Perlukah Jihad Hari
ini ??
(Analisis Statement
Muhammad Syahrur tentang Jihad)
Oleh : Thoriqul Islam
Pada tahun
1994, percetakan al-Ahali
menerbitkan buku Dirasat
Islamiyyah Mu’as}irah fi} ad-Daulah wa al-Mujtama’. Buku
yang terdiri dari 375
halaman yang dibagi
dalam sembilan bab
pembahasan ini berisi
tema-tema sentral seperti
al-Usrah, al-Ummah, as}-S}a‘ab, ad-Dimuqrat}iyyah wa
ash-Shura, ad-Daulah, dan al-Jihad. Buku ini sudah
diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri al-Qudsy dan Badrus Syamsul Fata menjadi “TIRANI
ISLAM, Genealogi Masyarakat dan Negara.” dan diterbitkan LKiS Yogyakarta
pada tahun 2003. Penulisnya adalah Muhammad Syahrur, cendekiawan liberal yang
lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Pendidikan dasar dan menengahnya
di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat tahun
1957. Kemudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah
mada>niyah) di Moskow, Uni Sovyet, pada Maret 1957. Berhasil meraih
gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964. Kemudian pada tahun berikutnya
bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia
dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia – Ireland National University –
untuk emmperoleh gelar Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika
Pertanahan dan Fondasi, sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya
pada 1969 dan gelar Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrur
masih mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang
Mekanika Pertanahan dan Geologi.
Sebagaimana
bukunya yang lain, pembahasan dalam buku Dirasat Islamiyyah Mu’as}irah
fi} ad-Daulah wa al-Mujtama’, tersebut berisi pernyataan yang berisi perang
pemikiran untuk mendekontruksi syariat Islam. Diantaranya, ketika membahas jihad,
Syahrur menulis, “Tanzil Hakim telah menetapkan kebebasan memilih (berikhtiar)
dan menjalankan hubungan dialektis antara kekafiran dan keimanan, sebagai dua
hal yang tidak mungkin saling menegasikan. Dengan bahasa lain, tidak mungkin
menghilangkan kekafiran, lalu menjadikan seluruh penduduk di muka bumi ini untuk beragama Islam.”
Ada tiga
masalah yang bisa kita tangkap dari pernyataan di atas; Pertama, kebebasan
memilih. Kedua, menjalankan hubungan dialektis dengan orang kafir, dan ketiga,
kekafiran dan keimanan tidak mungkin saling menegasikan; yang ini nanti
berimplikasi pada tidak relevannya aplikasi jihad. Atau dengan kata lain, jihad
itu tidak perlu. Hal ini diungkapkan dengan jelas oleh Syahrur. Tulisnya, “Ayat-ayat –jihad-
tersebut bersifat temporal, yang berkaitan dengan Jihad Nabi Muhammad pada
permulaan awal-awal dakwah beliau, maka ia habis masa berlakunya bersamaan
dengan habisnya masa beliau.”
Pemikiran
Muhammad Syahrur di atas sangat lemah, tak berhujah dan mudah dibantah. Karena, jika jihad hanya bersifat temporal,
akan ada banyak ayat dan hadis yang menjelaskan tentang kewajiban jihad itu dengan
sendiri terhapus. Padahal Allah SWT pernah berfirman, “Wahai Nabi, berjihadlah
(melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.” (Qs. Taubah: 73). Perintah ini memang untuk Nabi, tetapi juga
berlaku untuk kita selaku umatnya. Dan tempo pensyariatan jihad pun berlaku
hingga hari kiamat kelak, karena Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Jihad itu senantiasa berjalan sejak Allah mengutusku sampai
umatku yang terakhir memerangi Dajjal, tidak akan bisa dibatalkan oleh
kejahatan orang yang jahat dan keadilan orang yang adil.” (Sunan Abi Daud, II/152).
Bahkan, para
ulama berpendapat bahwasanya kekafiran adalah sebab pokok
peperangan. Dengan demikian berarti dasar hubungan antara kaum muslimin dengan
orang kafir adalah hubungan permusuhan (perang). Oleh karena itu
para ulama menyatakan bahwasa jihad itu hukumnya wajib, meskipun mereka tidak
memulai menyerang kita. Jumhur Ulama mengatakan fard}u kifayah
meskipun ada juga yang berpendapat fard}u ‘ain. Dalam kondisi jihad fard}u
kifayah, Jumhur Ulama berpendapat minimal satu tahun sekali dan
lebih banyak lebih baik. Namun demikian, imam boleh mengadakan hubungan damai
dengan kelompok tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu jika hal itu
diperlukan. Namun jika tidak ada kebutuhan untuk itu maka imam tidak boleh
mengadakan genjatan senjata begitu saja tanpa adanya keperluan. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat, hal itu diperbolehkan jika dalam kondisi darurat.
Dr. Abdulloh
bin Ibrohim bin Ali At-Thuroiqi berkata, “Alasan bolehnya (memerangi
orang kafir meskipun mereka tidak memerangi) adalah nas secara umum yang
memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir secara umum, menunjukkan bahwa
semua orang kafir -selain ahlul ‘ahdi-
setelah sampai kepadanya dakwah, darahnya menjadi mubah} dan
tidak maks}um.” Dan hal ini telah dinyatakan
oleh Jumhur Ulama.
Karena,
sesungguhnya menjadikan agama hanya untuk Allah itu artinya sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qoyyim: Menjadikan kekafiran dan penganutnya rendah dan
hina, serta membebani mereka dengan membayar pajak untuk setiap anggota
keluarga dan budak mereka. Inilah bagian dari agama Allah dan tidak ada yang
bertentangan dengan ini kecuali membiarkan mereka mulia dan memeluk agama
mereka dengan sesuka mereka dengan tetap memiliki kekuatan dan suara.
Ini adalah
pendapat Imam Syafi’I dan apa yang terpahami dari perkataan para ulama fiqh
dari madzhab Maliki, madzhab Hanbali dan yang lainnya. Dan menurut mazhab
Syafi’I dan Ibnu Taimiyyah bahwasannya kekafiran itu penyebab diperbolehkanya
perang bukan sebab diwajibkannya perang. Ulama kontemporer seperti Syaikh Salman
Hamdan dan Dr. Abdul Karim Zaidan juga berpendapat demikian.
Ada banyak dalil
yang dijadikan landasan untuk memerangi orang kafir secara keseluruhan tanpa
menyebutkan alasan kenapa mereka diperangi kecuali hanyalah karena kekafiran
mereka belaka. Diantaranya;
1. Firman
Allah yang
artinya: “Dan perangilah orang-orang kafir secara keseluruhan sebagaimana
mereka memerangi kalian secara keseluruhan”. (QS. At-Taubah :36)
2. Firman
Allah yang
artinya: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu
hanyalah untuk Allah”. (QS. Al-Baqoroh :193)
Ualam ahli
tafsir menafsirkan “fitnah” dengan kekafiran, artinya perangilah mereka sampai
tidak ada kekafiran. (Tafsir al Qur’ani al ‘Azhim :
I/119).
Ibnul
‘Arobi ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Masalah kedua adalah
bahwasanya sebab disyari’atkannya pembunuhan itu adalah kekafiran sebagaimana
yang disebutkan dalam ayat ini, karena Allah berfirman sampai tidak ada fitnah.
Dengan demikian Allah menjadikan tujuannya adalah hilangnya kekafiran secara
nas dan Allah menerangkan dalam ayat ini bahwasanya sebab pembunuhan yang
menjadikan diperbolehkannya berperang adalah kekafiran”. (Ahkamul Qur’an:
I/109).
3.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi
wasallam bersabda, yang artinya: “Apabila kamu menjumpai musuhmu dari
orang-orang musyrik maka tawarkanlah kepada mereka tiga perkara, mana saja yang mereka pilih
terimalah dan jangan ganggu mereka.” (HR. Abu Dawud).
Jadi,
para ulama berpendapat bahwa jihad itu hukum asalnya fard}u kifayah
dan bisa menjadi fard}u ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu. Dan tidak
seorang pun yang mengatakan sunnah atau bahkan mubah. Jadi dengan demikian,
jihad itu hukumnya hanya berkisar antara fard}u kifayah dan fard}u
‘ain saja. Dan ini berlaku hingga hari kiamat kelak.
Sebagai penutup, cukup bagi kita, apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah, “Agama yang benar harus mempunyai kitab
yang memberi petunjuk dan pedang yang
memberikan pertolongan.” Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar