Senin, 23 November 2015

Nisaiyah

Kontribusi Muslimah bagi Peradaban


Ibu bagaikan sekolah, bila anda mempersiapkannya secara baik, berarti anda telah mempersiapkan generasi bangsa dengan integritas kepribadian yang baik.”
(‘Abbas Kararat)

Ungkapan ‘Abbas Kararat diatas, sebagaimana yang dinukil oleh Syeikh Mansur Rifa’i ‘Abid dalam bukunya yang berjudul Al-Mar atu Madhiha wa Hadhiruha, mengisyaratkan betapa pentingnya peran wanita atau ibu bagi majunya generasi. Generasi yang maju pada akhirnya akan berimplikasi terhadap majunya sebuah peradaban. Adalah wanita al-madrasatu al-ula  yang menanamkan akhlak dan kepribadian kepada anak-anak mereka. Wanita yang mengenalkan kepada mereka hakikat tugas manusia dimuka bumi ini, yakni menjadi khalifatullah. (‘Abid, 2000: 9)

Kedudukan Wanita dalam Islam

Islam hadir memupuskan budaya Arab Jahiliyyah. Fanatisme kesukuan yang sebelumnya begitu kokoh perlahan pudar hingga kemudian terusir. Kedudukan wanita yang berada dibawah kezaliman seperti boleh diwariskan, dikungkung paksa dan boleh diperjual-belikan berubah menjadi mulia dan terhormat. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa kedudukan antara laki-laki dan wanita sama, keduanya mendapat perlakuan yang sama sesuai batas kemampuan dan kodrat masing-masing. Inilah sebuah undang-undang bijak yang telah membebaskan wanita dari perbudakan Jahiliyah menuju kemerdekaan Islam, dari jurang kehinaan, kenistaan, ketidakberdayaan menuju martabat kehormatan, kemuliaan dan kemerdekaan.
Al-Qur’an membahasakan istilah “wanita” setidaknya dalam tiga kalimat, yaitu imra’ah, an-nisa’ dan al-untsa. Kalimat imra’ah diulang sebanyak 26 kali, kalimat an-nisa’ sebanyak 56 kali dan kalimat al-untsa sebanyak 30 kali. Istilah lain yang artinya menunjukkan kepada jenis wanita dan predikat wanita adalah az-zauj, al-bint dan al-umm jamaknya al-ummahat. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut membahas hal-hal yang berkenaan dengan wanita, diantaranya adalah tentang proses penciptaan wanita, warisan, sanksi hukum, hak dan tanggungjawab wanita dalam keluarga, contoh wanita yang baik dan tidak baik dan lain sebagainya. (Muhith, 2010: 9)
Senada dengan banyaknya penjelasan Al-Qur’an mengenai wanita, Rasulullah SAW. dalam hadist-hadist yang diriwayatkan oleh sahabat juga membahas hal-hal yang berkenaan dengan wanita. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Ibnu Majah berikut yang menjelaskan betapa mulianya seorang ibu:
حدثنا بهز بن حكيم عن أبيه عن جده رضي الله عنهم قال: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ أُمَّكَ. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمَّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمَّكَ. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ. (أخرجه البخاري وابن ماجه)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Bahaz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahuanhum, ia berkata: “Saya bertanya wahai Rasulullah saw. kepada siapa saya berbuat baik?” Nabi menjawab: “Kepada ibumu.” Aku berkata: “Setelah itu?” “Kepada ibumu”. Aku berkata:“Setelah itu?” “Kepada ibumu”. Aku berkata:“Setelah itu?” “Kepada ayahmu, kemudian karib kerabat yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Bukhari dan Ibn Majah) (As-‘Asqalani,2002:264)
HAMKA dalam bukunya yang berjudul “Kedudukan Perempuan dalam Islam” mengambil kesimpulan bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas perempuan, rumah-tangga dan peraturan hidup, wanita dipandang sebagai bagian yang sama pentingnya dengan laki-laki. Persamaan ini berkenaan dengan tanggungjawab beragama, mengokohkan akidah dan ibadaat serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Kesadaran wanita akan tanggungjawab tersebut akan menumbuhkan harga diri yang tinggi dan timbul ilham perjuangan. Namun disisi lain, Islam juga memahami dan menjaga kondisi fisik wanita hingga ia tidak dibebani hal yang tidak dapat dipikulnya. Islam menjelaskan bahwa meskipun laki-laki dan wanita sama-sama berhak dan berkewajiban, tapi pekerjaan dan tanggungjawab perlu dibagi. Pembagian sesuai syari’at dengan tujuan untuk mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah dan tercapainya keluarga Islami yang berperan serta untuk kejayaan Islam. (HAMKA, 1996: 8-11)
Wanita berperan sebagai Syaqaaiqu ar-Rijaal (partner laki-laki) dalam mengemban amanah khalifatullah di muka bumi ini.  Partner terdiri dari dua pihak yang berbeda tetapi saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain, mempunyai tujuan sama yang ingin dicapai yakni kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Fungsi manusia menjadi khalifatullah baik laki-laki maupun wanita membawa beberapa konsekuensi. Pertama, manusia secara kodrati akan berusaha dan berkembang hingga mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari pengelolaan mereka terhadap bumi. Kedua, perbedaan kodrati antara laki-laki dan wanita akan menuai peran yang berbeda. Maka harus ada sinergi antara keduanya dan saling melengkapi agar memperoleh manfaat yang maksimal. Ketiga, hakikat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah) menyebabkan adanya hak asasi yang menjadi hak manusia, yang integral dan inheren dari kemanusiaan itu sendiri. Keempat, wanita memiliki hak-hak khusus disamping hak-hak manusia secara umum karena mereka mengemban peran-peran tertentu yang tidak bisa digantikan kaum laki-laki.(Munir, 1999: 54-55)

Tokoh Muslimah dalam Sejarah 

Muslimah dan dakwah, sejak awal mula munculnya Islam, Siti Khadijah adalah orang pertama yang mengakui kebenaran Islam dan masuk dalam jajaran as-Sabiqunal Awwalun. Selain itu, ada beberapa wanita yang telah masuk Islam karena dorongan dan kesadaran akal mendahului kaum laki-laki. Mereka adalah Ummu Habibah, Ummul Fadhl, Lubabah binti Harits al-Hilaliyah, Aminah binti Khalaf bin As’ad, Asma’ binti Abu Bakar, Sayyidah ‘Aisyah, Sayyidah Ummu Habibah binti Abu Sufyan al-Umawiyah, Asma binti Umais, Fathimah binti Shafwan, Ramlah binti Auf dan lain sebagainya. Sedangkan dari kalangan wanita budak lemah yang masuk Islam karena keikhlasan dan kesadaran penuh adalah Sumayyah ibu Ammar, Ummu Ubais, Zanirah, Nahdiyah dan Hamamah ibu Bilal. Bahkan orang yang syahid pertama kali adalah Sumayyah ibu Ammar.
Muslimah modern telah bergerak dalam bentuk organisasi Islam yang memfokuskan sasarannya dalam bidang dakwah. Ini merupakan bukti bahwa muslimah zaman ini telah menyadari pentingnya peran serta mereka dalam perjuangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Jamaah Sayidat Muslimat yang didirikan oleh Zainab Al-Ghazali pada tahun 1936 M / 1357 H di Mesir. Ia lahir di wilayah Al-Bukhaira, Mesir pada tahun 1917. Ia terkenal sebagai aktivis Islam yang begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Gerakan ini berjalan berdampingan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, membahas persoalan-persoalan kaum muslimin dan berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam dan akidah umat ini.(Qazan, 2001: 184)
Muslimah dan politik, wanita sudah berperan serta dalam dunia politik sejak awal mula datangnya Islam. Wanita menjadi bagian dari rombongan Madinah yang mengikuti bai’ah Aqabah kedua. Adapun wanita yang baik langsung atau tidak langsung turut berkiprah dalam dunia politik adalah Siti Fatimah putri Nabi turut serta dalam menyumbangkan ide dan gagasannya pada masa pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq, Siti ‘Aisyah memimpin pasukan dalam jumlah besar yang terdiri dari para sahabat dan tabi’in dalam perang Jamal. Nailah binti Al-Farafishah, istri Umar bin Khattab yang mendampingi, memotivasi dan menyumbangkan ide kepada sang suami dalam banyak hal. Serta masih banyak tokoh-tokoh wanita yang berpengaruh seperti Zubaidah istri Harun Ar-Rasyid, Syajaratud ad-Dur, Ummu Salamah istri As-Safah, Qathrunnada ibu khalifah Al-Muqtadir serta enam ratu dalam daulah Fathimiyyah. Dunia modern,  juga telah  mencatat nama-nama pemimpin wanita yang relatif sukses seperti Indira Gandhi, Margaret Tatcher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Buttho dan Syaikh Hasina Zia. (Ziyadah, 2001: 11-16)
Muslimah dan ilmu, Adalah Sayyidah ‘Aisyah sosok ahlu al-Qur’an, ahli hadist dan ahli fiqh yang telah memiliki kontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada masa sahabat. Ia menjadi salah satu rujukan bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi sahabat saat itu. Peran ‘Aisyah yang besar ini menurut Syeikh Sa’id setidaknya karena adanya tiga faktor, yaitu karena ia hidup dan dibesarkan dengan lingkungan bernafaskan Islam dan mulia, ia mendampingi Nabi dalam perjuangan dakwah dan terakhir karena pengetahuannya yang luas tentang sejarah bangsa Arab. Az-Zuhri mengatakan: “Seandainya dibandingkan antara ilmu ‘Aisyah dengan ilmu istri-istri Nabi yang lain beserta seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih banyak”.( Ad-Dakhil, 1989: 57-80)
Tokoh muslimah ‘alimah lain adalah Hafsah binti Sirin, sang hafidzah al-Qur’an dan ahli dalam ilmu faroidh, ilmu nahwu, ilmu fiqh madzhab Syafi’i dan cabang-cabang ilmu lain. Selain itu Maulah binti Umamah, Robi’ah al-Adawiyah, Ummu ‘Isa binti Ibrahim al-Harby, Ruqoyyah binti Afif ‘Abdussalam, Ummu ‘Isa Maryam binti Ahmad, Fatimah al-Baghdadiyah, Zainab binti Al-Kamal, Nasywan al-Kinaniyah dan lain sebagainya. (Al-Haji, tt.: 317-325)
Muslimah dan seni, muslimah ahli syair diantaranya adalah al-Khansa binti Amru, Fathimah az-Zahra, Shofiyah binti ‘Abdul Mutholib, Sayyidah ‘Aisyah,  ‘Atikah istri Umar bin Khattab, ‘Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah, Ummu ‘Aisyah al-Ba’uniyah dan Maryam binti Abi Ya’qub al-Anshori. Sedangkan orator muslimah diantaranya adalah Fathimah az-Zahra, Hafshah binti Umar dan Sakinah binti al-Husain. (Al-Haji, tt.: 383-398)

Muslimah, Ilmu dan Peradaban

            Islam menetapkan bahwa peran utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ia menjadi al-Madrasah al- Ula bagi anak-anaknya. Allah menciptakan wanita dengan kemampuan reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh kaum laki-laki. Meskipun banyak aktivitas lain yang dibebankan kepada wanita, tetapi haruslah baginya menjalankan fungsi sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kewajiban ini adalah sebuah  amanah yang mulia dan penting bagi umat, karena kemajuan umat berangkat dari berhasilnya organisasi terkecil yakni sebuah keluarga.
Seorang wanita berperan penuh terhadap tanggungjawab yang besar ini, ia mencetak generasi umat mendatang. Wanita diibaratkan sebagai tiang dan pondasi sebuah rumah karena begitu penting perannya dalam sebuah keluarga. Kasih sayangnya adalah nutrisi batin  dan penyemangat bagi anak-anaknya. Bagi suami, istri bukan sebatas mitra (syarikah) tetap lebih dari itu, ia adalah sahabat (shahibah). Mengingat begitu pentingnya peran seorang wanita, Maisar Yasin berpendapat bahwa kewajiban yang harus didahulukan oleh seorang muslimah adalah menuntut ilmu. Ilmu yang diutamakan adalah ‘ulumuddin, pendidikan akhlak, ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tabiat, tugas dan kewajiban wanita dalam hidupnya serta pengetahuan tentang perkembangan dan tantangan zaman. Ini sangat penting untuk menjadikan mereka seorang ibu yang siap menjalankan kewajibannya terhadap keluarga. Ilmu merupakan bekal utama untuk membentuk mereka menjadi sosok ibu yang siap mendidik, mengarahkan dan mencetak generasi Rabbani yang beradab. (Yasin, 1997:45-46)
Pada akhirnya, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa pembinaan suatu peradaban yang kuat harus bermula dari ibu yang berilmu pengetahuan dan yang peka terhadap nilai-nilai penting kemanusiaan serta perkembangan dan tantangan zaman. Ibu yang sadar akan kewajibannya kepada Tuhan dan sadar akan pentingnya perannya bagi keluarga  hingga akhirnya bisa membawa keluarganya kepada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bisshowaab...



Referensi:

Fatimah Huda Naja,  Al-Mustasyriqun wa al-Mar ah al-Muslimah, (Daar al-Iman, 1991)
HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996)
Ibn Hajar As-‘Asqalani, Bulugh Al-Maram min Adillati al-Ahkam, (Jakarta: Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2002)
Nur Faizin Muhith, Perempuan Ditindas atau Dimuliakan? Menguak Rahasia-rahasia Wanita dalam Al-Qur’an, (Solo: Indiva Media Kreasi, 2010)
Muhammad Umar al-Haji, An-Nisaau Syaqaaiqu ar-Rijal, (Damaskus: Daar al-Maktabi, tt.)
Lily Zakiyah Munir, “Hak Asasi Perempuan dalam Islam: Antara Idealisme dan Realitas” dalam Lily Zakiyah Munir (ed), Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999)
Asma’ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam terj. Kathur Suhadi (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001)
Shalah Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan terj. Khazin Abu Fakih  (Solo: Era Intermedia, 2001)
Maisar Yasin, Wanita Karier dalam Perbincangan diterjemahkan oleh Ahmad Thabroni Mas’udi, (Jakarta: Gema Insani, 1997)
Syeikh Sa’id Fayaz ad-Dakhil, Mausu’atu Fiqhi ‘Aisyah Ummu al-Mukminin Hayatuha wa Fiqhuha, (Beirut: Daar an-Nafais, 1989)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar