Makna Ujian
Tidak
terlalu lama lagi, Ujian Akhir Semester (UAS) Genap akan menghampiri kita semua
mahasiswa Universitas Darussalam Gontor Ponorogo. Mendengar kata ujian tentu terngiang
dalam benak kita sebuah suasana dimana seseorang belajar lebih, dimana suasana
yang serba lebih dari hari-hari biasa tersebut cenderung memacu seseorang untuk
beribadah lebih pula.
Untuk melihat sebuah suasana ujian tidak perlu melihat jauh, kita dapat
melihat apa yang ada dalam kampus kita, masa ujian sangat berpengaruh terhadap
pola ibadah, seperti meningkatnya shaf
sholat berjamaah dan banyak yang secara individual mendirikan sholat sunnah
tahajud di malam hari. Tak dapat dipungkiri ujian mempunyai pengaruh; baik mental
dan spiritual terhadap seseorang.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata ujian berasal dari kata uji
yang berarti percobaan untuk mengetahui kualitas sesuatu yang ditambah akhiran an- uji-an, sehingga menjadi sebuah kegiatan yang
dilakukan untuk menguji sesuatu. Pada tataran akademik, ujian adalah kegiatan
wajib sebagai bentuk evalutif terhadap apa yang telah dipelajari dalam kegiatan
belajar mengajar, yang pada akhirnya berujung kepada sebuah penilaian apakah
seseorang itu dianggap lulus atau tidak lulus.
Masalah lulus atau tidaknya seseorang tentunya menjadi momok yang
membayang-bayangi seorang peserta ujian, tetapi keduanya juga menjadi pemacu
sekaligus harapan karena ada ukuran atau standarisasi sebagai tes terhadap
kemampuan. Melihat hal yang demikian “apakah kaitan lulus dapat dimaknai
sebagai dimuliakan (yukromu) dan tidak lulus sebagai dihinakan (yuhanu)?”
Seperti dikatakan dalam mahfudzot yang berbunyi ‘Bil Imtihan yukromul Mar’u aw yuhaanu’.
Ujian dapat dikatakan sebagai proses kelanjutan dari bagian proses belajar
mengajar. Memaknai dimuliakan sebagai “kelulusan” dan mendapatkan nilai yang
bagus, mungkin “benar” dan memaknai dihinakan sebagai “ketidaklulusan” dengan
nilai yang tidak bagus, mungkin juga “benar”. Tetapi, apabila dimaknai secara
mendalam akan ditemukan sebuah kejanggalan apabila memaknai ujian seperti
demikian. Ada seseorang yang mengikuti ujian dengan kesungguhan usaha melalui
belajar dan berdo’a mendapatkan istilah “tidak lulus” tertulis pada kertas
hasil ujiannya.
Di sisi lain, ada yang menghadapi ujian dengan ketidaksungguhan mendapatkan
istilah “lulus” pada kertas hasil ujiannya. Kalau demikian berarti seseorang
hanya akan mulia dan hina dengan ukuran hasil bukan proses yang pada akhirnya
akan mengakibatkan suatu perbuatan yang menghalalkan segala cara demi sebuah
hasil, agar dipandang baik.
Sebagai proses, ujian dapat difahami sebagai usaha. Dan seseorang akan
memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang telah diusahakannya. Dalam surah
An-Najm ayat 39-40 Allah berfirman tentang perihal manusia dan usahanya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan.”
At-Thabari dalam tafsirnya Jami’
Al-Bayan ‘an Ta’wil aai Al-Qur’an, memaparkan bahwa segala bentuk usaha
manusia baik itu yang baik dan yang jahat kelak akan mendapatkan balasan.
Apabila difahami, bahwa usaha yang dilakukan oleh manusia bertujuan kepada
sesuatu yang lebih dari sekedar balasan duniawi tetapi balasan yang bersifat
ukhrowi. Berarti seorang manusia harus mempertimbangkan apakah usaha yang
dilakukan itu baik atau buruk di sisi Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Al-Hadist
sebagai ukuran baik dan buruk.
Untuk itu, memahami dimuliakan dan dihinakan dari proses ujian bukan hanya
bertujuan mulia atau hina di mata manusia tetapi lebih dari itu, secara hakiki
hal tersebut dapat dimaknai sebagai mulia atau hina di mata Allah SWT.
Ujian dengan segala peraturannya, tentunya menuntut seseorang untuk
melakukan persiapan, walaupun dalam beberapa kasus seperti contek-menyontek,
membawa catatan kecil atau segala bentuk kecurangan lainnya terkadang menjadi
usaha alternatif disamping belajar dan berdo’a. Dalam hal ini, yang melakukan
kecurangan ada yang ketahuan dan ada yang tidak ketahuan.
Bagi yang ketahuan, kata “yuhanu” (dihinakan)
seperti dipermalukan depan umum, diskors atau bahkan diusir akan diberlakukan
sebagai bentuk hinaan duniawi akibat perbuatannya. Naifnya, bagi yang tidak
ketahuan akan mendapatkan rasa kepuasan tersendiri karena dapat melewati ujian
dan mendapatkan predikat lulus atau mungkin kata “yukromu” (dimuliakan).
Seorang manusia ditantang untuk berlaku jujur dalam menghadapi ujian.
Ketidakjujuran dalam ujian walaupun tidak hina di sisi manusia pada saat itu,
tetapi ia akan tetap hina karena perbuatan tersebut membawa kepada sebuah
kejahatan, maka dapat dikatakan orang yang melakukan segala bentuk kecurangan
sebagai orang yang berdusta; dusta kepada diri sendiri, guru, orang tua dan
pastinya dusta di sisi Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu akan
membawa kepada kebaikan, sedang kebaikan itu akan menuntun ke surga dan seorang
laki-laki yang berbuta jujur akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang
jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu
akan menghantarkan ke neraka. Seorang laki-laki yang berbuat dusta akan ditulis
di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muttafaq
‘Alaih)
Dr. Muhammad Ali Hasyimi menjelaskan lebih lanjut bahwa jujur harus
dilakukan dalam segala bentuk ucapan maupun perbuatan, karena dengan kejujuran
seseorang akan mendapatkan derajat yang sangat tinggi dan mulia. Dan apabila
dikaitkan maka bentuk yukromu dalam
ujian ditujukan untuk sebuah usaha yang jujur sebagai proses.
Dalam usaha yang dalam hal ini ujian tentunya ditemui kesulitan-kesulitan
yang kadang berada di luar nalar. Terkadang kita telah berusaha secara serius
dan sungguh-sungguh tetapi hasilnya gagal atau dalam ujian “tidak lulus”. Untuk
itu dalam usaha seseorang dituntut untuk dapat menikmati proses dari usahanya
tersebut. Menikmati proses disini adalah bersabar dan bersyukur atas apa yang
didapat dari usahanya tersebut. Berbicara sabar dan syukur Imam Al-Ghozali
dalam karyanya Ihya ‘ulumuddin menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari dua
bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi adalah syukur.
Adapun kesabaran, Allah SWT telah berfirman sebagai bentuk pujian mengenai
sifat itu: “Kami telah menjadikan mereka
itu sebagai pemimpin yang memberi petunjuk dengan pernitah kami ketika mereka
bersabar” (QS. As-Sajadah: 24). Dalam firman Allah ta’ala yang lain: “Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang sabar” (QS. An-Nahl: 137).
Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda perihal tentang kesabaran sebagai
harta yang terpendam di surga, sabdanya: “Kesabaran
itu adalah harta yang terpendam di surga.”
Masih menurut Al-Ghozali bahwa Kesabaran terdiri dari pengetahuan, keadaan
dan amal. Pengetahuan didalamnya seperti pohon, keadaan seperti ranting dan
amal seperti buah. Dan maslahat agama terdapat dalam kesabaran. Sebagai hal
yang sangat penting, seorang sahabat Nabi bahkan pernah berkata bahwa, “Kami tidak menganggap iman seseorang sebagai
iman apabila ia tidak sabar saat menghadapi gangguan”.
Hidup adalah Ujian
Dalam cakupan yang lebih luas, hidup sebagai anugerah yang diberikan oleh
Allah SWT merupakan ujian. Kenapa dikatakan ujian? Pengertian Ujian sebagaimana
dijelaskan diatas selalu dihadapi oleh setiap manusia walaupun ujian tersebut
hadir dengan bentuk yang berbeda-beda, yang tentunya sesuai dengan profesi atau
siapa dan apa manusianya saat itu. Dalam Al-Qur’an Allah SWT melukiskan secara
jelas perihal tentang berbagai macam ujian yang akan dihadapi oleh manusia,
firman-Nya:
"Dan Sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.
Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innalillahi
wa inna ilaihi raaji’un." (QS 2: 155)
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa cobaan-cobaan yang diberikan oleh
Allah merupakan ujian, karena hal tersebut diberikan dengan tujuan untuk
mengetahui kualitas dari seorang manusia. Salah satu cobaan-cobaan tersebut
adalah ketakutan. Rasa takut menjadi hal yang dominan dalam menguasai perbuatan
manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa karena rasa takut tidak lulus dalam
ujianlah seseorang melakukan kecurangan seperti mencontek, membawa catatan dan
lain sebagainya.
Atau dalam beberapa kasus, pada cakupan yang lebih luas karena alasan takut
lapar saudara kita bersedia mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang
seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kuitansi atau menerima komisi tak
sah jutaan rupiah. Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan membuat
sebagian saudara kita pergi ke "orang pintar" agar bertahan pada
posisinya atau supaya malah meningkat ke "kursi" yg lebih empuk.
Bukankah karena takut kehabisan harta kita jadi enggan mengeluarkan zakat dan
sadaqoh.
Untuk itu, dalam menghadapi ujian manusia dituntut untuk mejadikan ibadah
sebagai pijakan dan atau motivasi dalam berbuat. Berbicara tentang motivasi,
Dr. Bahruddin memaparkan bahwa motivasi timbul karena adanya kebutuhan,
pengetahuan dan aspirasi cita-cita, selain itu ia juga muncul dari akibat
adanya tekanan dari luar diri manusia seperti; ganjaran, hukuman, persaingan
atau kompetisi. Ujian akan menjadi hal yang sangat bernilai apabila dimaknai
sebagai ibadah, maka dengan ibadah sebagai pijakan akan dapat memperbaiki niat
seseorang dalam menghadapi ujian yang tentunya akan menghasilkan suatu pengetahuan,
kebutuhan dan cita-cita yang baik pula.
Dalam kehidupan, kita cenderung mengatakan kalau kita ditimpa kesusahan
maka kita sedang mendapat cobaan dan ujian dari Allah. Jarang sekali kalau kita
dapat rezeki dan kebahagiaan kita teringat bahwa itupun merupakan ujian dan
cobaan dari Allah. Ada diantara kita yang tak sanggup menghadapi ujian itu dan
boleh jadi ada pula diantara kita yang tegar menghadapinya.
Al-Qur'an mengajarkan kita untuk berdo'a: "Ya Tuhan kami, jangnlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya..."(QS 2: 286)
Do'a tersebut lahir dari sebuah kepercayaan bahwa setiap derap kehidupan
kita merupakan cobaan dari Allah. Kita tak mampu menghindar dari ujian dan
cobaan tersebut, yang bisa kita pinta adalah agar cobaan tersebut sanggup kita
jalani. Cobaan yang datang ke dalam hidup kita bisa berupa rasa takut, rasa
lapar, kurang harta dan lainnya.
Dari itu, dapat difahami bahwa dalam ujian dibutuhkan sebuah usaha yang
jujur dan bersih dari segala bentuk kecurangan-kecurangan yang malah
menghasilkan kehinaan pada manusia itu sendiri. Kata yukromu (dimuliakan) dapat
dikatakan sebagai kemuliaan usaha yang ditempuh dalam proses ujian tersebut
sehingga akan menghasilkan sebuah balasan kemuliaan baik balasan duniawi maupun
ukhrowi
Walaupun pada beberapa kasus, ujian tersebut sudah dihadapi dengan usaha
yang serius dan benar tetapi masih menemui kegagalan dalam ujian, maka tidak
hanya kejujuran yang dibutuhkan tetapi seorang manusia harus bersabar dengan
apa yang diperolehnya. Karena mungkin itu adalah jawaban sebagai sebuah kesuksesan tertunda untuk sebuah kesuksesan yang besar.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar