Rabu, 20 April 2016

Pemikiran

Kerancuan Wacana Titik Temu Agama

Diskursus Pluralisme hingga detik ini masih menjadi arena pergulatan pemikiran yang tetap memancing pro-kontra. Di tahun 2009 ini, perdebatan tentang titik temu agama (transendent unity of religion) kembali marak menyusul diterbitkannya buku "Argumen Pluralisme Agama" hasil disertasi di UIN Jakarta oleh Moqsith Ghazali.  Walaupun menggunakan argumen-argumen yang kontrofersial, buku tersebut menuai pujian dari beberapa tokoh. Syafi'i Ma'arif pada 17 Maret 2009 di Harian Republika memuji habis-habisan buku tersebut. Padahal, menurut salah satu penguji disertasinya, Prof. Salman Harun, Moqsith tidak jujur mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dan Ibnu Kastir. Moqsith salah memahami penggalan tafsir Maroh Labid karya Syeikh Nawawi Al-Jawi tentang bisa-tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir. Menurut Prof. Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa.

Buku itu mengurai jawaban-jawaban Islam Liberal terhadap paham Pluralisme. Arah argumentasi Moqsith tampak jelas untuk menjustifikasi titik temu agama-agama dari perspektif Islam. Pertanyaannya, mungkinkah agama-agama itu bisa dipertemukan dalam satu titik persamaan? Ketidak jujuran Moqsith mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dalam tafsirnya merupakan bukti bahwa ia memaksakan pertemuan teologi agama-agama. Jika ditelaah, gagasan mempertemukan teologi agama-agama adalah rancu.
Dalam wacana mencari titik temu agama-agama, ada dua istilah yang sering dikaburkan dan disalah artikan. Kedua istilah itu – pluralitas dan pluralisme agama – kadang kala dilebur maknanya atau dikaburkan sehingga kemudian berubah menjadi satu bangunan makna. Perdebatan lain adalah belum adanya penjelasan yang memuaskan bagaimana konsep mengakumulasikan beraneka ragam titik agama itu menjadi satu titik yang menurut Frithjon Schuon adalah titik "Yang Mutlak".
Pertama-tama, yang perlu dipahamkan adalah makna pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas adalah suatu kondisi kehidupan sosial dengan aneka ragam wujud agama dalam masyarakat atau negara. Kondisi ini adalah alami atau sunnatullah. Sepanjang sejarah manusia pasti ditemukan beberapa agama, aliran atau isme.
Sedangkan pluralisme sebagaimana didefinisikan oleh MUI adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Dari penjelasan singkat tersebut, tampak jelas perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah bagian dari fenomena sosial yang tidak dapat ditolak, sedangkan pluralisme agama adalah aliran teologi yang akarnya dari Barat pada abad ke-15 – yaitu gerakan kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi pemikiran agama.
Yang disalah pahami oleh Islam Liberal, pluralisme adalah realita sunatullah. Ahmad Sofyan dalam buku Gagasan Cak Nur Tentang Negara dan Islam menukil pendapat Cak Nur ”Pluralisme, dengan demikian, merupakan sunatullah yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari". Kesalahan Cak Nur ialah menyamakan definisi pluralitas dengan pluralisme agama. Sehingga ia berpendapat, pluralisme tidak dapat dilawan dan diingkari. Pendapat yang sama dilontarkan Sukidi di Koran Jawa Pos tanggal 11 Januari 2006 "Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari".
Dalam konsep Islam, pluralitas diakui. Islam mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, namun tidak berarti membenarkan semuanya. Surat Al-Kafirun memberi pemahaman bahwa bermacam agama itu tidak bisa disatukan. Dari sinilah konsep toleransi lahir. Islam membiarkan agama lain menjalankan ritual agama – selama tidak mengganggu agama Islam – namun tidak mentolelir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
             Toleransi dalam konsepsi Islam tidak sampai mengorbankan aspek teologi. Kekeliruan Islam Liberal adalah bahwa kerukunan dapat berkembang jika umat berteologi pluralis. Budhy Munawar Rahman, tokoh Liberal, dalam situs www.Islib.com tahun 2000 menulis ”bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan -- teologi pluralis atau teologi inklusif.
Eksklusifitas Islam – sebagaimana dijabarkan dalam ayat-ayat al-Qur'an –  adalah dalam rangka mengoreksi dan mengkritik agama-agama terdahulu yang telah menyimpang dari al-din al-fitrah/al-din al-hafnif (ajaran Tauhid). Hal itu dapat dilihat dalam QS. Al-Ma'idah ayat 17, 72 dan 73. Secara teologis Islam bersifat eksklusif dalam arti tidak membenarkan agama-agama lain selain Islam seperti dalam QS Ali Imran ayat 19 dan 85.
Tapi, eksklusifitas Islam tidak serta merta menghalangi berinteraksi dengan penganut agama lain (anti inklusifitas). Dalam tataran sosial kemasyarakatan Islam terbuka (inklusif) berkehidupan dengan penganut agama lain.  Surat al-Mumtahanah menjelaskan "Tidaklah Allah melarang kamu untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memberangi kamu pada agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman kamu, sebab Allah suka kepada orang-orang yang berbuat adil. Hak-hak kafir dzimmi dijamin oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:"Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah (HR. Thabrani). Dalam beberapa riwayat, disebutkan Rasulullah SAW berdagang dengan orang kafir. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Kafirun dalam tataran teologi, Islam bersifat eksklusif. Tapi sangat membuka pintu toleransi beragama, berinteraksi dan bermuamalah (inklusif). Artinya, Islam adalah eksklusif sekaligus inklusif.
Kesimpulannya, ranah teologi Islam tidak mungkin dipaksakan menjadi inklusif. Teologi Inklusif  - yang pernah diwacanakan oleh Nurcholis Madjid – tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Hampir mirip dengan teologi inklusifnya Cak Nur, terdapat teori Transendent Unity of Religion – yaitu aliran pluralisme dengan cita-cita mempertemukan agama-agama pada titik esoterik. Penggagasnya adalah Rene Guenon, Fritjhof Schuon dan Syed Hussein Nasr. Wacana ini juga menyemarakkan kajian penganut pluralisme.
Menurut Frithjof Schuon – penggagas teori Transendent Unity of Religion – tiap agama-agama di dunia memiliki unsur eksoterik dan esoterik. Eksoterik adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral. Level ini melingkupi aspek peribadatan dan tata cara menyembah Tuhan. Unsur kedua, esoterik, adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Pada level inilah kata Shuon dan Rene Guenon agama-agama bisa bertemu menuju satu titik Tuhan.
Satu Tuhan banyak nama. Demikianlah kira-kira konsep Schuon.  Tuhan agama-agama di dunia hakikatnya sama, yang berbeda adalah pemberian nama tiap agama. Tuhan Islam bernama Allah, Yahudi menyebut Yahweh, meski berbeda, Dzat Mutlak itu satu.
Secara konseptual, gagasan Frithjof Schuon bermasalah. Kenyataannya perbedaan itu tidak hanya pada level eksoterik, pada tingkat esoterik pun terdapat perbedaan di antara masing-masing agama. Konsep ke-Tuhan-an umat Islam (Allah) tentu amat jauh berbeda dengan Tuhan Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu atau agama-agama lainnya. Kritik Al-Qur'an terhadap agama Yahudi dan Nasrani bahkan tidak hanya pada ranah eksoterik, malah, Al-Qur'an banyak mengkritik agama tersebut pada level esoteriknya. Andaikan sama, Islam tentu tidak akan menggugat ketuhanan agama-agama syirik tersebut. Dan Rasulullah SAW tidak perlu mengirim surat mengajak Islam kepada Raja Heraklius.

Masing-masing agama memiliki kosepsi Ketuhanan yang bersifat eksklusif, yang mustahil dicarikan kesamaan atau dipertemukan. Karena berbeda itulah, maka Islam kemudian mengajak kepada para pemeluk agama lain agar bersama-sama berdiri dalam kalimat al-sawa' – yaitu dengan melepas baju-baju syirik untuk kembali kepada agama Tauhid, menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Wallahu a'lam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar