Jumat, 28 Oktober 2016

PEMIMPIN MUSLIM VS PEMIMPIN NON-MUSLIM (TANGGAPAN UNTUK MASYARAKAT INDONESIA)


PEMIMPIN MUSLIM VS PEMIMPIN NON-MUSLIM
 (TANGGAPAN UNTUK MASYARAKAT INDONESIA)

Pendahuluan
Perbincangan dan diskusi mengenai pemimpin memang tidak akan ada habisnya. Hal itu disebabkan, figur pemimpin yang adil dan beradab pada zaman modern ini semakin langka dan sulit dicari.[1] Pada saat ini kepemimpinan hanyalah dianggap sebagai jabatan, bahkan digunakan sebagai sarana pamer-memamerkan diri.
Jika kita melihat dan berkaca pada masa kepemimpinan atau khilafah di zaman rasul dan khulafa ar-Rasyidin, kita akan mengetahui bahwasanya dizaman itu, para khalifah akan berpikir panjang untuk mau menjadi pemimpin kaum dikarenakan ketakutannya apabila ia tidak bisa membawa kaumnya ke jalan yang baik dan benar, disamping itu, mereka juga takut akan dosa yang akan ditanggung jika tidak bisa berlaku adil dalam memimpin.
Beda halnya dengan keadaan pada zaman modern saat ini, mayoritas pemimpin hanya ingin berlomba-lomba dalam popularitas, mementingkan jabatan tanpa berpikir panjang tentang bagaimana masayarakat yang akan dipimpinnya, mau diarahkan kemanakah masyarakat tersebut, bahkan masih ada juga pemimpin yang hanya ingin mementingkan diri sendiri tanpa menyadari bahwa mereka punya tanggung jawab besar.
Ada kecenderungan rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin berdasarkan popularitasnya. Hasil pendapat sering menjadi patokan dalam memilih, tak peduli dengan kualitas sang calon pemimpin, bahkan mengenai agama mereka. Padahal, Allah SWT melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang kafr sebagai pemimpin.[2] Kecenderungan umat memilih pemimpin non-Muslim boleh jadi karena mereka tidak mengetahui akan larangan Allah.
Keberhasilan suatu negara dapat terlihat dari sosok pemimpinnya. Apabila sang pemimpin memegang syari’at Islam, maka kemaslahatan rakyat akan terwujud. Begitu juga sebaliknya, apabila kepemimpinan dipegang non-Muslim, maka kehancuran sedikit demi sedikit akan bermunculan.
Maka dari itu, penulis ingin memaparkan lebih lanjut tentang beberapa hal yang berkaitan dengan pemimpin Islam dan Non-Islam.

PENGERTIAN PEMIMPIN
Dalam Bahasa Indonesia, “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya.
Pemimpin adalah seorang pribadi yang yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan pada satu bidang sehingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994:181)[3]
1). Pemimpin Dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, istilah pemimpin dikenal dengan istilah khalifah, imam, dan ulil amri. Khalifah diartikan sebagai kepala negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan dikenal dengan kata sulthan. Khalifah juga dapat diartikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Raharjo, 1996). Wakil Tuhan terdiri dari dua macam. Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri sebagai ciptaaan Tuhan yang paling sempurna.
Imam atau imamah diartikan secara lebih spesifik untuk menyebut pemuka agama, pemimpin keagamaan, atau pemimpin spiritual yang diikuti dan diteladani nasihat-nasihatnya oleh pengikut-pengikutnya. Dalam beberapa hadist, imam sering diartikan sebagai pemimpin atau penguasa yang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat.
Ulil amri dapat diartikan sebagai pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin militer atau tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi tumpuan bagi umat, menerima kepercayaan atau amanat dari masyarakat. Selain itu, ulul amri dapat berarti orang-orang cerdik pandai yang dikenal oleh umat sebagai orang yang ahli dalam berbagai bidang serta mengerti kepentingan.
Dalam Islam, seorang pemimpin harus mempunyai sifat: siddiq (jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan), fatanah (cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesional), amanah (dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel) dan tabligh (senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan dan komunikatif).
Dalam prinsip Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk menemukan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang dimaksud tidak hanya menyangkut kebutuhan jasmani (materiil), tetapi jugarohani (spiritual).
Keinginan untuk membahagiakan dan menyelamatkan manusia merupakan salah satu misi Islam. Para nabi dan rasul diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan manusia cara untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan, dan manusia diperintahkan untuk meniru dan meneladani para nabi dan rasul tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah misi profetik (prophrtical mission). 
2). Pemimpin Dalam Perspektif Non-Islam
Dalam Al-Kitab, pemimpin harus memiliki sifat dasar: bertanggungjawab, berorientasi pada sasaran, tegas, cakap, bertumbuh, memberikan teladan, dapat membangkitkan semangat, jujur, setia, murah hati, rendah hati, efisien, memerhatikan, mampu berkomunikasi, dapat mempersatukan dan dapat mengajak.[4]
Pada ajaran Budha dikenal dengan dasa raja dhamma yang terdiri atas: dhana (suka menolong), sila (bermoralitas tinggi), paricaga (mengorbankan segala sesuatu demi rakyat), ajjawa (jujur dan bersih), maddava (ramah-tamah dan sopan santun), tapa (sederhana dalam penghidupan), akkhoda (bebas dari kebencian dan permusuhan), avihimsa (tanpa kekerasan), khanti (sabar, rendah hati, dan pemaaf) dan avirodha (tidak menentang dan tidak menghalang-halangi).[5]
Pada ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah-istilah: Panca Stiti Dharmeng Prabh (lima ajaran seorang pemimpin), Catur Kotamaning Nrepati (empat sifat utama seorang pemimpin), Asta Bratla (delapan sifat mulia para dewa) dan Catur Naya Sandhi (empat tindakan seorang pemimpin), yaitu: Sama (dapat menandingi kekuatan musuh), Bheda (dapat melaksanakan tata tertib dan disiplin kerja), Dhana (dapat mengutamakan sandang dan papan untuk rakyat) dan Dandha (dapat menghukum dengan adil mereka yang bersalah).
KRITERIA PEMIMPIN IDEAL
Kriteria pemimpin ideal juga disebutkan didalam Al-Qur’an. Ini tergambar pada Nabi Ibrahim. Didalam surah Al-Nahl ayat 120 dijelaskan bahwa, seorang pemimpin sekurang-kurangnya haruslah mempunyai tiga hal.”Qonit li Allah” tunduk patuh kepada perintah Allah, “hanif” lurus pada kebenaran, dan “syukur”. Maka, dapat kita artikan bahwa, pemimpin harus senantiasa taat dan tunduk, tidak ragu, dan mengingkari keberadaan Allah, tidak pula menyimpang serta membantah perintah Nya. Maka konsekuensinya adalah, seorang pemimpin hendaknya jauh dari sifat relativ, agnostis, dan pluralis dalam berkeyakina kepada Allah, apalagi kafir terhadap Allah.
Selain dari pada itu prlu kita sadari bahwa, menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah untuk dipegang. Melainkan kepemimpinan tersebut tidak lain dari pada sebuah Amanah besar. Selain, Amanah pemimpin juga harus berilmu, karena bila ia berpengetahuan, berarti ia mengetahui tugas-tugas yang akan ia kerjakan, lalu bertanggungjawab atas pekerjaan itu. Dan sebaliknya, pekerjaan yang tidak berdasarkan pada ilmu, hanya akan menghasilkan sesuatu yang merusak.
Dari kriteria yang telah kita bahas diatas, terlihat bahwa seorang pemimpin tidaklah harus tinggi ilmu agamanya, dalam arti tidaklah harus setingkat ulama, melainkan  harus memiliki ketrampila leadership serta amanah.[6] Namun perlu kita garis bawahi bahwa, tidak setingkat ulama bukan berarti buta Agama atau bahkan sekuler atau liberal. Sebab seseorang tidak akan Amanah jika tidak patuh dan tidak berpegang teguh pada syari’ah. Maka, pemimpin haruslah memahami syari’ah. Bila tidak demikian, ia bisa lepas dari tuhannya dan jauh dari masyarakatnya. Karena, seorang pemimpin memiliki dua tugas utama; beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada banyak orang. Kemudian, jika seorang pemimpin tidak berpegang teguh pada syariah saja bisa membawa masyarakat ke dalam kehancuran, apalagi seorang oemimpin yang tidak beragama Islam? Dengan kata lain, menganut agama selain Islam.
Maka, disinilah kita sebagai orang yang paham dan tahu kewajiban untuk memilih pemimpin muslim untuk memahamkan kepada seluruh masyarakat yang belum paham akan hal ini, disamping itu perlu adanya da’wah yang benar-benarbisa menyadarkan msyarakat Indonesia akan bahaya memilih pemimpin non muslim.

FENOMENA PEMIMPIN DI INDONESIA
Di berbagai daerah di negara Indonesia, bisa kita jumpai bahwa kepala atau pemimpin daerah tersebut dari umat Kristen, padahal sudah jelas dikatakan bahwa kristen adalah kaum kafir. Bahkan, di daerah Ibukota negara kita pun dipimpin oleh seorang yang menganut agama Kristen. Ya, masyarakat Indonesia memang sudah terlanjur  tertarik dengan semua kebaikan yang diberikan oleh wakil rakyat tersebut tanpa memikirkan apa misi dibalik semua kebaikannya. Bahkan sebagian dari masyarakat Indonesia ada yang mengatakan “dia Kristen, tapi dia Islami”. Saat ini mungkin masyarakat Indonesia belum merasakan akibat dan pengaruh dari semua misi, padahal dibalik itu ada misi Kristenisasi.
Ketika walikota Surabaya, Risma, tengah berupaya keras menutup Gang Dolly (pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara), Ahok justru akan melokalisasi prostitusi di DKI Jakarta. Ini sama saja Ahok ingin melegalkan perzinahan di Jakarta.
HAKIKAT PEMIMPIN UNTUK INDONESIA
Tegaknya suatu pemerintahan yang stabil, setidaknya harus memenuhi tiga kualifukasi yang saling berkaitan antara penguasa dan rakyat, yaitu keadilan dari penguasa, ketaatan dari rakyat dan adanya musyawarah antara penguasa dan rakyat.[7]
Khliafah dan imamah merupakan sistem kepemimpinan negara dalam masyarakat Muslim yang dipandang relevan dengan syariat Islam. Khilafah adalah suatu bentuk kekuasaan yang menjalankan pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW.
Kepemimpinan dalam Islam hakikatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan umat. Allah memberikan amanah kepada pemimpin untuk mengatur urusan orang yang dipimpinnya, mengarahkan manusia yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan bersama dan menjaga serta melindungi kepentingan yang dipimpinya.
Kunci pokok dari khilafah adalah model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan Islam. Pedoman dasar khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan norma dan hukum Tuhan. Khilafah merupakan pondasi demokrasi dalam Islam yang menyesuaikan keseimbangan antara individu dan kolektif.
Ada baiknya jikalau pemimpin memperbaiki kebijakan politik luar negerinya dengan memperbanyak persahabatan, misalkan Indonesia sebagai negara berkembang menjalin persahabatan dengan negara-negara sederajat, baik di kawasan Asia maupun Timur Tengah, Afrika maupun Amerika Latin.[8] Tapi, dengan menjalin persahabatan dengan negara lain bukan berarti negara Indonesia selalu bergantung pada negara tersebut. Ada baiknya jika mengambil beberapa komponen yang bisa di contoh dan di ikuti oleh negara Indonesia, misalnya dalam hal peraturan, teknologi, dan lain sebagainya selama itu tidak bertentangan dengan ajaran syari’at dan dapat mendatangkan manfaat atau perubahan positif bagi rakyat dan masyarakat Indonesia.
Dalam berbagai literatur yang membahas kepemimpinan dalam Islam dapat dikemukakan beberapa dasar-dasar kepemimpinan Islam yang salah satunya adalah tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pmmpin bagi orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi lebih lanjut terhadap kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda,”keberagamaan rakyat tergantung keberagamaan pemimpinnya.”
Allah telah memberi patokan, bagaimana kaum muslim dalam mengangkat pemimpinnya. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pelindung, pemimpin) dengan meninggalakan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin menjadikan itu sebagai alasan bagi Allah umtuk menimpakan siksaan yang nyata?”[9]
Dari hadits dan firman Allah diatas dapat kita simpulalkan bahwa Allah telah melarang kita sebagai umat muslim untuk menjadikan seorang kafir sebagai kepala atau pemimpin kita.
Kemudian, pemimpin seperti apakah yang diinginkan masyarakat Indonesia saat ini? Pertanyaan ini mungkin selalu terdetik di benak setiap orang yang benar-benar memikirkan kepemimpinan terbaik untuk Indonesia. Maka, sebagai orang yang tahu dan paham, inilah saatnya kita menyadarkan masyarakat yang belum paham akan pentingnya pemimpin muslim di negara kita ini yang terkenal dengan masyarakatnya yang mayoritas adalah Islam.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kita bahas diatas, terlihat bahwa seorang pemimpin tidaklah harus tinggi ilmu agamanya, dalam arti tidaklah harus setingkat ulama, melainkan  harus memiliki ketrampilan leadership serta amanah.[10] Namun perlu kita garis bawahi bahwa, tidak setingkat ulama bukan berarti buta Agama atau bahkan sekuler atau liberal. Sebab seseorang tidak akan Amanah jika tidak patuh dan tidak berpegang teguh pada syari’ah. Maka, pemimpin haruslah memahami syari’ah. Bila tidak demikian, ia bisa lepas dari tuhannya dan jauh dari masyarakatnya. Karena, seorang pemimpin memiliki dua tugas utama; beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada banyak orang. Kemudian, jika seorang pemimpin tidak berpegang teguh pada syariah saja bisa membawa masyarakat ke dalam kehancuran, apalagi seorang pemimpin yang tidak beragama Islam? Dengan kata lain, menganut agama selain Islam.
Maka, disinilah kita sebagai orang yang paham dan tahu kewajiban untuk memilih pemimpin muslim untuk memahamkan kepada seluruh masyarakat yang belum paham akan hal ini, disamping itu perlu adanya da’wah yang benar-benar bisa menyadarkan masyarakat Indonesia akan bahaya memilih pemimpin non muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Moedjiono, Imam. 2002. Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press
Syafii Maarif, Ahmad. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Pustaka LP3ES
Dimyati, Hamdan. 2014. Model Kepemimpinan & Sistem Pengambilan Keputusan. Bandung: PUSTAKA SETIA
Susetya, Wawan. 2007. Menyingkap Tabir Cakrawala Kepemimpinan. Yogyakarta: Tugu
Majalah GONTOR, Edisi 11, Tahun XIII Rajab-Sya’ban 1437/Maret 2016















[1] Majalah GONTOR, Edisi 11, Tahun XIII Rajab-Sya’ban 1437/Maret 2016, hal.24.
[2] Ibid hal.8.
[3] Dimyati, Hamdan. 2014. Model Kepemimpinan & Sistem Pengambilan Keputusan. Bandung: PUSTAKA SETIA, hal.23.

[4] Ibid hal. 30.
[5] Ibid hal. 31.
[6] Majalah GONTOR, Edisi 11, Tahun XIII Rajab-Sya’ban 1437/Maret 2016, hal.25.
[7] Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara.2006. Jakarta: Pustaka LP3ES.
[8] Susetya, Wawan. 2007. Menyingkap Tabir Cakrawala Kepemimpinan. Yogyakarta: Tugu
[9] QS.An-Nisa: 144.
[10] Majalah GONTOR, Edisi 11, Tahun XIII Rajab-Sya’ban 1437/Maret 2016, hal. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar