Sabtu, 02 April 2016

Mata Pencaharian

Makan Ikan Asin Bersama Kotorannya



Sampai saat ini, ikan asin menjadi konsumsi masyarakat umum yang hukumnya masih juga dibincangkan status hukumnya. Tulisan berikut sedikit memberikan solusi keagamaan mengenai hukum makan ikan asin.


Ikan asin merupakan daging ikan yang diawetkan dengan cara menambahkan banyak garam. Melalui proses pengawetan ini, daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat. Hal tersebut karena kristal-kristal garam akan menarik cairan sel dalam daging ikan keluar dari tubuhnya. Sementara itu partikel garam terus meresap masuk kedalam daging ikan.

Hukum ikan sendiri memang tidak begitu masalah, karena nashnya jelas dalam hadis Nabi bahwa ikan laut halal untuk dikonsumsi, walaupun dibeberapa jenis terdapat khilaf ditengah ulama. Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi ikan kering yang tidak dibuang kotorannya. Sebab, walaupun status ikan adalah halal, tapi kotorannya tetap najis dan benda najis tidak boleh dimakan. Inilah yang menjadi persoalan karena kebanyakan ikan asin tidak dibuang kotorannya. Lantas, bagaimana tinjauan fikih mengenai hal ini?

Sebenarnya, halal dan tidaknya ikan asin terkait erat dengan proses pengasinannya, terkait pula dengan kotoran didalamnya. Proses pengasinan ikan yang berkembang dimasyarakat cukup beragam, lebih dari satu cara. Tapi lumrahnya adalah dengan penggaraman kering (dry salting), yaitu ikan yang akan diolah ditaburi garam berbentuk kristal lalu disusun secara berlapis-lapis. Setiap lapisan ikan diselingi lapisan garam. Ada pula yang melalui penggaraman basah (wet salting), yaitu proses penggaramannya dengan menggunakan larutan garam sebagai media untuk merendam ikan. Untuk ukuran ikan, ikan besar atau sedang biasanya disiangi, yakni pembersihan sisik, insang, dan perut dibelah agar pengasinan menjadi sempurna, sedangkan ikan kecil seperti petek dan teri, biasanya hanya dicuci, kemudian diasinkan.

Nah, titik persoalannya adalah ada pada ikan sedang dan besar yang diasinkan tanpa membuang kotoran di perutnya. Untuk ikan-ikan kecil, tidak begitu masalah karena pembersihan isi perut sulit dilakukan sehingga masuk dalam kategori ma’fu ‘anhu. Tetapi, untuk ukuran ikan ukuran sedang dan besar tentu tidak sulit dilakukan pembersihan. Mengenai kecil dan besarnya ikan, dinilai dari pandangan uruf yakni pandangan masyarakat.

Pengasinan melalui proses demikian oleh Imam Nawawi Banten dijelaskan dalam kitab nihayatuz-zain-nya. Dalam kitab tersebut beliau memandang dari dua sisi, nanah yang keluar dari ikan akibat pembusukan kotoran dan kotoran dalam perut ikan. Dua hal inilah yang dihukumi najis oleh fikih. Menurut beliau, pengasinan ikan dengan cara ditumpuk di sebuah wadah dengan tanpa proses pembersihan terlebih dahulu menyebabkan ikan-ikan di dalamnya najis ‘ain yang tidak bisa disucikan, karena nanah masing-masing ikan saling mempengaruhi antar satu sama lain akibat nanah yang keluar dan merendam ikan yang terdapat didalam wadah. Karena itulah, ikan yang berada dibagian atas dihukumi suci.

Berbeda jika pengasinan dilakukan dengan penumpukan dalam tanah yang dihukumi suci karena nanah dapat meresap ke dalam tanah. Demikian pula jika dalam proses pengasinan dipisah-pisah antar satu sama lain, atau di iris terlebih dahulu untuk pembersihan darah pada ikan-ikan yang akan diasin.

Pemilahan ini hanya yang terkait dengan nanah yang keluar. Adapun kotoran yang masih terdapat dalam perut ikan, Imam Nawawi juga menghukumi ma’fu jika pada ikan-ikan kecil dan sulit dibersihkan. Akan tetapi, tetap makruh memakannya, sebagaimana juga pendapat Imam Nawawi dalam ar-raudhah-nya. Jika ikannya besar maka tidak boleh memakannya kecuali membuang terlebih dahulu kotoran dalam perutnya sebelum proses pengasinan, karena kotoran ikan dapat mempengaruhi dagingnya akibat proses pengasinan tersebut. Ini berbeda dengan telur ikan yang terdapat didalamnya yang tidak bisa terpengaruh oleh kotoran karena dipisah oleh kulit telur.

Seperti inilah landasan mengapa ulama melarang ikan asin yang tidak dibuang kotoranya. Lantas, bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang makan ikan asin, atau ikan pindang yang belum dibuang kotorannya? Padahal proses pengasinan di beberapa tempat memiliki kesamaan, yaitu dengan ditumpuk dalam satu wadah dengan tidak dibuang kotorannya.

Dalam hal ini, ada baiknya mengikuti ulama yang menyatakan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya adalah suci, termasuk kotoran ikan. Dari kalangan Syafi’iyah yang menyatakan demikian, di antaranya Imam Isthahkhri dan Imam ar-Ruyani. Bahkan, menurut Imam Ramli al-Kabir, tidak masalah memakan ikan besar bersama kotorannya, karena dalam kalangan Syafi’iyah ada pendapat yang kuat bahwa ikan tidak memiliki darah. Ini dibuktikan ketika ikan disentrongkan pada sinar matahari akan terlihat putih. Pendapat ini senada dengan pendapat dari kalangan Malikiyah dan Ahmad.


Meskipun kita hukumi suci, sebaiknya kotoran hewan tidak dimakan, mengingat ada aturan syariah yang menyatakan bahwa sesuatu yang dinilai menjijikkan, walaupun suci, diharamkan untuk memakannya. Solusinya, sebelum menggoreng ikan asin harap dibersihkan terlebih dahulu kotorannya. Setidaknya, untuk menghindari khilaf di atas. Dan, bagi pengusaha ikan asin, diharap membuang kotoran ikan yang terlihat besar sebelum proses pengasinan. Tentu, dengan pembersihan tersebut, selain lebih higienis, secara hukum Islam dapat diyakini kehalalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar