Selasa, 19 April 2016

Inspirasi

Makna Ujian 

Tidak terlalu lama lagi, Ujian Akhir Semester (UAS) Genap akan menghampiri kita semua mahasiswa Universitas Darussalam Gontor Ponorogo. Mendengar kata ujian tentu terngiang dalam benak kita sebuah suasana dimana seseorang belajar lebih, dimana suasana yang serba lebih dari hari-hari biasa tersebut cenderung memacu seseorang untuk beribadah lebih pula.


Untuk melihat sebuah suasana ujian tidak perlu melihat jauh, kita dapat melihat apa yang ada dalam kampus kita, masa ujian sangat berpengaruh terhadap pola ibadah, seperti meningkatnya shaf sholat berjamaah dan banyak yang secara individual mendirikan sholat sunnah tahajud di malam hari. Tak dapat dipungkiri ujian mempunyai pengaruh; baik mental dan spiritual terhadap seseorang.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata ujian berasal dari kata uji yang berarti percobaan untuk mengetahui kualitas sesuatu yang ditambah akhiran an- uji-an,  sehingga menjadi sebuah kegiatan yang dilakukan untuk menguji sesuatu. Pada tataran akademik, ujian adalah kegiatan wajib sebagai bentuk evalutif terhadap apa yang telah dipelajari dalam kegiatan belajar mengajar, yang pada akhirnya berujung kepada sebuah penilaian apakah seseorang itu dianggap lulus atau tidak lulus.

Masalah lulus atau tidaknya seseorang tentunya menjadi momok yang membayang-bayangi seorang peserta ujian, tetapi keduanya juga menjadi pemacu sekaligus harapan karena ada ukuran atau standarisasi sebagai tes terhadap kemampuan. Melihat hal yang demikian “apakah kaitan lulus dapat dimaknai sebagai dimuliakan (yukromu) dan tidak lulus sebagai dihinakan (yuhanu)?” Seperti dikatakan dalam mahfudzot yang berbunyi ‘Bil Imtihan yukromul Mar’u aw yuhaanu’.

Ujian dapat dikatakan sebagai proses kelanjutan dari bagian proses belajar mengajar. Memaknai dimuliakan sebagai “kelulusan” dan mendapatkan nilai yang bagus, mungkin “benar” dan memaknai dihinakan sebagai “ketidaklulusan” dengan nilai yang tidak bagus, mungkin juga “benar”. Tetapi, apabila dimaknai secara mendalam akan ditemukan sebuah kejanggalan apabila memaknai ujian seperti demikian. Ada seseorang yang mengikuti ujian dengan kesungguhan usaha melalui belajar dan berdo’a mendapatkan istilah “tidak lulus” tertulis pada kertas hasil ujiannya.

Di sisi lain, ada yang menghadapi ujian dengan ketidaksungguhan mendapatkan istilah “lulus” pada kertas hasil ujiannya. Kalau demikian berarti seseorang hanya akan mulia dan hina dengan ukuran hasil bukan proses yang pada akhirnya akan mengakibatkan suatu perbuatan yang menghalalkan segala cara demi sebuah hasil, agar dipandang baik.

Sebagai proses, ujian dapat difahami sebagai usaha. Dan seseorang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang telah diusahakannya. Dalam surah An-Najm ayat 39-40 Allah berfirman tentang perihal manusia dan usahanya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan.

At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil aai Al-Qur’an, memaparkan bahwa segala bentuk usaha manusia baik itu yang baik dan yang jahat kelak akan mendapatkan balasan. Apabila difahami, bahwa usaha yang dilakukan oleh manusia bertujuan kepada sesuatu yang lebih dari sekedar balasan duniawi tetapi balasan yang bersifat ukhrowi. Berarti seorang manusia harus mempertimbangkan apakah usaha yang dilakukan itu baik atau buruk di sisi Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai ukuran baik dan buruk.

Untuk itu, memahami dimuliakan dan dihinakan dari proses ujian bukan hanya bertujuan mulia atau hina di mata manusia tetapi lebih dari itu, secara hakiki hal tersebut dapat dimaknai sebagai mulia atau hina di mata Allah SWT.

Ujian dengan segala peraturannya, tentunya menuntut seseorang untuk melakukan persiapan, walaupun dalam beberapa kasus seperti contek-menyontek, membawa catatan kecil atau segala bentuk kecurangan lainnya terkadang menjadi usaha alternatif disamping belajar dan berdo’a. Dalam hal ini, yang melakukan kecurangan ada yang ketahuan dan ada yang tidak ketahuan.

Bagi yang ketahuan, kata “yuhanu” (dihinakan) seperti dipermalukan depan umum, diskors atau bahkan diusir akan diberlakukan sebagai bentuk hinaan duniawi akibat perbuatannya. Naifnya, bagi yang tidak ketahuan akan mendapatkan rasa kepuasan tersendiri karena dapat melewati ujian dan mendapatkan predikat lulus atau mungkin kata “yukromu” (dimuliakan).

Seorang manusia ditantang untuk berlaku jujur dalam menghadapi ujian. Ketidakjujuran dalam ujian walaupun tidak hina di sisi manusia pada saat itu, tetapi ia akan tetap hina karena perbuatan tersebut membawa kepada sebuah kejahatan, maka dapat dikatakan orang yang melakukan segala bentuk kecurangan sebagai orang yang berdusta; dusta kepada diri sendiri, guru, orang tua dan pastinya dusta di sisi Allah.

Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, sedang kebaikan itu akan menuntun ke surga dan seorang laki-laki yang berbuta jujur akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan menghantarkan ke neraka. Seorang laki-laki yang berbuat dusta akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muttafaq ‘Alaih

Dr. Muhammad Ali Hasyimi menjelaskan lebih lanjut bahwa jujur harus dilakukan dalam segala bentuk ucapan maupun perbuatan, karena dengan kejujuran seseorang akan mendapatkan derajat yang sangat tinggi dan mulia. Dan apabila dikaitkan maka bentuk yukromu dalam ujian ditujukan untuk sebuah usaha yang jujur sebagai proses.

Dalam usaha yang dalam hal ini ujian tentunya ditemui kesulitan-kesulitan yang kadang berada di luar nalar. Terkadang kita telah berusaha secara serius dan sungguh-sungguh tetapi hasilnya gagal atau dalam ujian “tidak lulus”. Untuk itu dalam usaha seseorang dituntut untuk dapat menikmati proses dari usahanya tersebut. Menikmati proses disini adalah bersabar dan bersyukur atas apa yang didapat dari usahanya tersebut. Berbicara sabar dan syukur Imam Al-Ghozali dalam karyanya Ihya ‘ulumuddin menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi adalah syukur.

Adapun kesabaran, Allah SWT telah berfirman sebagai bentuk pujian mengenai sifat itu: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin yang memberi petunjuk dengan pernitah kami ketika mereka bersabar” (QS. As-Sajadah: 24). Dalam firman Allah ta’ala yang lain: “Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar” (QS. An-Nahl: 137).

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda perihal tentang kesabaran sebagai harta yang terpendam di surga, sabdanya: “Kesabaran itu adalah harta yang terpendam di surga.”

Masih menurut Al-Ghozali bahwa Kesabaran terdiri dari pengetahuan, keadaan dan amal. Pengetahuan didalamnya seperti pohon, keadaan seperti ranting dan amal seperti buah. Dan maslahat agama terdapat dalam kesabaran. Sebagai hal yang sangat penting, seorang sahabat Nabi bahkan pernah berkata bahwa, “Kami tidak menganggap iman seseorang sebagai iman apabila ia tidak sabar saat menghadapi gangguan”.


Hidup adalah Ujian
Dalam cakupan yang lebih luas, hidup sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah SWT merupakan ujian. Kenapa dikatakan ujian? Pengertian Ujian sebagaimana dijelaskan diatas selalu dihadapi oleh setiap manusia walaupun ujian tersebut hadir dengan bentuk yang berbeda-beda, yang tentunya sesuai dengan profesi atau siapa dan apa manusianya saat itu. Dalam Al-Qur’an Allah SWT melukiskan secara jelas perihal tentang berbagai macam ujian yang akan dihadapi oleh manusia, firman-Nya:

"Dan Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un." (QS 2: 155)

Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa cobaan-cobaan yang diberikan oleh Allah merupakan ujian, karena hal tersebut diberikan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dari seorang manusia. Salah satu cobaan-cobaan tersebut adalah ketakutan. Rasa takut menjadi hal yang dominan dalam menguasai perbuatan manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa karena rasa takut tidak lulus dalam ujianlah seseorang melakukan kecurangan seperti mencontek, membawa catatan dan lain sebagainya.

Atau dalam beberapa kasus, pada cakupan yang lebih luas karena alasan takut lapar saudara kita bersedia mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kuitansi atau menerima komisi tak sah jutaan rupiah. Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan membuat sebagian saudara kita pergi ke "orang pintar" agar bertahan pada posisinya atau supaya malah meningkat ke "kursi" yg lebih empuk. Bukankah karena takut kehabisan harta kita jadi enggan mengeluarkan zakat dan sadaqoh.

Untuk itu, dalam menghadapi ujian manusia dituntut untuk mejadikan ibadah sebagai pijakan dan atau motivasi dalam berbuat. Berbicara tentang motivasi, Dr. Bahruddin memaparkan bahwa motivasi timbul karena adanya kebutuhan, pengetahuan dan aspirasi cita-cita, selain itu ia juga muncul dari akibat adanya tekanan dari luar diri manusia seperti; ganjaran, hukuman, persaingan atau kompetisi. Ujian akan menjadi hal yang sangat bernilai apabila dimaknai sebagai ibadah, maka dengan ibadah sebagai pijakan akan dapat memperbaiki niat seseorang dalam menghadapi ujian yang tentunya akan menghasilkan suatu pengetahuan, kebutuhan dan cita-cita yang baik pula.

Dalam kehidupan, kita cenderung mengatakan kalau kita ditimpa kesusahan maka kita sedang mendapat cobaan dan ujian dari Allah. Jarang sekali kalau kita dapat rezeki dan kebahagiaan kita teringat bahwa itupun merupakan ujian dan cobaan dari Allah. Ada diantara kita yang tak sanggup menghadapi ujian itu dan boleh jadi ada pula diantara kita yang tegar menghadapinya.

Al-Qur'an mengajarkan kita untuk berdo'a: "Ya Tuhan kami, jangnlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya..."(QS 2: 286)

Do'a tersebut lahir dari sebuah kepercayaan bahwa setiap derap kehidupan kita merupakan cobaan dari Allah. Kita tak mampu menghindar dari ujian dan cobaan tersebut, yang bisa kita pinta adalah agar cobaan tersebut sanggup kita jalani. Cobaan yang datang ke dalam hidup kita bisa berupa rasa takut, rasa lapar, kurang harta dan lainnya.

Dari itu, dapat difahami bahwa dalam ujian dibutuhkan sebuah usaha yang jujur dan bersih dari segala bentuk kecurangan-kecurangan yang malah menghasilkan kehinaan pada manusia itu sendiri. Kata yukromu (dimuliakan) dapat dikatakan sebagai kemuliaan usaha yang ditempuh dalam proses ujian tersebut sehingga akan menghasilkan sebuah balasan kemuliaan baik balasan duniawi maupun ukhrowi

Walaupun pada beberapa kasus, ujian tersebut sudah dihadapi dengan usaha yang serius dan benar tetapi masih menemui kegagalan dalam ujian, maka tidak hanya kejujuran yang dibutuhkan tetapi seorang manusia harus bersabar dengan apa yang diperolehnya. Karena mungkin itu adalah jawaban sebagai sebuah kesuksesan tertunda untuk sebuah kesuksesan yang besar.


Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar