Problematika Kodifikasi
Hadis
Menurut Pandangan
Orientalis dan Ulama
Muslim
Menguji Obyektivitas Orientalis
Karena menyimpan dendam ''perang salib'' yang tak kunjung
surut, para Orientalis yang memiliki karya dalam Islam bisa dipastikan telah melakukan
kecurangan ilmiah, layaknya pemalsuan dan ketidakjujuran. Semisal Goldzieher,
tokoh Orientalis Yahudi, yang hampir seluruh karya-karyanya diwarnai dengan
paham anti Islam. Dan juga Karel
Brockelman seorang Orientalis terkemuka asal Jerman yang terpengaruh oleh sikap
subjektif dan tidak jujur terhadap Hadis dalam karyanya, Tarîkh asy-Syu'ûbil-
Islamiyah. Dia dengan sengaja memberi kesan negatif tentang Islam, khususnya
Hadis Nabi dalam masalah badui. Dalam
komentarnya dia memenggal teks Hadis dan tidak menampilkannya secara utuh. Kekeliruan
semacam ini sangat irasional apabila muncul dari seorang ilmuwan sekaliber Brockelman yang
sudah lama berkecimpung dengan kitab-kitab klasik, sehingga telah menghasilkan
sebuah karya yang berharga 'Tarikhul Adabil 'Arabi' (sejarah kesusastraan
Arab).
Kekeliruan seperti di atas (kecurangan ilmiah dan ketidakjujuran
dalam Hadis) juga terjadi pada Jacque Berque, Orientalis asal Perancis, yang
melakukan ketidakjujuran dengan membolak-balikkan sejumlah arti kata-kata dan
pemahaman dalam menerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Perancis. Padahal selama
ini ia dipandang sebagai orang yang objektif terhadap Islam. Akan tetapi, Dr. Zainab
Abd Aziz, Profesor kebudayaan Perancis dari Universitas Monofia Mesir, dalam
bukunya 'Terjemah Makna al-Qur'an' telah menyingkap ketidakjujuran Jacque
Berque.
Barangkali itulah yang membuat Dr. Ahmad Ghurab kurang
percaya pada sebutan ''Orientalis yang jujur''. Sehingga ia menyusun buku Ru'yah
Islamiyah Lil Istisyraq. Dalam buku ini, Dr. Ahmad Ghurab menyingkap tabir Orientalis,
yang katanya ''jujur'' ternyata melakukan kecurangan ilmiah dan pemalsuan.
Keburaman Pemikiran Orientalis
Bila dikaji secara mendalam, dapat dipahami bahwa faktor
utama yang mendorong para Orientalis menyebarkan isu seputar Sunnah adalah kebencian
mereka terhadap kekayaan khazanah intelektual, hukum dan peradaban Islam yang
terkandung dalam Hadis, yang menjadi landasan utama para ulama berabad-abad
lamanya. Bahkan dengan penuh percaya diri, para Orientalis menuduh bahwa Hadis tidak
mungkin lahir dari seorang Nabi yang buta huruf, melainkan hanya merupakan
wawasan peradaban kaum Muslimin selama tiga abad pertama.
Jadi, menurut Dr. Sa'ad, yang menjadi ganjalan psikologis
Orientalis adalah penolakan yang membabi buta terhadap kenabian Khâtamul-anbiyâ'
(Nabi Terakhir). Inilah yang menjadi titik tolak kekeliruan pemikiran Orientalis
dalam memahami Islam secara umum dan Sunnah secara khusus.
Di sisi lain, kemampuan penelitian mereka kurang mumpuni
untuk menerobos samudera ilmu Islam yang memerlukan perangkat-perangkat yang
kuat. Sementara mereka datang dari benua yang berbeda dan latar belakang yang
berbeda pula. Tetapi karena kecerobohannya, mereka tetap memaksakan diri untuk mengkaji
Islam. Tentu saja mereka menemukan kendala yang tidak sederhana, seperti yang
terjadi pada Goldzieher dalam menghadapi dua jenis riwayat yang sepintas
kelihatannya kontra; riwayat yang membolehkan penulisan Hadis Nabi dan riwayat
yang melarang.
Goldzieher yang tidak mempunyai latar belakang yang kuat
dalam mendalami ilmu Hadis, sudah barang tentu kebingungan dalam menghadapi kedua
riwayat yang kontra di atas, sebab untuk menimbang dan mensejajarkan dua jenis
riwayat tersebut agar mengeluarkan konklusi yang cemerlang memerlukan keahlian
dalam ilmu-ilmu hadis.
Kerancuan Asumsi Orientalis
Untuk menggoyahkan kepercayaan pada Sunnah Nabi dan kewahyuannya,
Orientalis melontarkan berbagai asumsi. Asumsi tersebut hanya berdasarkan isu
negatif semata yang kemudian dikemas dengan analisa dan gaya yang agak ilmiah. Di
antara isu-isu tersebut adalah asumsi mereka bahwa Hadis Nabi tidak tercatat
pada masa Nabi Muhammad dan sesudahnya sampai masa penyusunan Hadis pada abad
ke tiga Hijriah. Sehingga menurut Gledzieher terdapat rentang waktu lebih dari
dua abad terputusnya Nabi dengan Hadis-hadisnya. Dampaknya—menurut logika Orientalis—mengakibatkan
banyak Hadis-hadis palsu yang disebarkan, sehingga sangat sulit untuk
membedakan yang Shahih dan yang palsu.
Sayangnya, asumsi tersebut salah fatal, lemah dan tidak
dapat bisa dipertanggungjawabkan. Karena jika diteliti secara ilmiah serta
berlandasan pada riwayat-riwayat yang otentik, maka dengan mudah isu itu akan
terpatahkan dan kehilangan pijakannya. Di antara literatur yang penting dalam
kasus ini ialah kitab As-Sunnah Qablat-Tadwîn, karya Muhammad 'Ajja al-Khatib
yang membahas dan membuktikan kekeliruan asumsi Galdzieher dan para Orientalis
sesudahnya dengan argumentasi yang kokoh.
Bukti Otentik
Kodifikasi Hadis
Prof. Muhammad Hamidullah, pakar Muslim di Sbonear, asal
India adalah salah satu orang yang men-tahqîq (memberi komentar) dan
menerbitkan shâhifat Hammam ibnu Muhibbin yang menjadi bukti kevalidan
kodifikasi Hadis pada zaman sahabat Nabi, sebab shahifat (lembaran) itu
diriwayatkan oleh Hammam ibnu Muhibbin dari Abu Hurairah ra, yang merupakan
salah seorang perawi Hadis terkemuka di kalangan sahabat.
Prof. Rif'at juga telah menerbitkan dua shahifat
yang usianya cukup tua. Pertama, Shahifat Ali bin Abi Thâlib,
yang disertai ta'lîq (catatan kaki). Kedua, Shahifat
Hammah ibnu Muhibbîn yang telah diterbitkan oleh Hamidullah sebelumnya, namun
lebih dilengkapi dengan kajian integral tentang shahifat tersebut ditinjau
dari berbagai sudut pandang sehingga terkesan lebih berbobot dari yang pertama.
Selain itu, Prof. Rif'at juga juga menerbitkan shahifat-shahifat
yang lainnya, seperti Shahifat Ibnu 'Amr ibnu al-Ash yang cukup populer
dengan istilah Ash-Shahifat as-Sâbiqah (lembaran yang pertama).
Penutup
Dengan bukti di atas, dapat dipastikan bahwa kodifikasi Hadis
memang telah ada sejak era sahabat, apalagi telah dikuatkan dengan
argumen-argumen yang otentik serta terbukti valid, semuanya mengindikasikan
atas adanya kodifikasi Hadis, bukan seperti igauan Orientalis.
Referensi
- Sayyid
Muhammad bin 'Alawi bin 'Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Al-Manhâlul
Lathîf fi Usulul Hadîtsissyarîf, hal 12-13.
- Imam
Bukhari,Shahîh Bukhâri, juz 1, hal 33.
- Prof.
Dr. al-Azhmy,Dirasat fil-Hadisin-Nabawy
- Mustofa
As-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fit-Tasyi'il-Islamy.
- Muhammad
Abu Sahban, Difa'us-Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar