Minggu, 03 Januari 2016

Perlukah Jihad Hari ini ?? (Analisis Statement Muhammad Syahrur tentang Jihad)


Perlukah Jihad Hari ini ??
(Analisis Statement Muhammad Syahrur tentang Jihad)
Oleh : Thoriqul Islam

Pada  tahun  1994,  percetakan  al-Ahali  menerbitkan  buku Dirasat Islamiyyah Mu’as}irah fi} ad-Daulah wa al-Mujtama’.  Buku  yang terdiri  dari  375  halaman  yang  dibagi  dalam  sembilan  bab  pembahasan ini berisi  tema-tema  sentral  seperti  al-Usrahal-Ummahas}-S}a‘ab, ad-Dimuqrat}iyyah wa ash-Shura, ad-Daulah, dan al-Jihad. Buku ini sudah diterjemahkan oleh Saifuddin Zuhri al-Qudsy dan Badrus Syamsul Fata menjadi TIRANI ISLAM, Genealogi Masyarakat dan Negara.” dan diterbitkan LKiS Yogyakarta pada tahun 2003. Penulisnya adalah Muhammad Syahrur, cendekiawan liberal yang lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus, dan tamat tahun 1957. Kemudian mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah mada>niyah) di Moskow, Uni Sovyet, pada Maret 1957. Berhasil meraih gelar Diploma dalam teknik sipil pada 1964. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia – Ireland National University – untuk emmperoleh gelar Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi, sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada 1969 dan gelar Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrur masih mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Geologi.
Sebagaimana bukunya yang lain, pembahasan dalam buku Dirasat Islamiyyah Mu’as}irah fi} ad-Daulah wa al-Mujtama’, tersebut berisi pernyataan yang berisi perang pemikiran untuk mendekontruksi syariat Islam. Diantaranya, ketika membahas jihad, Syahrur menulis, “Tanzil Hakim telah menetapkan kebebasan memilih (berikhtiar) dan menjalankan hubungan dialektis antara kekafiran dan keimanan, sebagai dua hal yang tidak mungkin saling menegasikan. Dengan bahasa lain, tidak mungkin menghilangkan kekafiran, lalu menjadikan seluruh penduduk di muka bumi  ini untuk beragama Islam.”
Ada tiga masalah yang bisa kita tangkap dari pernyataan di atas; Pertama, kebebasan memilih. Kedua, menjalankan hubungan dialektis dengan orang kafir, dan ketiga, kekafiran dan keimanan tidak mungkin saling menegasikan; yang ini nanti berimplikasi pada tidak relevannya aplikasi jihad. Atau dengan kata lain, jihad itu tidak perlu. Hal ini diungkapkan dengan jelas oleh Syahrur. Tulisnya,  Ayat-ayat –jihad- tersebut bersifat temporal, yang berkaitan dengan Jihad Nabi Muhammad pada permulaan awal-awal dakwah beliau, maka ia habis masa berlakunya bersamaan dengan habisnya masa beliau.”
Pemikiran Muhammad Syahrur di atas sangat lemah, tak berhujah dan mudah dibantah.  Karena, jika jihad hanya bersifat temporal, akan ada banyak ayat dan hadis yang menjelaskan tentang kewajiban jihad itu dengan sendiri terhapus. Padahal Allah SWT pernah berfirman, “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.(Qs. Taubah: 73). Perintah ini memang untuk Nabi, tetapi juga berlaku untuk kita selaku umatnya. Dan tempo pensyariatan jihad pun berlaku hingga hari kiamat kelak, karena Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Jihad itu senantiasa berjalan sejak Allah mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal, tidak akan bisa dibatalkan oleh kejahatan orang yang jahat dan keadilan orang yang adil.” (Sunan Abi Daud, II/152).
Bahkan, para ulama berpendapat bahwasanya kekafiran adalah sebab pokok peperangan. Dengan demikian berarti dasar hubungan antara kaum muslimin dengan orang kafir adalah hubungan permusuhan (perang). Oleh karena itu para ulama menyatakan bahwasa jihad itu hukumnya wajib, meskipun mereka tidak memulai menyerang kita. Jumhur Ulama mengatakan fard}u kifayah meskipun ada juga yang berpendapat fard}u ‘ain. Dalam kondisi jihad fard}u kifayah, Jumhur Ulama berpendapat minimal satu tahun sekali dan lebih banyak lebih baik. Namun demikian, imam boleh mengadakan hubungan damai dengan kelompok tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu jika hal itu diperlukan. Namun jika tidak ada kebutuhan untuk itu maka imam tidak boleh mengadakan genjatan senjata begitu saja tanpa adanya keperluan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat, hal itu diperbolehkan jika dalam kondisi darurat.
Dr. Abdulloh bin Ibrohim bin Ali At-Thuroiqi berkata, “Alasan bolehnya (memerangi orang kafir meskipun mereka tidak memerangi) adalah nas secara umum yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir secara umum, menunjukkan bahwa semua orang kafir -selain ahlul ‘ahdi- setelah sampai kepadanya dakwah, darahnya menjadi mubah} dan tidak maks}um. Dan hal ini telah dinyatakan oleh Jumhur Ulama.
Karena, sesungguhnya menjadikan agama hanya untuk Allah itu artinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim: Menjadikan kekafiran dan penganutnya rendah dan hina, serta membebani mereka dengan membayar pajak untuk setiap anggota keluarga dan budak mereka. Inilah bagian dari agama Allah dan tidak ada yang bertentangan dengan ini kecuali membiarkan mereka mulia dan memeluk agama mereka dengan sesuka mereka dengan tetap memiliki kekuatan dan suara.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan apa yang terpahami dari perkataan para ulama fiqh dari madzhab Maliki, madzhab Hanbali dan yang lainnya. Dan menurut mazhab Syafi’I dan Ibnu Taimiyyah bahwasannya kekafiran itu penyebab diperbolehkanya perang bukan sebab diwajibkannya perang. Ulama kontemporer seperti Syaikh Salman Hamdan dan Dr. Abdul Karim Zaidan juga berpendapat demikian.
Ada banyak dalil yang dijadikan landasan untuk memerangi orang kafir secara keseluruhan tanpa menyebutkan alasan kenapa mereka diperangi kecuali hanyalah karena kekafiran mereka belaka. Diantaranya;

1.      Firman Allah yang artinya: “Dan perangilah orang-orang kafir secara keseluruhan sebagaimana mereka memerangi kalian secara keseluruhan”. (QS. At-Taubah :36)
2.      Firman Allah yang artinya: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu hanyalah untuk Allah”.  (QS. Al-Baqoroh :193)

Ualam ahli tafsir menafsirkan “fitnah” dengan kekafiran, artinya perangilah mereka sampai tidak ada kekafiran. (Tafsir al Qur’ani al ‘Azhim : I/119).
Ibnul ‘Arobi ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Masalah kedua adalah bahwasanya sebab disyari’atkannya pembunuhan itu adalah kekafiran sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini, karena Allah berfirman sampai tidak ada fitnah. Dengan demikian Allah menjadikan tujuannya adalah hilangnya kekafiran secara nas dan Allah menerangkan dalam ayat ini bahwasanya sebab pembunuhan yang menjadikan diperbolehkannya berperang adalah kekafiran”. (Ahkamul Qur’an: I/109).

3.      Dalam sebuah hadis, Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Apabila kamu menjumpai musuhmu dari orang-orang musyrik maka tawarkanlah kepada mereka  tiga perkara, mana saja yang mereka pilih terimalah dan jangan ganggu mereka.” (HR. Abu Dawud).
Jadi, para ulama berpendapat bahwa jihad itu hukum asalnya fard}u kifayah dan bisa menjadi fard}u ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu. Dan tidak seorang pun yang mengatakan sunnah atau bahkan mubah. Jadi dengan demikian, jihad itu hukumnya hanya berkisar antara fard}u kifayah dan fard}u ‘ain saja. Dan ini berlaku hingga hari kiamat kelak.
Sebagai penutup, cukup bagi kita, apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Agama yang benar harus mempunyai kitab yang memberi petunjuk dan pedang  yang memberikan pertolongan.  Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar