KEMERDEKAAN INTELEKTUAL
Bulan Agustus ini,
bangsa Indonesia memperingati deklarasi kemerdekaannya yang terjadi 71 tahun
silam, pada hari Jumat, 8 Ramadhan 1364, bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Di
Amerika Serikat (AS), orang menyebutnya the Day of Independence, yang
secara harfiah berarti hari lepasnya ikatan kebergantungan, hari bermulanya
kemandirian, kebebasan memilih dan menentukan nasib sendiri. Jika AS semenjak
itu bebas lepas dari penguasaan Inggris, maka Indonesia mulai hari itu
menyatakan dirinya merdeka dari penguasaan Jepang dan Belanda.
Namun, kemerdekaan
itu umumnya dipahami orang secara politik belaka, sekadar mempunyai, kedaulatan
atau pemerintahan sendiri. Mungkin karena itulah hingga saat ini, Indonesia
masih terus berjuang untuk merdeka secara ekonomi, hukum, pendidikan, dan
lainnya.
Salah satu yang
tak kalah pentingnya untuk kita soroti adalah sejauh mana bangsa Indonesia kini
telah merdeka secara intelektual. Kemerdekaan intelektual disini bukan sekadar
kebebasan berpendapat, akan tetapi kemandirian berpikir dan berijtihad,
kemampuan mengkritisi dan menolak unsur-unsur asing yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa dan agama, ketidak-bergantungan pada sistem pemikiran
dan paradigma keilmuan asing, serta kemampuan merumuskan konsep-konsep maupun
metodologi sendiri dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kemerdekaan ilmiah
akal pikiran atau `intellectual independence‘
semacam inilah yang kita harapkan menjelma di perguruan-perguruan tinggi
Indonesia.
Studi hukum Islam
ambillah sebagai contoh kasus studi hukum Islam yang masih belum merdeka dari
kungkungan paradigma asing. Tidak sedikit akademisi kita di perguruan tinggi
melihat hukum Islam sebagaimana sarjana-sarjana Eropa melihatnya, dan membahas
seluk-beluk Syariat Islamdengan pendekatan dan kerangka teori mereka. Berikut
ini beberapa contohnya.
Pertama, teori
perkembangan yang dianut oleh Ignaz Goldziher. Sarjana ketimuran asal Hungaria
ini menulis dengan panjang lebar bahwa hukum Islam itu mengalami perkembangan (Entwicklung) dan pemekaran
(Entfaltung)
dalam arti tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan.
Menurutnya, hukum Islam mengalami proses sejarah yang panjang dan bertahap,
mulai dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, kematangan dan akhirnya keruntuhan.
Dan semua itu, katanya, terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat
dari masa ke masa. Teori ini bagaikan `rukun iman’ bagi para pengkaji hukum
Islam di Barat.
Kedua, `teori pinjaman’
yang lazim dalam penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama,
seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni, adalah hasil budi-daya dan
reka-cipta manusia. Ia tidak muncul dari langit biru, melainkan berasal dari
pergaulan antar anggota masyarakat, puak atau bangsa tertentu dengan bangsa
lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan
manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para sarjana asing
pengkaji hukum Islam berjibaku men cari-cari apa yang mereka sangka atau
percaya sebagai asal-usul (origins), sumber, atau anasir luar (foreign elements) yang
diduga mempunyai pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Biasanya akan diklaim
bahwa sebagian besar ajaran Islam mengenai akidah dan ibadah diambil dari
doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Kristen.
Ketiga, `teori
pengibulan’ yang menuding para ulama Islam pada kurun- kurun pertama Hijriah
telah melakukan semacam konspirasi penipuan kepada masyarakat dengan
`menyuapkan’ hadis-hadis palsu ke `mulut’ Nabi, sebuah tuduhan keji luar biasa.
Sarjana-sarjana Barat semisal Harald Motzki, misalnya, telah memuji seorang
rekan yang katanya berhasil membuktikan hal itu: “has already demonstrated with some good examples how
older traditions of the Sahaba become hadith of the Prophet and the marasil become
marfu`at“(Lihat: The Origins of Islamic Jurisprudence, Leiden 2002,
hlm. 297).
Kemerdekaan Hukum
Menurut sejarawan hukum Norman Anderson, pemberlakuan hukum Eropa yang notabene
sekular di negara-negara Islam baru berlangsung sekitar 150 tahun terakhir.
Artinya, selama ratusan tahun sebelum itu, umat Islam di seluruh pelosok dunia
menjadikan Syariat Islam sebagai sistem hukum, perundangan dan peradilan yang
secara komprehensif mengatur kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik dan
lainnya. Baru di kemudian hari, menyusul kedatangan bangsa-bangsa Eropa secara
besar-besaran ke Asia dan Afrika, perubahan amat drastis terjadi dimana-mana.
Satu demi satu
negara-negara Muslim (tentu saja dipelopori oleh tokoh-tokoh hasil didikan
Belanda, Inggris atau Prancis) menggantikan hukum Islam dengan hukum kolonial
sekular: “[The Islamic law, together with the system of qadi courts which used
to apply it, has now been displaced, in one Muslim coun try after another, by
statutory laws of largely Western inspiration and by a system of secular courts
set up to apply these new codes, “demikian tulis Anderson dalam bukunya, Law
Reform in the Muslim World, London 1976, hlm. 1-2.
Lenyapnya
kemerdekaan hukum di dunia Islam bermula di Turki pasca modernisasi (Tanzimat) pada tahun 1839
yang memberlakukan undang-undang hukum pidana dan perdagangan maritim Eropa.
Sesudah itu Mesir dibawah Khedive Isma`il mengadopsi hukum Perancis yang
disebut Code Napoleon pada tahun 1868. Di wilayah Nusantara, umat Islam di
Aceh, Palembang, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sekitar nya atau
dipaksa menerima sistem hukum Belanda, sementara saudara-saudara mereka di
semenanjung Malaya, Sabah, Sarawak dan Brunei disuruh menerapkan hukum Inggris.
Perjuangan meraih kemerdekaan hukum memang masih panjang, khususnya bagi umat
Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia.
Walaupun sistem
peradilan Islam (Pengadilan Agama) masih diizinkan beroperasi (melalui UU
No.7/1989), akan tetapi otoritasnya masih sangat terbatas dan bahkan seringkali
digugat. Baru di tahun 1991 lewat instruksi Presiden (Inpres No.1/1991) lahir
Kompilasi Hukum Islam. Di samping banyaknya kendala-kendala politik dan
kultural, adanya mispersepsi di kalangan akademisi turut menghambat cita-cita
tersebut. Bibit-bibit salah paham terhadap Syariat Islam terus bersemai karena
dipupuk oleh opini-opini miring para sarjana asing pengkaji Islam. Di antaranya
adalah pendapat yang mengatakan Syariat Islam itu sekadar wacana, karena
kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Pendapat ini dilontarkan Noel J.
Coulson.
Menurutnya, alasan
utama mengapa banyak ahli fiqh menolak jabatan hakim di pengadilan tinggi ialah
karena mereka tahu betul bahwasanya Syari`at itu hanyalah adicita agama, hanya
dipelajari untuk diketahui tetapi bukan untuk diterapkan sebagai sistem
undang-undang. Pandangan keliru ini jelas mengabaikan fakta sejarah umat Islam,
seolah-olah orang Islam tidak pernah dan tidak mau mengamalkan syariat
agamanya. Walaupun benar bahwa tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum
Islam diberlakukan, hal itu tidak lantas berarti bahwa syariat Islam merupakan
idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang
sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah
dosa.
Namun anehnya,
teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan dipromosikan
Joseph Schacht ini justru diterima oleh sebagian tokoh di Indonesia dalam
bentuk dikotomi `Islam normatif’ versus `Islam historis’. Persepsi lain menuduh
Syari`at Islam itu sangat sewenang-wenang “author- itarian to the last degree,
“tukas Hamilton A. Gibb.
Pendapat miring
ini pun mirip dengan tuduhan para cendekiawan liberal yang dengan alasan sama
menolak secara mentah-mentah implementasi syariat Islam di Indonesia. Padahal
terdapat `seabreg‘
data historisbetapa luas dan luwesnya cara penetapan hukum maupun peradilan
yang dipraktikkan oleh para khulafa’ dan fuqaha’ selama berabad-abad, seperti
kita lihat pada kumpulan fatwa.
Pandangan negatif
juga disuarakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Menurutnya, sejak kurun
pertama telah terjadi perceraian antara syariah (yakni ulama’ yang mewakili
sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang
menentukan sistem perpolitikan).
Masing-masing ber
jalan mengikut caranya sendiri. Para penguasa tak peduli apa kata ulama,
sementara ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Namun
jika kita teliti, tampaklah bahwa kesan negatif orientalis Belanda ini tak
lebih dari sekadar generalisasi.
Pernyataannya itu
hanya betul untuk beberapa kasus tertentu tapi tidak ter- bukti dalam ba nyak
periode dimana terjadi `simbiosis konstruktif’. Lawrence Rosen mengusung opini
yang tak kurang buruknya. Menurutnya, Hukum Islam itu kacau-balau, bersumber
dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum
Barat (Common Law Anglo-Amerika atau Civil
Law Eropa) yang
tersusun rapi lagi rasional. Opini ini sama dengan pernyataan seorang tokoh
nasional Indonesia bahwa Syari`at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya
implementasi Syariah itu sama dengan Arabisasi yang artinya mundur ke abad
ketujuh Masehi.
Dalam bukunya,
Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan
lembaga peradilan Islam. Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa “… in
the Islamic courts of Morocco the meta-system of the law and the characteristic
forms of indeter-minate judgements are remarkably close to the overall culture
of its people. “
Pendapat miring
Rosen ini memantulkan kembali kesan orientalis klasik tentang Islam sebagai
sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih
maju dan canggih! Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang
sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah
dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar