Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
Apa reaksi Anda ketika misalkan
Anda atau orang-orang terdekat Anda dihina? Atau bahkan harta yang Anda miliki
dirampas semena-mena? Tentu Anda akan membela diri dan bahkan membalas
penghinaan itu.
Lalu, apabila misalkan ajaran
agama kita diinjak-injak, diremehkan, dan dilanggar oleh pemeluknya sendiri,
bagaimana reaksi kita? Jawabannya tidak semua orang akan membela agamanya.
Bahkan cenderung menutup mata dan acuh tak acuh.
Ini adalah krisis agama yang
memprihatinkan, dan ini telah banyak menimpa mayoritas umat Islam. Kesadaran
untuk membela ajaran agama dengan amar
ma’rûf nahi munkar semakin
tipis dalam keberagamaan kita.
Maka, jangan heran jika kita
melihat terjadinya krisis multidimensi di tengah-tegah umat. Ajaran Islam,
mulai yang terkait dengan aturan ibadah mahdhah sampai yang ghairu mahdhah telah tinggal namanya saja, tanpa ada
implementasi nyata. Orang-orang sibuk dengan urusan dunia masing-masing, tanpa
memikirkan agamanya.
Oleh karena itu, doktrin Islam
berupa amar ma’ruf nahi munkar perlu kita tegakkan kembali. Kaum
Muslimin jamaah Jum’at, kali ini kita akan sedikit mengkaji tentang amar ma’rûf nahi munkar dengan merujuk pada kitab an-Nashâ’ihud-Dîniyyah
wal-Washâya al-Zamâninyyah, karya
al-Quthb al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.
Amar Ma‘ruf adalah Syiar Agama
Ketahuilah amar ma’ruf nahi munkar menempati posisi urgen dalam agama. Ia
adalah sebagai syiar dan tonggak agama. Dengan tegaknya amar ma’rûf, ajaran Islam dapat
dilaksanakan dengan baik di tengah-tengah pemeluknya. Sebaliknya, jika
diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Dan ujung-ujungnya, krisis
multidimensi akan menimpa umat, hak-hak umat banyak yang tidak terpenuhi,
kebenaran akan kabur dan kebatilan akan tampak.
Allah I di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya r telah menjelaskan pentingnya amar
ma’rûf nahi munkar. Antara
lain dalam QS Ali Imran [03]: 104, yang artinya, Dan hendaklah ada di antarakamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.
Yang dimaksud kebajikan ialah
‘keimanan dan ketaatan’. Sedangkan yang dimaksud ma‘rûf ialah ‘setiap apa yang yang
diperintahkan Allah I untuk dilaksanakan, dan Allah I senang hamba-Nya melaksanakannya’. Lalu yang dimaksud dengan munkar ialah ‘setiap apa yang tidak disukai
Allah I untuk dikerjakan, dan Allah I senang jika hamba-Nya meninggalkannya’.
Rasulullah r bersabda yang artinya: “Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya (kekuasaanya), jika tidak mampu, maka dengan
lisannya, jika tidak mampu (lagi), maka ingkar dengan hatinya. Dan demikian ini
(ingkar dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman.
Dalam Hadis lain disebutkan, Demi
Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh hendaknya kalian memerintahkan ma‘rûf, dan sungguh kalian menghentikan munkar. Dan (jika tidak), sungguh kalian
disiksa dengan tangan orang yang lalim, atau sungguh Allah akan mengirimkan
siksa kepada kalian dari sisi-Nya.
Antara Agama dan Harga Diri
Amar ma‘rûf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Kewajiban ini tidak
dapat ditinggalkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalkan dengan alasan: “Jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar, orang-orang
tidak akan peduli,” atau “Saya akan mendapat celaan atau
ancaman jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar.” Alasan-alasan semacam ini hanya timbul dari
jiwa yang tidak mempunyai ghirah (kecemburuan) pada agamanya.
Sungguh mengherankan, jika
misalkan harga diri seseorang atau kerabat dekatnya dihina orang lain, atau
harta bendanya diambil secara sewenang-wenang, maka tentu dia akan membela
diri, bahkan dengan nyawa sekalipun. Dia tidak gentar dan takut demi membela harga
diri atau mengambil kembali hak harta bendanya itu. Lantas, apakah harga diri
atau harta bendanya lebih mulia dari agama?
Yang lebih buruk lagi adalah
meninggalkan amar ma‘rûf nahi
munkar karena ingin
mendapatkan kedudukan terhormat di mata masyarakat, atau karena harta. Inilah
yang dinamakan mudâhanah yang sangat dilarang dalam agama.
Orang mukmin sejati tidak akan
dapat menahan diri ketika melihat ajaran agama diinjak-injak. Dia tak akan
tenang selagi dia tidak mengubahnya semampunya. Sebaliknya orang munafik tidak
akan ambil pusing. Dia berpura-pura tidak mampu. Padahal jika harga dirinya
dihina, dia marah bukan main dan membela diri mati-matian. Inilah perbedaan
mukmin sejati dan munafik.
Para Nabi, ulama, orang-orang
saleh, dan para wali sering kali mendapatkan teror, baik secara psikis maupun
fisik ketika melaksanakan amar
ma‘rûf nahi munkar. Mereka
sangat murka jika hak-hak Allah I dilanggar, dan mereka menjadi sabar jika yang diinjak terkait
dengan pribadinya. Jadi, mereka murka karena Allah I dan senang karena Allah I.
Kewajiban melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar menjadi gugur apabila sudah nyata akan
terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan kepada pribadi yang melaksanakan atau
harta bendanya. Atau yakin ajakannya akan ditolak mentah-mentah. (bersambung) Tegakkan Kembali Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
Apa reaksi Anda ketika misalkan
Anda atau orang-orang terdekat Anda dihina? Atau bahkan harta yang Anda miliki
dirampas semena-mena? Tentu Anda akan membela diri dan bahkan membalas
penghinaan itu.
Lalu, apabila misalkan ajaran
agama kita diinjak-injak, diremehkan, dan dilanggar oleh pemeluknya sendiri,
bagaimana reaksi kita? Jawabannya tidak semua orang akan membela agamanya.
Bahkan cenderung menutup mata dan acuh tak acuh.
Ini adalah krisis agama yang
memprihatinkan, dan ini telah banyak menimpa mayoritas umat Islam. Kesadaran
untuk membela ajaran agama dengan amar
ma’rûf nahi munkar semakin
tipis dalam keberagamaan kita.
Maka, jangan heran jika kita
melihat terjadinya krisis multidimensi di tengah-tegah umat. Ajaran Islam,
mulai yang terkait dengan aturan ibadah mahdhah sampai yang ghairu mahdhah telah tinggal namanya saja, tanpa ada
implementasi nyata. Orang-orang sibuk dengan urusan dunia masing-masing, tanpa
memikirkan agamanya.
Oleh karena itu, doktrin Islam
berupa amar ma’ruf nahi munkar perlu kita tegakkan kembali. Kaum
Muslimin jamaah Jum’at, kali ini kita akan sedikit mengkaji tentang amar ma’rûf nahi munkar dengan merujuk pada kitab an-Nashâ’ihud-Dîniyyah
wal-Washâya al-Zamâninyyah, karya
al-Quthb al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.
Amar Ma‘ruf adalah Syiar Agama
Ketahuilah amar ma’ruf nahi munkar menempati posisi urgen dalam agama. Ia
adalah sebagai syiar dan tonggak agama. Dengan tegaknya amar ma’rûf, ajaran Islam dapat
dilaksanakan dengan baik di tengah-tengah pemeluknya. Sebaliknya, jika
diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Dan ujung-ujungnya, krisis
multidimensi akan menimpa umat, hak-hak umat banyak yang tidak terpenuhi,
kebenaran akan kabur dan kebatilan akan tampak.
Allah I di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya r telah menjelaskan pentingnya amar
ma’rûf nahi munkar. Antara
lain dalam QS Ali Imran [03]: 104, yang artinya, Dan hendaklah ada di antarakamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.
Yang dimaksud kebajikan ialah
‘keimanan dan ketaatan’. Sedangkan yang dimaksud ma‘rûf ialah ‘setiap apa yang yang
diperintahkan Allah I untuk dilaksanakan, dan Allah I senang hamba-Nya melaksanakannya’. Lalu yang dimaksud dengan munkar ialah ‘setiap apa yang tidak disukai
Allah I untuk dikerjakan, dan Allah I senang jika hamba-Nya meninggalkannya’.
Rasulullah r bersabda yang artinya: “Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya (kekuasaanya), jika tidak mampu, maka dengan
lisannya, jika tidak mampu (lagi), maka ingkar dengan hatinya. Dan demikian ini
(ingkar dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman.
Dalam Hadis lain disebutkan, Demi
Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh hendaknya kalian memerintahkan ma‘rûf, dan sungguh kalian menghentikan munkar. Dan (jika tidak), sungguh kalian
disiksa dengan tangan orang yang lalim, atau sungguh Allah akan mengirimkan
siksa kepada kalian dari sisi-Nya.
Antara Agama dan Harga Diri
Amar ma‘rûf nahi munkar hukumnya fardlu kifayah (kewajiban kolektif). Kewajiban ini tidak
dapat ditinggalkan dengan alasan yang mengada-ada. Misalkan dengan alasan: “Jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar, orang-orang
tidak akan peduli,” atau “Saya akan mendapat celaan atau
ancaman jika saya melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar.” Alasan-alasan semacam ini hanya timbul dari
jiwa yang tidak mempunyai ghirah (kecemburuan) pada agamanya.
Sungguh mengherankan, jika
misalkan harga diri seseorang atau kerabat dekatnya dihina orang lain, atau
harta bendanya diambil secara sewenang-wenang, maka tentu dia akan membela
diri, bahkan dengan nyawa sekalipun. Dia tidak gentar dan takut demi membela harga
diri atau mengambil kembali hak harta bendanya itu. Lantas, apakah harga diri
atau harta bendanya lebih mulia dari agama?
Yang lebih buruk lagi adalah
meninggalkan amar ma‘rûf nahi
munkar karena ingin
mendapatkan kedudukan terhormat di mata masyarakat, atau karena harta. Inilah
yang dinamakan mudâhanah yang sangat dilarang dalam agama.
Orang mukmin sejati tidak akan
dapat menahan diri ketika melihat ajaran agama diinjak-injak. Dia tak akan
tenang selagi dia tidak mengubahnya semampunya. Sebaliknya orang munafik tidak
akan ambil pusing. Dia berpura-pura tidak mampu. Padahal jika harga dirinya
dihina, dia marah bukan main dan membela diri mati-matian. Inilah perbedaan
mukmin sejati dan munafik.
Para Nabi, ulama, orang-orang
saleh, dan para wali sering kali mendapatkan teror, baik secara psikis maupun
fisik ketika melaksanakan amar
ma‘rûf nahi munkar. Mereka
sangat murka jika hak-hak Allah I dilanggar, dan mereka menjadi sabar jika yang diinjak terkait
dengan pribadinya. Jadi, mereka murka karena Allah I dan senang karena Allah I.
Kewajiban melaksanakan amar ma‘rûf nahi munkar menjadi gugur apabila sudah nyata akan
terjadi sesuatu yang sangat menyakitkan kepada pribadi yang melaksanakan atau
harta bendanya. Atau yakin ajakannya akan ditolak mentah-mentah. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar