Selasa, 19 April 2016

Motivasi

KEMERDEKAAN INTELEKTUAL

Bulan Agustus ini, bangsa Indonesia memperingati deklarasi kemerdekaannya yang terjadi 71 tahun silam, pada hari Jumat, 8 Ramadhan 1364, bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Di Amerika Serikat (AS), orang menyebutnya the Day of Independence, yang secara harfiah berarti hari lepasnya ikatan kebergantungan, hari bermulanya kemandirian, kebebasan memilih dan menentukan nasib sendiri. Jika AS semenjak itu bebas lepas dari penguasaan Inggris, maka Indonesia mulai hari itu menyatakan dirinya merdeka dari penguasaan Jepang dan Belanda.


Namun, kemerdekaan itu umumnya dipahami orang secara politik belaka, sekadar mempunyai, kedaulatan atau pemerintahan sendiri. Mungkin karena itulah hingga saat ini, Indonesia masih terus berjuang untuk merdeka secara ekonomi, hukum, pendidikan, dan lainnya.

Salah satu yang tak kalah pentingnya untuk kita soroti adalah sejauh mana bangsa Indonesia kini telah merdeka secara intelektual. Kemerdekaan intelektual disini bukan sekadar kebebasan berpendapat, akan tetapi kemandirian berpikir dan berijtihad, kemampuan mengkritisi dan menolak unsur-unsur asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama, ketidak-bergantungan pada sistem pemikiran dan paradigma keilmuan asing, serta kemampuan merumuskan konsep-konsep maupun metodologi sendiri dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kemerdekaan ilmiah akal pikiran atau `intellectual independence‘ semacam inilah yang kita harapkan menjelma di perguruan-perguruan tinggi Indonesia.

Studi hukum Islam ambillah sebagai contoh kasus studi hukum Islam yang masih belum merdeka dari kungkungan paradigma asing. Tidak sedikit akademisi kita di perguruan tinggi melihat hukum Islam sebagaimana sarjana-sarjana Eropa melihatnya, dan membahas seluk-beluk Syariat Islamdengan pendekatan dan kerangka teori mereka. Berikut ini beberapa contohnya.

Pertama, teori perkembangan yang dianut oleh Ignaz Goldziher. Sarjana ketimuran asal Hungaria ini menulis dengan panjang lebar bahwa hukum Islam itu mengalami perkembangan (Entwicklung) dan pemekaran (Entfaltung) dalam arti tidak langsung matang, lengkap atau tertib dari permulaan. Menurutnya, hukum Islam mengalami proses sejarah yang panjang dan bertahap, mulai dari masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, kematangan dan akhirnya keruntuhan. Dan semua itu, katanya, terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa ke masa. Teori ini bagaikan `rukun iman’ bagi para pengkaji hukum Islam di Barat.

Kedua, `teori pinjaman’ yang lazim dalam penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan bahwasanya agama, seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni, adalah hasil budi-daya dan reka-cipta manusia. Ia tidak muncul dari langit biru, melainkan berasal dari pergaulan antar anggota masyarakat, puak atau bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi). Bertolak dari andaian ini para sarjana asing pengkaji hukum Islam berjibaku men cari-cari apa yang mereka sangka atau percaya sebagai asal-usul (origins), sumber, atau anasir luar (foreign elements) yang diduga mempunyai pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Biasanya akan diklaim bahwa sebagian besar ajaran Islam mengenai akidah dan ibadah diambil dari doktrin dan tradisi agama Yahudi ataupun Kristen.

Ketiga, `teori pengibulan’ yang menuding para ulama Islam pada kurun- kurun pertama Hijriah telah melakukan semacam konspirasi penipuan kepada masyarakat dengan `menyuapkan’ hadis-hadis palsu ke `mulut’ Nabi, sebuah tuduhan keji luar biasa. Sarjana-sarjana Barat semisal Harald Motzki, misalnya, telah memuji seorang rekan yang katanya berhasil membuktikan hal itu: “has already demonstrated with some good examples how older traditions of the Sahaba become hadith of the Prophet and the marasil become marfu`at“(Lihat: The Origins of Islamic Jurisprudence, Leiden 2002, hlm. 297).

Kemerdekaan Hukum Menurut sejarawan hukum Norman Anderson, pemberlakuan hukum Eropa yang notabene sekular di negara-negara Islam baru berlangsung sekitar 150 tahun terakhir. Artinya, selama ratusan tahun sebelum itu, umat Islam di seluruh pelosok dunia menjadikan Syariat Islam sebagai sistem hukum, perundangan dan peradilan yang secara komprehensif mengatur kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Baru di kemudian hari, menyusul kedatangan bangsa-bangsa Eropa secara besar-besaran ke Asia dan Afrika, perubahan amat drastis terjadi dimana-mana.

Satu demi satu negara-negara Muslim (tentu saja dipelopori oleh tokoh-tokoh hasil didikan Belanda, Inggris atau Prancis) menggantikan hukum Islam dengan hukum kolonial sekular: “[The Islamic law, together with the system of qadi courts which used to apply it, has now been displaced, in one Muslim coun try after another, by statutory laws of largely Western inspiration and by a system of secular courts set up to apply these new codes, “demikian tulis Anderson dalam bukunya, Law Reform in the Muslim World, London 1976, hlm. 1-2.

Lenyapnya kemerdekaan hukum di dunia Islam bermula di Turki pasca modernisasi (Tanzimat) pada tahun 1839 yang memberlakukan undang-undang hukum pidana dan perdagangan maritim Eropa. Sesudah itu Mesir dibawah Khedive Isma`il mengadopsi hukum Perancis yang disebut Code Napoleon pada tahun 1868. Di wilayah Nusantara, umat Islam di Aceh, Palembang, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan sekitar nya atau dipaksa menerima sistem hukum Belanda, sementara saudara-saudara mereka di semenanjung Malaya, Sabah, Sarawak dan Brunei disuruh menerapkan hukum Inggris. Perjuangan meraih kemerdekaan hukum memang masih panjang, khususnya bagi umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia.

Walaupun sistem peradilan Islam (Pengadilan Agama) masih diizinkan beroperasi (melalui UU No.7/1989), akan tetapi otoritasnya masih sangat terbatas dan bahkan seringkali digugat. Baru di tahun 1991 lewat instruksi Presiden (Inpres No.1/1991) lahir Kompilasi Hukum Islam. Di samping banyaknya kendala-kendala politik dan kultural, adanya mispersepsi di kalangan akademisi turut menghambat cita-cita tersebut. Bibit-bibit salah paham terhadap Syariat Islam terus bersemai karena dipupuk oleh opini-opini miring para sarjana asing pengkaji Islam. Di antaranya adalah pendapat yang mengatakan Syariat Islam itu sekadar wacana, karena kenyataannya tidak pernah dilaksanakan. Pendapat ini dilontarkan Noel J. Coulson.
Menurutnya, alasan utama mengapa banyak ahli fiqh menolak jabatan hakim di pengadilan tinggi ialah karena mereka tahu betul bahwasanya Syari`at itu hanyalah adicita agama, hanya dipelajari untuk diketahui tetapi bukan untuk diterapkan sebagai sistem undang-undang. Pandangan keliru ini jelas mengabaikan fakta sejarah umat Islam, seolah-olah orang Islam tidak pernah dan tidak mau mengamalkan syariat agamanya. Walaupun benar bahwa tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Islam diberlakukan, hal itu tidak lantas berarti bahwa syariat Islam merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa.



Namun anehnya, teori yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan dipromosikan Joseph Schacht ini justru diterima oleh sebagian tokoh di Indonesia dalam bentuk dikotomi `Islam normatif’ versus `Islam historis’. Persepsi lain menuduh Syari`at Islam itu sangat sewenang-wenang “author- itarian to the last degree, “tukas Hamilton A. Gibb.
Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan para cendekiawan liberal yang dengan alasan sama menolak secara mentah-mentah implementasi syariat Islam di Indonesia. Padahal terdapat `seabreg‘ data historisbetapa luas dan luwesnya cara penetapan hukum maupun peradilan yang dipraktikkan oleh para khulafa’ dan fuqaha’ selama berabad-abad, seperti kita lihat pada kumpulan fatwa.
Pandangan negatif juga disuarakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Menurutnya, sejak kurun pertama telah terjadi perceraian antara syariah (yakni ulama’ yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan).
Masing-masing ber jalan mengikut caranya sendiri. Para penguasa tak peduli apa kata ulama, sementara ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Namun jika kita teliti, tampaklah bahwa kesan negatif orientalis Belanda ini tak lebih dari sekadar generalisasi.
Pernyataannya itu hanya betul untuk beberapa kasus tertentu tapi tidak ter- bukti dalam ba nyak periode dimana terjadi `simbiosis konstruktif’. Lawrence Rosen mengusung opini yang tak kurang buruknya. Menurutnya, Hukum Islam itu kacau-balau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (Common Law Anglo-Amerika atau Civil Law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional. Opini ini sama dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa Syari`at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syariah itu sama dengan Arabisasi yang artinya mundur ke abad ketujuh Masehi.
Dalam bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang melecehkan lembaga peradilan Islam. Ia sendiri lantas menarik kesimpulan bahwa “… in the Islamic courts of Morocco the meta-system of the law and the characteristic forms of indeter-minate judgements are remarkably close to the overall culture of its people. 
Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali kesan orientalis klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih! Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar