Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf
Nahi Munkar II
“Setan yang
bisu.” Kalimat ini pas disematkan kepada orang yang mengaku Muslim tapi acuh
tak acuh ketika melihat kemunkaran. Meskipun tidak terlibat, sikap diamnya itu
menunjukkan bahwa ia meng-iya-kan kemungkaran tersebut. Sikap apatis yang
demikian sangat tidak diharapkan oleh ajaran agama kita. Muslim yang sejati
harus tergugah ketika melihat kemungkaran merajalela, atau kebaikan yang
semakin dijauhi.
Amar ma’ruf nahi munkar, meskipun merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifâyah),
namun akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bila tidak dilaksanakan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi yang lalu, amar ma’ruf merupakan salah
satu syiar dan tonggak agama yang sangat penting. Ajaran dan nilai-nilai agama
akan terejawantahkan ditengah-tengah umat apabila amar ma’ruf ini dilaksanakan dengan baik. Jika
diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Jika ajaran dan nilai-nilai
agama tidak dihiraukan pemeluknya sendiri, tentunya menjadi tanda
kehancurannya. Ini hanya sebagian akibat meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Pengajian kali ini akan
melanjutkan pembahasan amar
ma’ruf nahi munkar dari sisi ekses yang ditimbulkan
akibat tidak melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, dan dari sisi teknis pelaksanaannya.
Selain kitab an-nashâ’ihud-dîniyyah karya al-Habib Abdullah al-Haddad, penulis
juga mengutip keterangan dari kitab I’ânatuth-Thâlibîn karya Sayyid al-Bakri bin Muhammad
Syatha ad-Dimyathi dalam bab al-Jihâd.
Semoga bermanfaat.
Ketahuilah jika di antara kita
menjumpai seseorang terjebak dalam rumah yang terbakar, atau melihat seseorang
hampir tenggelam, sedangkan kita mampu menolongnya, maka tentu hati yang punya
nurani akan tergerak untuk membantu orang yang tertimpa bencana itu. Apalagi jika
bencana itu tertimpa pada saudara kita sendiri.
Demikian ini juga terjadi dalam
kehidupan keberagamaan kita. Apabila dijumpai saudara kita yang seiman
terjerumus dalam kemunkaran, dada seorang muslim sejati akan tergugah untuk
menolongnya lepas dari jerat kemungkaran. Seperti ketika ia melihat seseorang
yang hampir mati karena tenggelam atau karena terbakar. Bahkan lebih dahsyat,
karena bencana berupa kebakaran atau lainnya hanya bersifat sementara, tidak
abadi. Sedangkan terjerumus dalam kemungkaran merupakan bencana akhirat.
Di samping itu, menyelamatkan
saudara kita dari melakukan kemungkaran atau meninggalkan sebuah kewajiban,
sebenarnya untuk menyelamatkan diri kita sendiri juga. Ingatlah azab yang
menimpa umat-umat terdahulu, tidak lain karena ulama dan pendeta mereka
meninggalkan amar ma’ruf nahi
munkar. Mereka mendapat laknat dari Allah I dan seluruhnya mendapatkan azab tanpa pandang bulu.
Dalam salah satu riwayat di
sebutkan bahwa pada Hari Kiamat nanti terdapat seseorang yang menggantungkan dirinya
pada orang lain, padahal orang lain tersebut tiak mengenalnya. Terjadilah
dialog antara keduanya.
Orang kedua bertanya: “Apa
yang kau inginkan dariku, padahal kita tidak saling mengenal?” Orang pertama menjawab: “Waktu di dunia dulu, kau melihatku
melakukan perbuatan dosa, tapi kau biarkan dan tidak kau larang!”
Ketahuilah, salah satu yang
menyebabkan doa kita tidak didengarkan dan taubat kita tidak dihiraukan oleh
Allah I, karena kita meninggalkan amar
ma’ruf mahi munkar. Janganlah kalian gentar untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
janganlah beranggapan bahwa melaksanakan amar
ma’ruf dapat menghalangi
rizki, atau mendekatkan pada kematian. Semua itu telah digariskan oleh Allah ta’ala.
Ketahuilah, barangsiapa melihat
kemungkaran, dan tidak dicegahnya padahal dia memiliki kemampuan, maka dia
berarti ikut andil dalam kemungkaran itu. Begitu juga, jika rela terhadap suatu
kemungkaran, meskipun tidak berada di tempat terjadinya kemungkaran tersebut,
dia dianggap terlibat di dalamnya. Dan sebagai konsekuensinya, dia juga mendapat
dosa dan siksa dari Allah I.
Jikalau kita tidak memiliki
kemampuan, kita harus tetap ingkar di dalam hati, dan lebih baik lagi kita
menjauh dari tempat terjadinya kemungkaran. Ketahuilah, dalam melaksanakan amar ma’ruf hendaknya menjauhi sikap
kasar dan merasa sok suci. Bersikaplah lemah lembut pertama kali, dan jika
menemui jalan buntu, ambillah langkah tegas yang proporsional. Mulailah dari
diri sendiri, sebelum memerintahkan atau melarang orang lain.
Begitu juga yang harus
diperhatikan ialah menjauhi sikap tajassus (meneliti kesalahan orang lain).
Diperintahkannya amar ma’ruf nahi munkar bukan
berarti kita menspionase orang lain. Tidak. Yang kita lakukan adalah mencegah
kemungkaran yang ada di hadapan kita.
Hal lainnya yang penting
diperhatikan bagi pengemban amar
ma’ruf adalah harus
mengetahui bahwa kewajiban yang diperintahkan atau kemungkaran yang dilarang
adalah kewajiban atau kemungkaran yang telah disepakati para ulama, seperti
kewajiban salat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, atau larangan berzina,
mencuri, dan lain-lain. Kewajiban atau larangan yang masih diperselisihkan
ulama bukanlah sebagai obyek amar
ma’ruf nahi munkar. Atau
masih diperselisihkan, namun si pelaku meyakini bahwa apa yang dikerjakan
adalah haram, maka harus dicegah, meskipun yang mencegah tidak sama
keyakinannya dengan pelaku.
Sebagai contoh, seseorang yang
bermazhab Syafi’i ketika salat tidak membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah,
padahal menurut mazhab Syafi’i, basmalah termasuk surat al-Fatihah. Maka, bagi
yang mengetahuinya harus menegurnya, meskipun mazhab yang dianut tidak sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar