Minggu, 04 September 2016

Prinsip Fenomenologi

Prinsip Fenomenologi

A.    Arti Fenomenologi.
Secara harfiah, fenomenologi adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme melihat suatu gejala tertentu dengan ilmu positif dengan mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Dengan demikian, Fenomenologi merupakan sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama (subjek peneliti), dan merupakan bagian studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.


B.     Tokoh Fenomenologi.
Salah seorang tokoh Fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Husserl mengatakan bahwa pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah dengan cara mengeksplorasi kesadaran manusia. Inilah yang sebetulnya menjadi inti (prinsip) Fenomenologi yaitu eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.
Husserl sebenarnya bukanlah penemu metode ini. Dia hanya penyempurna yang menspesifikasi kondisi dan objeknya, serta mengangkat status fenomenologis itu menjadi sebuah prosedur filosofis yang fundamental. Karena istilah Fenomenologi sendiri secara filosofis digunakan pertama kali oleh J.H Lambert (1764). Lambert mengartikan Fenomenologi sebagai proses menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena).

C.     Metode Fenomenologis.
Metode fenomenologis terdiri dari apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dinilai, dibayangkan, diragukan atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran.
Metode yang dipraktikkan secara sistematis yang paling mendasar dan umum digunakan adalah deskripsi fenomenologis yang meliputi:

1.      Mengintuisi.
Artinya adalah mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Manusia dalam ha ini merupakan makhluk yang bisa melihat fenomena-fenomena secara utuh dan kemudian meresapinya sesuai naluri.
2.      Menganalisis.
Maksudnya adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena atau pertaliannya. Artinya adalah manusia mampu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang direnungkannya. Sehingga ditemukan korelasi antara setiap bagian fenomena itu hingga menjadi suatu hal yang utuh.
3.      Menjabarkan.
Merupakan proses penguraian fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Persoalan penjabaran adalah bagaimana membuat orang paham mengenai sebuah fenomena melalui kalimat yang kita deskripsikan kepada mereka.

D.    Prinsip Fenomenologi.
a)      Prisnsip Epoche dan Eidetic Vision.
Keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan dalam tanda kurung. Penyingkiran semua macam penilaian itu disebut Husserl dengan epoche (istilah Yunani: tidak memberikan suara). Setelah epoche ini dilakukan, barulah eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat dilakukan. Karena dengan melakukan epoche penilaian terhadap fenomena tidak terdistorsi oleh subjektifitas pengamat (penyelidik).
Di dalam kriteria tertentu epoche ini mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene Descartes, dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan  semua itu hingga tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.
Dalam usaha untuk menyingkirkan segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiliki tiga macam reduksi. Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga macam reduksi:

1)      Reduksi  Fenomenologis.
Di dalam reduksi ini manusia mesti meninggalkan (menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dalam wujud murni dan utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran, tanpa terlebih dulu dihakimi oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.
2)      Reduksi Eidetis.
Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan) segala hal yang bukan intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Di sinilah manusia bisa memengerti sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan mana yang bukan.
3)      Reduksi Transendental.
Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Dunia yang tampak sebenarnya tidak dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia, bahwa pengertian manusia tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih ekstrim, dunia tidak dapat memberikan kebenaran.
Supaya kebenaran itu didapatkan manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda diluar kita. Di dalam menikmati kesadaran kita maka yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. Aku empiris ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya. Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental. Karena aku yang murni ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
            Menurut Husserl kesalahan fatal dalam pandangan dualistik terhadap manusia dan dunia (pandangan Descartes). Dualismenya itulah yang membuat Descartes memisahkan subjek dengan objek yang disadarinya. Hal yang bersifat dikotomik inilah yang kemudian dicoba Husserl untuk menutupinya meski tak berarti Husserl adalah seorang Cartesian. Konsep untuk melakukannya diambil Husserl dari gurunya, Franz Brentano, yakni konsep intensionalitas kesadaran.
Konsep intensionalitas sendiri disusun Brentano dalam rangka menemukan hukum-hukum jiwa yang  memikirkan, mendengar, menilai dan mencintai?, Brentano kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyatakan bahwa kesemua  tindakan mental itu ditandai oleh keterarahannya kepada sesuatu yang menjadi isinya. Intinya Brentano mendefinisikan bahwa tindakan mental itulah yang disebut dengan intensional. Husserl kemudian mengambil konsep ini dan  mengatakan hal yang senada, bahwa ciri yang esensial dari kesadaran adalah intensional; yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju kepada sesuatu. Namun perbedaan antara Brentano dan Husserl adalah Husserl tidak mempersoalkan status realitas objek (isi kesadaran), karena Fenomenologi menurut Husserl berurusan dengan penjabaran fenomena “murni”, kesadaran atau pengalaman-pengalaman, tanpa mempersoalkan apakah objek yang dituju oleh kesadaran itu ada secara konkret atau hanya khayalan (tidak real).

b)     Konsep Dunia Kehidupan (Lebenswelt).
Memperbincangkan Fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (dunia kehidupan). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya matematisasi alam dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas Fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah Lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namunakurasi kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana endapan makna yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari Fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar