Makan Ikan Asin Bersama Kotorannya
Sampai saat ini, ikan asin menjadi konsumsi masyarakat
umum yang hukumnya masih juga dibincangkan status hukumnya. Tulisan berikut
sedikit memberikan solusi keagamaan mengenai hukum makan ikan asin.
Ikan asin merupakan daging ikan yang diawetkan dengan
cara menambahkan banyak garam. Melalui proses pengawetan ini, daging ikan yang
biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan untuk jangka waktu
berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat. Hal tersebut karena kristal-kristal
garam akan menarik cairan sel dalam daging ikan keluar dari tubuhnya. Sementara
itu partikel garam terus meresap masuk kedalam daging ikan.
Hukum ikan sendiri memang tidak begitu masalah, karena
nashnya jelas dalam hadis Nabi bahwa ikan laut halal untuk dikonsumsi, walaupun
dibeberapa jenis terdapat khilaf ditengah ulama. Yang menjadi persoalan
kemudian adalah kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi ikan kering yang tidak
dibuang kotorannya. Sebab, walaupun status ikan adalah halal, tapi kotorannya
tetap najis dan benda najis tidak boleh dimakan. Inilah yang menjadi persoalan
karena kebanyakan ikan asin tidak dibuang kotorannya. Lantas, bagaimana
tinjauan fikih mengenai hal ini?
Sebenarnya, halal dan tidaknya ikan asin terkait erat dengan
proses pengasinannya, terkait pula dengan kotoran didalamnya. Proses pengasinan
ikan yang berkembang dimasyarakat cukup beragam, lebih dari satu cara. Tapi
lumrahnya adalah dengan penggaraman kering (dry salting), yaitu ikan
yang akan diolah ditaburi garam berbentuk kristal lalu disusun secara
berlapis-lapis. Setiap lapisan ikan diselingi lapisan garam. Ada pula yang
melalui penggaraman basah (wet salting), yaitu proses penggaramannya dengan
menggunakan larutan garam sebagai media untuk merendam ikan. Untuk ukuran ikan,
ikan besar atau sedang biasanya disiangi, yakni pembersihan sisik, insang, dan
perut dibelah agar pengasinan menjadi sempurna, sedangkan ikan kecil seperti
petek dan teri, biasanya hanya dicuci, kemudian diasinkan.
Nah, titik persoalannya adalah ada pada ikan sedang dan
besar yang diasinkan tanpa membuang kotoran di perutnya. Untuk ikan-ikan kecil,
tidak begitu masalah karena pembersihan isi perut sulit dilakukan sehingga
masuk dalam kategori ma’fu ‘anhu. Tetapi, untuk ukuran ikan ukuran sedang
dan besar tentu tidak sulit dilakukan pembersihan. Mengenai kecil dan besarnya
ikan, dinilai dari pandangan uruf yakni pandangan masyarakat.
Pengasinan melalui proses demikian oleh Imam Nawawi
Banten dijelaskan dalam kitab nihayatuz-zain-nya. Dalam kitab tersebut
beliau memandang dari dua sisi, nanah yang keluar dari ikan akibat pembusukan
kotoran dan kotoran dalam perut ikan. Dua hal inilah yang dihukumi najis oleh
fikih. Menurut beliau, pengasinan ikan dengan cara ditumpuk di sebuah wadah
dengan tanpa proses pembersihan terlebih dahulu menyebabkan ikan-ikan di
dalamnya najis ‘ain yang tidak bisa disucikan, karena nanah masing-masing ikan
saling mempengaruhi antar satu sama lain akibat nanah yang keluar dan merendam
ikan yang terdapat didalam wadah. Karena itulah, ikan yang berada dibagian atas
dihukumi suci.
Berbeda jika pengasinan dilakukan dengan penumpukan dalam
tanah yang dihukumi suci karena nanah dapat meresap ke dalam tanah. Demikian
pula jika dalam proses pengasinan dipisah-pisah antar satu sama lain, atau di
iris terlebih dahulu untuk pembersihan darah pada ikan-ikan yang akan diasin.
Pemilahan ini hanya yang terkait dengan nanah yang
keluar. Adapun kotoran yang masih terdapat dalam perut ikan, Imam Nawawi juga
menghukumi ma’fu jika pada ikan-ikan kecil dan sulit dibersihkan. Akan
tetapi, tetap makruh memakannya, sebagaimana juga pendapat Imam Nawawi dalam ar-raudhah-nya.
Jika ikannya besar maka tidak boleh memakannya kecuali membuang terlebih dahulu
kotoran dalam perutnya sebelum proses pengasinan, karena kotoran ikan dapat
mempengaruhi dagingnya akibat proses pengasinan tersebut. Ini berbeda dengan
telur ikan yang terdapat didalamnya yang tidak bisa terpengaruh oleh kotoran
karena dipisah oleh kulit telur.
Seperti inilah landasan mengapa ulama melarang ikan asin
yang tidak dibuang kotoranya. Lantas, bagaimana dengan kebiasaan masyarakat
yang makan ikan asin, atau ikan pindang yang belum dibuang kotorannya? Padahal
proses pengasinan di beberapa tempat memiliki kesamaan, yaitu dengan ditumpuk dalam
satu wadah dengan tidak dibuang kotorannya.
Dalam hal ini, ada baiknya mengikuti ulama yang
menyatakan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya adalah suci,
termasuk kotoran ikan. Dari kalangan Syafi’iyah yang menyatakan demikian, di
antaranya Imam Isthahkhri dan Imam ar-Ruyani. Bahkan, menurut Imam Ramli
al-Kabir, tidak masalah memakan ikan besar bersama kotorannya, karena dalam
kalangan Syafi’iyah ada pendapat yang kuat bahwa ikan tidak memiliki darah. Ini
dibuktikan ketika ikan disentrongkan pada sinar matahari akan terlihat putih.
Pendapat ini senada dengan pendapat dari kalangan Malikiyah dan Ahmad.
Meskipun kita hukumi suci, sebaiknya kotoran hewan tidak
dimakan, mengingat ada aturan syariah yang menyatakan bahwa sesuatu yang
dinilai menjijikkan, walaupun suci, diharamkan untuk memakannya. Solusinya,
sebelum menggoreng ikan asin harap dibersihkan terlebih dahulu kotorannya.
Setidaknya, untuk menghindari khilaf di atas. Dan, bagi pengusaha ikan asin,
diharap membuang kotoran ikan yang terlihat besar sebelum proses pengasinan.
Tentu, dengan pembersihan tersebut, selain lebih higienis, secara hukum Islam
dapat diyakini kehalalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar