Prinsip Fenomenologi
A.
Arti Fenomenologi.
Secara
harfiah, fenomenologi adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala
adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme melihat suatu
gejala tertentu dengan ilmu positif dengan mengumpulkan
data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Dengan demikian, Fenomenologi merupakan sebuah
upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang
pertama (subjek
peneliti), dan merupakan bagian studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena.
B.
Tokoh Fenomenologi.
Salah
seorang tokoh Fenomenologi adalah Endmund Husserl (1859-1938), ia selalu
berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep,
atau teori ilmu, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari
pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Husserl mengatakan bahwa pendekatan
yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah dengan cara
mengeksplorasi kesadaran manusia. Inilah yang sebetulnya menjadi inti (prinsip)
Fenomenologi yaitu eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.
Husserl sebenarnya bukanlah penemu
metode ini. Dia hanya
penyempurna yang menspesifikasi kondisi dan objeknya, serta mengangkat
status fenomenologis itu menjadi sebuah prosedur filosofis yang fundamental.
Karena istilah Fenomenologi sendiri secara filosofis digunakan pertama kali
oleh J.H Lambert (1764). Lambert mengartikan Fenomenologi sebagai proses
menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomena).
C.
Metode Fenomenologis.
Metode fenomenologis terdiri dari apa saja yang
ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran
utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari
kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dinilai, dibayangkan, diragukan atau
disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang
hadir dalam kesadaran.
Metode yang dipraktikkan secara sistematis yang paling mendasar dan umum
digunakan adalah deskripsi fenomenologis yang
meliputi:
1.
Mengintuisi.
Artinya adalah mengonsentrasikan
secara intens atau merenungkan fenomena. Manusia dalam ha ini merupakan makhluk
yang bisa melihat fenomena-fenomena secara utuh dan kemudian meresapinya sesuai
naluri.
2.
Menganalisis.
Maksudnya adalah menemukan berbagai
unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena atau pertaliannya. Artinya adalah
manusia mampu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang direnungkannya. Sehingga
ditemukan korelasi antara setiap bagian fenomena itu hingga menjadi suatu hal
yang utuh.
3.
Menjabarkan.
Merupakan proses penguraian fenomena
yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh
orang lain. Persoalan penjabaran adalah bagaimana membuat orang paham mengenai
sebuah fenomena melalui kalimat yang kita deskripsikan kepada mereka.
D. Prinsip Fenomenologi.
a) Prisnsip Epoche dan Eidetic Vision.
Keberhasilan penggunaan metode
fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau
pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah
keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan,
teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu
semua harus disimpan dalam “tanda kurung”. Penyingkiran semua macam penilaian
itu disebut Husserl dengan epoche (istilah Yunani:
tidak memberikan suara). Setelah epoche ini
dilakukan, barulah eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat
dilakukan. Karena dengan melakukan epoche penilaian terhadap
fenomena tidak terdistorsi oleh subjektifitas pengamat (penyelidik).
Di dalam kriteria tertentu epoche ini
mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene
Descartes, dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada
eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak
meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan semua itu hingga
tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.
Dalam usaha untuk menyingkirkan
segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiliki tiga macam reduksi. Reduksi ini merupakan usaha untuk
mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl
sendiri mengemukakan tiga macam reduksi:
1)
Reduksi Fenomenologis.
Di dalam reduksi ini manusia mesti
meninggalkan (menyaring)
pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dalam wujud murni dan utuh. Hal ini perlu
dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran, tanpa
terlebih dulu dihakimi oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka
manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan
mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.
2)
Reduksi Eidetis.
Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan)
segala hal yang bukan intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut
sebagai penilikan hakekat. Di sinilah manusia bisa memengerti
sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena
rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan
mana yang bukan.
3)
Reduksi Transendental.
Reduksi ini melakukan penyaringan
terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik
dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa
yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi
diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran
yang murni.
Dunia yang tampak sebenarnya tidak
dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia, bahwa pengertian manusia
tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih ekstrim, dunia tidak dapat memberikan
kebenaran.
Supaya kebenaran itu didapatkan
manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan
sadar. Di dalam
pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku”
kita senantiasa berhubungan dengan dunia benda diluar kita. Di dalam menikmati kesadaran kita maka
yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. “Aku empiris” ini maksudnya adalah aku yang
berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang
duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya. Setelah aku empiris ini berlalu yang
ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah
empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental. Karena aku yang murni ini tidak
terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas
kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.
Menurut Husserl kesalahan fatal dalam
pandangan dualistik
terhadap manusia dan dunia (pandangan Descartes). Dualismenya itulah yang membuat
Descartes memisahkan subjek
dengan objek yang disadarinya. Hal yang bersifat dikotomik inilah yang kemudian
dicoba Husserl untuk menutupinya meski tak berarti Husserl adalah seorang
Cartesian. Konsep untuk melakukannya diambil Husserl dari gurunya, Franz
Brentano, yakni konsep intensionalitas kesadaran.
Konsep intensionalitas sendiri disusun Brentano dalam
rangka menemukan hukum-hukum jiwa yang memikirkan, mendengar, menilai dan
mencintai?, Brentano kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyatakan
bahwa kesemua tindakan mental itu ditandai oleh keterarahannya kepada
sesuatu yang menjadi isinya. Intinya Brentano mendefinisikan bahwa tindakan
mental itulah yang disebut dengan intensional. Husserl kemudian mengambil
konsep ini dan mengatakan hal yang senada, bahwa ciri yang esensial dari
kesadaran adalah intensional; yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju
kepada sesuatu. Namun
perbedaan antara Brentano dan Husserl adalah Husserl tidak mempersoalkan status realitas objek (isi kesadaran),
karena Fenomenologi menurut Husserl berurusan dengan penjabaran fenomena “murni”,
kesadaran atau pengalaman-pengalaman, tanpa mempersoalkan apakah objek yang
dituju oleh kesadaran itu ada secara konkret atau hanya khayalan (tidak
real).
b)
Konsep Dunia Kehidupan (Lebenswelt).
Memperbincangkan Fenomenologi tidak bisa ditinggalkan
pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (dunia kehidupan). Konsep ini penting artinya,
sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi
baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European
Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis
akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam.
Akibatnya adalah terjadinya “matematisasi alam” dimana alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para
saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang
lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari
yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami
dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang
sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu
dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui
begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah
makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah
observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini,
tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu,
dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas Fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi
atas sejarah Lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan “endapan
makna” yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas
(kesadaran) individu, namun “akurasi” kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana “endapan makna” yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial,
dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari Fenomenologi,
yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami
dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar