimanakah suatu negeri harus meratapi kebobrokan yang justru terjadi di dunia pendidikan; aspek terdalam dan terpenting yang menjiwai cita-cita segenap individu bangsanya?


Inilah yang terjadi dengan Indonesia. Zamrud khatulistiwanya, negeri kita tercinta, ini punya problem akut dengan dunia pendidikannya. Problem ini tampaknya merupakan fenomena rutinan yang harus terjadi dan terus diperdebatkan dari waktu ke waktu sejak lama, mungkin sejak zaman alif. Inilah alasan yang menjawab kenapa pendidikan di Indonesia tampak sering menggamabarkan suatu paradoks—seperti yang sebagian akan diuraikan dalam tulisan ini.

Permasalah yang terjadi di dunia pendidikan sangatlah kompleks; rumitnya selangit. Karena itu ia tak mungkin diselesaikan dengan hanya memperbaiki salah satu aspek, akan tetapi perbaikan itu harus dilakukan secara simultan dan konsisiten. Di samping itu, kesalahan mendiagnosa penyakit pada pasien dapat berakibat fatal bagi pasien.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, tentu saja tak ada yang mengatakan bahwa pemerintah tak melakukan upaya keras guna mengangkatnya pada taraf yang lebih baik. Barangkali pemerintah telah mendiagnosis, dan berhasil menemukan virus di dalamnya, lantas mengatasinya dengan menyuntikkan 20% APBN. Akan tetapi toh wajah dunia pendidikan tetap suram. Tampaknya hal itu karena negeri ini masih menyimpan virus ganas lain yang belum teratasi, korupsi.

Jauh sebelum orang ramai memperbincangkan korupsi, sebetulnya sejak lama pendidikan kita masih saja mencari-cari konsep yang benar untuk diterapkan. Pencarian akan konsep ini tampak seperti petualangan panjang yang tak selesai-selesai. Karena itulah dari waktu se waktu, konsep pendidikan nasional selalu seiring sejalan dengan perubahan peta politik; di era orda lama, orde baru, orde reformasinya, dan seterusnya. Adakah pendidikan juga selalu menjadi tercemar dengan interest setiap orde? Naïf.

Karena pendidikan masih belum menemukan arah yang benar, akibat terombang-ambing oleh ragam kepentingan, tentu saja dikhawatirkan hal ini akan melahirkan generasi yang tak tahu arah. Tapi sepertinya masalahnya bukan saja soal kehilangan arah. Dalam hal konsep pengujian pun masih kerap menuai sejuta masalah.

Ujian Akhir Nasional (Unas) adalah konsep penilaian yang sejak awal terus diperdebatkan keabsahannya. Konsep ini dianggap tidak sejalan dengan ruh pendidikan, hanya menitik-beratkan pada nilai di atas kertas. Ia dijadikan satu-satunya barometer kelulusan, sehingga orientasi anak didik bergeser pada angka-angka. Tak peduli lagi apakah moral mereka bobrok, keseharian mereka jorok, dst.

Di sinilah kemudian paradoks itu terjadi. Misalnya, aksi merayakan pengumuman kelulusan para pelajar yang serba amoral. Beberapa waktu yang lalu, aksi membuka jilbab mewarnai konvoi kelulusan siswi SMA/MA dan SMK di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Siswi yang biasanya menggunakan jilbab, saat konvoi tidak lagi menggunakan jilbab. Bahkan jilbab para siswi itu dijadikan bendera, sambil berboncengan dengan teman laki-laki mereka. Para siswi ini juga merayakan kelulusan dengan menggunting rok. Konvoi kelulusan itu juga diwarnai dengan aksi penjarahan yang mereka lakukan kepada para pedagang kaki lima. (www.hidayatullah.com, 26 April 2010).

Bagaimanapun harus dikatakan, bahwa pada satu sisi mereka telah lulus, namun dalam waktu yang bersamaan tindakan mereka justru mencerminkan perilaku kelas masyarakat yang sama sekali tidak berpendidikan: paradoks. Dinilai dari satu sudut pandang mereka adalah kelas terdidik, namun dari sudut yang lain justru mereka masih tak tahu aturan dan amoral: paradoks. Inilah potret lulusan yang tidak lulus. Fenomena semacam ini tampak mencerminkan pergeseran paradigma pendidikan, kendati sebetulnya masalahnya tidak hanya terletak pada paradigma.


Pergeseran paradigma pendidikan yang tengah mengarah pada ranah pragmatis, memang banyak menyumbang bagi bobroknya dunia pendidikan. Namun di samping itu masalah materi pendidikan, yang tidak terisi oleh nilai-nilai adab Islami, sejatinya juga memberikan sumbangan besar bagi kemerosotan nilai-nilai moral bangsa. Problem yang betumpuk-tumpuk kadang membuat orang serba salah, namun juga seringkali membikin kita tak tahu harus memulai dari mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar