Tren Wisata Religi
Oleh: Thoriqul Islam
Belakangan,
wisata religi menjadi tren baru yang digandrungi banyak orang. Entah
siapa yamg membuat dan mempopulerkan istilah itu, yang jelas secara tiba-tiba
istilah “wisata religi” menjadi semacam kesepakatan yang tak terkatakan (ijma’
sukuti), yang diakui berbagai kalangan,
mulai dari para penyedia armada wisata, pengelola kawasan ziarah wali,
tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum, baik pedesaan maupun perkotaan.
Lalu,
apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini,
tampak jelas bagi kita bahwa wisata ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan
keagamaan dan memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah
perjalanan keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa
yang kering kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi ini bukan wisata
biasa yang hanya dimaksudkan untuk bersenang-senang, menghilangkan kepenatan
pikiran, semacam dengan pergi ke tempat hiburan.
Dengan
demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki
cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat
yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali
saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa religiusitas
kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu pemakaman para
wali, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah, atau tempat
apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki dalam wisata
religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.
Namun
sebagaimana diketahui secara umum, bahwa pada tataran praktis, masyarakat memahami dan menjalani wisata religi ini
hanya dengan cara berziarah dan mengunjungi makam-makam para wali saja, baik
wali songo maupun yang lain. Tentu saja ini telalu sempit untuk menjelaskan
wisata religi dalam tataran praktis.
Lalu
apakah wisata religi dengan mengunjungi makam para wali ini tidak tepat
sasaran? Tentu saja tidak demikian. Namun pertanyaannya adalah, apakah ziarah
wali yang dilakukan selama ini sudah memenuhi maksud dan tujuan yang semestinya wisata religi itu?.
Dalam
sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi disebutkan, bahwa Nabi
bersabda yang artinya,”Aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun
sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena hal itu bisa mengingatkan kalian
pada akhirat.” Dalam Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dicantumkan Hadis
yang artinya, “aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang,
lakukanlah ziarah kubur itu. Karena dalam ziarah kubur itu terdapat ibrah.”
Jadi,
apakah selama ini tampak jelas bagi kita bahwa tujuan ziarah kubur ini telah
tercapai dalam wisata religi yang kita jalani, sesuai dengan tujuan yang
direkomendasikan dalam Hadis di atas?, Adakah para peserta wisata religi
mengingat akhirat pada saat berkunjung
ke ziarah wali, dan mengalami peningkatan spiritual setelah ziarah itu?,
Dan seberapa banyak ibrah atau pelajaran yang diambil dari mengunjungi makam
para wali itu?.
Sepintas,
tanpa melihat masing-masing person peserta wisata religi, dari tampilan luar
kita melihat tujuan ini masih belum tercapai. Tampaknya wisata ke makam para
wali masih sebatas dijalani sebagai perjalanan biasa, untuk sekedar ingin tahu,
atau untuk memenuhi hajat duniawi, ngalap barakah dengan meletakkan botol air
mineral di sekeliling makam, dan semacamnya, dan sepertinya belum ada ibrah
apapun yang didapat dari kunjungan wisata religi ini, yang bisa membuat lebih
dekat kepada Allah, ingat mati, takut akan siksa kubur dan siksa neraka.
Buktinya,
rata-rata keadaan peserta wisata religi tak mengalami perubahan apapun dari
sebelum menjalanin perjalanan spiritual ini. Bahkan banyak yang ketika berada
di sekitar makam para wali tidak mengaji dan tidak membaca doa apapun, namun
hanya berkeliling di lokasi itu, berpose ria kesana kemari, berbelanja ini dan
itu, hanya makan-makan, hanya cengar-cengir dan cengengesan, menikmati keunikan
budaya lokal, dan semacamnya.
Bahkan,
kini rata-rata lokasi makam para wali lebih mengesankan lokasi pasar ketimbang
lokasi pemakaman, sehingga suasana ini jelas sangat berpengaruh terhadap
suasana kejiwaan dan rasa yang ditangkap oleh para pengunjung. Padahal dalam
wisata religi, mestinya suasana kejiwaan dan kesan spiritual sangat penting.
Maka dari itu wajar jika di sini mereka tak menangkap suasana sakral sama
sekali. Lalu bagaimana bisa para pengunjung akan mengingat akhirat, berpikir
tentang kematian, dan mengambil pelajaran dari orang yang sudah meninggal?.
Dari
sini bisa disimpulkan, bahwa betapapun tren wisata religi yang tengah
berkembang dewasa ini adalah baik, namun bukan berarti ini telah benar-benar
sejalan dengan semestinya. Karena itu, tradisi ini masih harus menjalani proses
yang cukup panjang, dan memerlukan perbaikan-perbaikan dan koreksi, agar bisa
sesuai dengan tujuan wisata religi yang sebenarnya. Untuk itu, berbagai elemen
masyarakat yang terlibat perlu melakukan pembenahan-pembenahan, baik pihak yang
menangani tempat tujuan wisata religi maupun pihak yang mengunjunginya.
Di
sini penulis mengajukan sedikit usulan, bahwa alangkah sebaiknya jika dalam
wisata religi ini pembimbing atau ketua rombongan tidak hanya mengantar peserta
rombongan ke lokasi makam, dan bahkan tidak hanya sekedar memimpin bacaan
tahlil, akan tetapi ketua rombongan berperan semacam pembimbing jamaah haji.
Jadi
di sini, sebelumnya ketua rombongan juga perlu menerangkan apa tujuan
sebenarnya ke makam para wali ini, kenapa kita perlu ziarah, dan seterusnya.
Saat di lokasi makam wali, ia juga perlu menerangkan sekilas tentang perjuangan
dakwah wali bersangkutan, sejarahnya, rintangan-rintangan yang dihadapinya, dan
seterusnya. Setelah itu, ia juga perlu menerangkan kepada rombongan mengenai
hikmah apa yang bisa dipetik dari perjalanan ziarah wali ini, serta apa saja
yang perlu dilakukan oleh peserta ziarah setelah melakukan perjalanan ini.
Dengan
demikian, tentu akan ada sesuatu yang berbeda yang bisa ditangkap dan dirasakan
oleh para peserta ziarah wali atau wisata religi ini, baik pada saat mereka
berangkat, ketika berada di lokasi, maupun setelah usai dari perjalanan ini.
Karena perjalanan religi hanya bisa berarti jika si pelaku sudah memahami arti
yang dikehendaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar