Senin, 24 Oktober 2016

Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Apa reaksi Anda ketika misalkan Anda atau orang-orang terdekat Anda dihina? Atau bahkan harta yang Anda miliki dirampas semena-mena? Tentu Anda akan membela diri dan bahkan membalas penghinaan itu.

Lalu, apabila misalkan ajaran agama kita diinjak-injak, diremehkan, dan dilanggar oleh pemeluknya sendiri, bagaimana reaksi kita? Jawabannya tidak semua orang akan membela agamanya. Bahkan cenderung menutup mata dan acuh tak acuh.

Ini adalah krisis agama yang memprihatinkan, dan ini telah banyak menimpa mayoritas umat Islam. Kesadaran untuk membela ajaran agama dengan amar ma’rûf nahi munkar semakin tipis dalam keberagamaan kita.

Maka, jangan heran jika kita melihat terjadinya krisis multidimensi di tengah-tegah umat. Ajaran Islam, mulai yang terkait dengan aturan ibadah mahdhah sampai yang ghairu mahdhah telah tinggal namanya saja, tanpa ada implementasi nyata. Orang-orang sibuk dengan urusan dunia masing-masing, tanpa memikirkan agamanya.

Oleh karena itu, doktrin Islam berupa amar ma’ruf nahi munkar perlu kita tegakkan kembali. Kaum Muslimin jamaah Jum’at, kali ini kita akan sedikit mengkaji tentang amar ma’rûf nahi munkar dengan merujuk pada kitab an-Nashâ’ihud-Dîniyyah wal-Washâya al-Zamâninyyah, karya al-Quthb al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.

Amar Ma‘ruf adalah Syiar Agama
Ketahuilah amar ma’ruf nahi munkar menempati posisi urgen dalam agama. Ia adalah sebagai syiar dan tonggak agama. Dengan tegaknya amar ma’rûf, ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan baik di tengah-tengah pemeluknya. Sebaliknya, jika diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Dan ujung-ujungnya, krisis multidimensi akan menimpa umat, hak-hak umat banyak yang tidak terpenuhi, kebenaran akan kabur dan kebatilan akan tampak.

Allah I di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya r telah menjelaskan pentingnya amar ma’rûf nahi munkar. Antara lain dalam QS Ali Imran [03]: 104, yang artinya,  Dan hendaklah ada di antarakamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Yang dimaksud kebajikan ialah ‘keimanan dan ketaatan’. Sedangkan yang dimaksud ma‘rûf ialah ‘setiap apa yang yang diperintahkan Allah I untuk dilaksanakan, dan Allah I senang hamba-Nya melaksanakannya’. Lalu yang dimaksud dengan munkar ialah ‘setiap apa yang tidak disukai Allah I untuk dikerjakan, dan Allah I senang jika hamba-Nya meninggalkannya’.

Rasulullah r bersabda yang artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya (kekuasaanya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu (lagi), maka ingkar dengan hatinya. Dan demikian ini (ingkar dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman.

Dalam Hadis lain disebutkan, Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh hendaknya kalian memerintahkan ma‘rûf, dan sungguh kalian menghentikan munkar. Dan (jika tidak), sungguh kalian disiksa dengan tangan orang yang lalim, atau sungguh Allah akan mengirimkan siksa kepada kalian dari sisi-Nya.

Antara Agama dan Harga Diri
Amar ma‘rûf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalkan dengan alasan: “Jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar, orang-orang tidak akan peduli,” atau “Saya akan mendapat celaan atau ancaman jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar.” Alasan-alasan semacam ini hanya timbul dari jiwa yang tidak mempunyai ghirah (kecemburuan) pada agamanya.

Sungguh mengherankan, jika misalkan harga diri seseorang atau kerabat dekatnya dihina orang lain, atau harta bendanya diambil secara sewenang-wenang, maka tentu dia akan membela diri, bahkan dengan nyawa sekalipun. Dia tidak gentar dan takut demi membela harga diri atau mengambil kembali hak harta bendanya itu. Lantas, apakah harga diri atau harta bendanya lebih mulia dari agama?

Yang lebih buruk lagi adalah meninggalkan amar ma‘rûf nahi munkar karena ingin mendapatkan kedudukan terhormat di mata masyarakat, atau karena harta. Inilah yang dinamakan mudâhanah yang sangat dilarang dalam agama.
Orang mukmin sejati tidak akan dapat menahan diri ketika melihat ajaran agama diinjak-injak. Dia tak akan tenang selagi dia tidak mengubahnya semampunya. Sebaliknya orang munafik tidak akan ambil pusing. Dia berpura-pura tidak mampu. Padahal jika harga dirinya dihina, dia marah bukan main dan membela diri mati-matian. Inilah perbedaan mukmin sejati dan munafik.

Para Nabi, ulama, orang-orang saleh, dan para wali sering kali mendapatkan teror, baik secara psikis maupun fisik ketika melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar. Mereka sangat murka jika hak-hak Allah I dilanggar, dan mereka menjadi sabar jika yang diinjak terkait dengan pribadinya. Jadi, mereka murka karena Allah I dan senang karena Allah I.


Kewajiban melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar menjadi gugur apabila sudah nyata akan terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan kepada pribadi yang melaksanakan atau harta bendanya. Atau yakin ajakannya akan ditolak mentah-mentah. (bersambung)Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Apa reaksi Anda ketika misalkan Anda atau orang-orang terdekat Anda dihina? Atau bahkan harta yang Anda miliki dirampas semena-mena? Tentu Anda akan membela diri dan bahkan membalas penghinaan itu.

Lalu, apabila misalkan ajaran agama kita diinjak-injak, diremehkan, dan dilanggar oleh pemeluknya sendiri, bagaimana reaksi kita? Jawabannya tidak semua orang akan membela agamanya. Bahkan cenderung menutup mata dan acuh tak acuh.

Ini adalah krisis agama yang memprihatinkan, dan ini telah banyak menimpa mayoritas umat Islam. Kesadaran untuk membela ajaran agama dengan amar ma’rûf nahi munkar semakin tipis dalam keberagamaan kita.

Maka, jangan heran jika kita melihat terjadinya krisis multidimensi di tengah-tegah umat. Ajaran Islam, mulai yang terkait dengan aturan ibadah mahdhah sampai yang ghairu mahdhah telah tinggal namanya saja, tanpa ada implementasi nyata. Orang-orang sibuk dengan urusan dunia masing-masing, tanpa memikirkan agamanya.

Oleh karena itu, doktrin Islam berupa amar ma’ruf nahi munkar perlu kita tegakkan kembali. Kaum Muslimin jamaah Jum’at, kali ini kita akan sedikit mengkaji tentang amar ma’rûf nahi munkar dengan merujuk pada kitab an-Nashâ’ihud-Dîniyyah wal-Washâya al-Zamâninyyah, karya al-Quthb al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.

Amar Ma‘ruf adalah Syiar Agama
Ketahuilah amar ma’ruf nahi munkar menempati posisi urgen dalam agama. Ia adalah sebagai syiar dan tonggak agama. Dengan tegaknya amar ma’rûf, ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan baik di tengah-tengah pemeluknya. Sebaliknya, jika diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Dan ujung-ujungnya, krisis multidimensi akan menimpa umat, hak-hak umat banyak yang tidak terpenuhi, kebenaran akan kabur dan kebatilan akan tampak.

Allah I di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya r telah menjelaskan pentingnya amar ma’rûf nahi munkar. Antara lain dalam QS Ali Imran [03]: 104, yang artinya,  Dan hendaklah ada di antarakamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Yang dimaksud kebajikan ialah ‘keimanan dan ketaatan’. Sedangkan yang dimaksud ma‘rûf ialah ‘setiap apa yang yang diperintahkan Allah I untuk dilaksanakan, dan Allah I senang hamba-Nya melaksanakannya’. Lalu yang dimaksud dengan munkar ialah ‘setiap apa yang tidak disukai Allah I untuk dikerjakan, dan Allah I senang jika hamba-Nya meninggalkannya’.

Rasulullah r bersabda yang artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya (kekuasaanya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu (lagi), maka ingkar dengan hatinya. Dan demikian ini (ingkar dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman.

Dalam Hadis lain disebutkan, Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh hendaknya kalian memerintahkan ma‘rûf, dan sungguh kalian menghentikan munkar. Dan (jika tidak), sungguh kalian disiksa dengan tangan orang yang lalim, atau sungguh Allah akan mengirimkan siksa kepada kalian dari sisi-Nya.

Antara Agama dan Harga Diri
Amar ma‘rûf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Kewajiban ini tidak dapat ditinggalkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalkan dengan alasan: “Jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar, orang-orang tidak akan peduli,” atau “Saya akan mendapat celaan atau ancaman jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar.” Alasan-alasan semacam ini hanya timbul dari jiwa yang tidak mempunyai ghirah (kecemburuan) pada agamanya.

Sungguh mengherankan, jika misalkan harga diri seseorang atau kerabat dekatnya dihina orang lain, atau harta bendanya diambil secara sewenang-wenang, maka tentu dia akan membela diri, bahkan dengan nyawa sekalipun. Dia tidak gentar dan takut demi membela harga diri atau mengambil kembali hak harta bendanya itu. Lantas, apakah harga diri atau harta bendanya lebih mulia dari agama?

Yang lebih buruk lagi adalah meninggalkan amar ma‘rûf nahi munkar karena ingin mendapatkan kedudukan terhormat di mata masyarakat, atau karena harta. Inilah yang dinamakan mudâhanah yang sangat dilarang dalam agama.
Orang mukmin sejati tidak akan dapat menahan diri ketika melihat ajaran agama diinjak-injak. Dia tak akan tenang selagi dia tidak mengubahnya semampunya. Sebaliknya orang munafik tidak akan ambil pusing. Dia berpura-pura tidak mampu. Padahal jika harga dirinya dihina, dia marah bukan main dan membela diri mati-matian. Inilah perbedaan mukmin sejati dan munafik.

Para Nabi, ulama, orang-orang saleh, dan para wali sering kali mendapatkan teror, baik secara psikis maupun fisik ketika melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar. Mereka sangat murka jika hak-hak Allah I dilanggar, dan mereka menjadi sabar jika yang diinjak terkait dengan pribadinya. Jadi, mereka murka karena Allah I dan senang karena Allah I.

Kewajiban melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar menjadi gugur apabila sudah nyata akan terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan kepada pribadi yang melaksanakan atau harta bendanya. Atau yakin ajakannya akan ditolak mentah-mentah. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar