Paradoks Dunia Pendidikan
Semua bermula dari pendidikan, yang dengan segenap ragam
rupanya. Pendidikan adalah batu pertama yang diletakkan dalam-dalam, sebagai
akar bagi cita-cita luhur bangsa yang tengah ditanam. Diharapkan, pohon
cita-cita ini akan tumbuh subur, tinggi menjulang, dan memberi manfaat yang
besar. Akan tetapi, bagaimanakah suatu negeri harus meratapi kebobrokan yang
justru terjadi di dunia pendidikan; aspek terdalam dan terpenting yang menjiwai
cita-cita segenap individu bangsanya?
Inilah yang terjadi dengan Indonesia. Zamrud
khatulistiwanya, negeri kita tercinta, ini punya problem akut dengan dunia
pendidikannya. Problem ini tampaknya merupakan fenomena rutinan yang harus
terjadi dan terus diperdebatkan dari waktu ke waktu sejak lama, mungkin sejak
zaman alif. Inilah alasan yang menjawab kenapa pendidikan di Indonesia tampak
sering menggamabarkan suatu paradoks—seperti yang sebagian akan diuraikan dalam
tulisan ini.
Permasalah yang terjadi di dunia pendidikan sangatlah
kompleks; rumitnya selangit. Karena itu ia tak mungkin diselesaikan dengan
hanya memperbaiki salah satu aspek, akan tetapi perbaikan itu harus dilakukan
secara simultan dan konsisiten. Di samping itu, kesalahan mendiagnosa penyakit
pada pasien dapat berakibat fatal bagi pasien.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, tentu saja tak ada
yang mengatakan bahwa pemerintah tak melakukan upaya keras guna mengangkatnya
pada taraf yang lebih baik. Barangkali pemerintah telah mendiagnosis, dan
berhasil menemukan virus di dalamnya, lantas mengatasinya dengan menyuntikkan
20% APBN. Akan tetapi toh wajah dunia pendidikan tetap suram. Tampaknya hal itu
karena negeri ini masih menyimpan virus ganas lain yang belum teratasi, korupsi.
Jauh sebelum orang ramai memperbincangkan korupsi, sebetulnya
sejak lama pendidikan kita masih saja mencari-cari konsep yang benar untuk
diterapkan. Pencarian akan konsep ini tampak seperti petualangan panjang yang
tak selesai-selesai. Karena itulah dari waktu se waktu, konsep pendidikan
nasional selalu seiring sejalan dengan perubahan peta politik; di era orda
lama, orde baru, orde reformasinya, dan seterusnya. Adakah pendidikan juga
selalu menjadi tercemar dengan interest setiap orde? Naïf.
Karena pendidikan masih belum menemukan arah yang benar,
akibat terombang-ambing oleh ragam kepentingan, tentu saja dikhawatirkan hal
ini akan melahirkan generasi yang tak tahu arah. Tapi sepertinya masalahnya
bukan saja soal kehilangan arah. Dalam hal konsep pengujian pun masih kerap
menuai sejuta masalah.
Ujian Akhir Nasional (Unas) adalah konsep penilaian yang
sejak awal terus diperdebatkan keabsahannya. Konsep ini dianggap tidak sejalan
dengan ruh pendidikan, hanya menitik-beratkan pada nilai di atas kertas. Ia
dijadikan satu-satunya barometer kelulusan, sehingga orientasi anak didik
bergeser pada angka-angka. Tak peduli lagi apakah moral mereka bobrok,
keseharian mereka jorok, dst.
Di sinilah kemudian paradoks itu terjadi. Misalnya, aksi
merayakan pengumuman kelulusan para pelajar yang serba amoral. Beberapa waktu
yang lalu, aksi membuka jilbab mewarnai konvoi kelulusan siswi SMA/MA dan SMK
di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Siswi yang biasanya menggunakan jilbab, saat
konvoi tidak lagi menggunakan jilbab. Bahkan jilbab para siswi itu dijadikan
bendera, sambil berboncengan dengan teman laki-laki mereka. Para siswi ini juga
merayakan kelulusan dengan menggunting rok. Konvoi kelulusan itu juga diwarnai
dengan aksi penjarahan yang mereka lakukan kepada para pedagang kaki lima.
(www.hidayatullah.com, 26 April 2010).
Bagaimanapun harus dikatakan, bahwa pada satu sisi mereka
telah lulus, namun dalam waktu yang bersamaan tindakan mereka justru
mencerminkan perilaku kelas masyarakat yang sama sekali tidak berpendidikan:
paradoks. Dinilai dari satu sudut pandang mereka adalah kelas terdidik, namun
dari sudut yang lain justru mereka masih tak tahu aturan dan amoral: paradoks.
Inilah potret lulusan yang tidak lulus. Fenomena semacam ini tampak
mencerminkan pergeseran paradigma pendidikan, kendati sebetulnya masalahnya
tidak hanya terletak pada paradigma.
Pergeseran paradigma pendidikan yang tengah mengarah pada
ranah pragmatis, memang banyak menyumbang bagi bobroknya dunia pendidikan.
Namun di samping itu masalah materi pendidikan, yang tidak terisi oleh
nilai-nilai adab Islami, sejatinya juga memberikan sumbangan besar bagi
kemerosotan nilai-nilai moral bangsa. Problem yang betumpuk-tumpuk kadang membuat
orang serba salah, namun juga seringkali membikin kita tak tahu harus memulai
dari mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar