Senin, 25 Juli 2016

Problematika Kodifikasi Hadis Menurut Pandangan Orientalis dan Ulama Muslim

Problematika Kodifikasi Hadis
Menurut Pandangan
Orientalis dan Ulama Muslim

Menguji Obyektivitas Orientalis
            Karena menyimpan dendam ''perang salib'' yang tak kunjung surut, para Orientalis yang memiliki karya dalam Islam bisa dipastikan telah melakukan kecurangan ilmiah, layaknya pemalsuan dan ketidakjujuran. Semisal Goldzieher, tokoh Orientalis Yahudi, yang hampir seluruh karya-karyanya diwarnai dengan paham anti Islam. Dan  juga Karel Brockelman seorang Orientalis terkemuka asal Jerman yang terpengaruh oleh sikap subjektif dan tidak jujur terhadap Hadis dalam karyanya, Tarîkh asy-Syu'ûbil- Islamiyah. Dia dengan sengaja memberi kesan negatif tentang Islam, khususnya Hadis Nabi dalam masalah  badui. Dalam komentarnya dia memenggal teks Hadis dan tidak menampilkannya secara utuh. Kekeliruan semacam ini sangat irasional apabila muncul dari  seorang ilmuwan sekaliber Brockelman yang sudah lama berkecimpung dengan kitab-kitab klasik, sehingga telah menghasilkan sebuah karya yang berharga 'Tarikhul Adabil 'Arabi' (sejarah kesusastraan Arab).

            Kekeliruan seperti di atas (kecurangan ilmiah dan ketidakjujuran dalam Hadis) juga terjadi pada Jacque Berque, Orientalis asal Perancis, yang melakukan ketidakjujuran dengan membolak-balikkan sejumlah arti kata-kata dan pemahaman dalam menerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Perancis. Padahal selama ini ia dipandang sebagai orang yang objektif terhadap Islam. Akan tetapi, Dr. Zainab Abd Aziz, Profesor kebudayaan Perancis dari Universitas Monofia Mesir, dalam bukunya 'Terjemah Makna al-Qur'an' telah menyingkap ketidakjujuran Jacque Berque.
            Barangkali itulah yang membuat Dr. Ahmad Ghurab kurang percaya pada sebutan ''Orientalis yang jujur''. Sehingga ia menyusun buku Ru'yah Islamiyah Lil Istisyraq. Dalam buku ini, Dr. Ahmad Ghurab menyingkap tabir Orientalis, yang katanya ''jujur'' ternyata melakukan kecurangan ilmiah dan pemalsuan.

Keburaman Pemikiran Orientalis
            Bila dikaji secara mendalam, dapat dipahami bahwa faktor utama yang mendorong para Orientalis menyebarkan isu seputar Sunnah adalah kebencian mereka terhadap kekayaan khazanah intelektual, hukum dan peradaban Islam yang terkandung dalam Hadis, yang menjadi landasan utama para ulama berabad-abad lamanya. Bahkan dengan penuh percaya diri, para Orientalis menuduh bahwa Hadis tidak mungkin lahir dari seorang Nabi yang buta huruf, melainkan hanya merupakan wawasan peradaban kaum Muslimin selama tiga abad pertama.
            Jadi, menurut Dr. Sa'ad, yang menjadi ganjalan psikologis Orientalis adalah penolakan yang membabi buta terhadap kenabian Khâtamul-anbiyâ' (Nabi Terakhir). Inilah yang menjadi titik tolak kekeliruan pemikiran Orientalis dalam memahami Islam secara umum dan Sunnah secara khusus.
            Di sisi lain, kemampuan penelitian mereka kurang mumpuni untuk menerobos samudera ilmu Islam yang memerlukan perangkat-perangkat yang kuat. Sementara mereka datang dari benua yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Tetapi karena kecerobohannya, mereka tetap memaksakan diri untuk mengkaji Islam. Tentu saja mereka menemukan kendala yang tidak sederhana, seperti yang terjadi pada Goldzieher dalam menghadapi dua jenis riwayat yang sepintas kelihatannya kontra; riwayat yang membolehkan penulisan Hadis Nabi dan riwayat yang melarang.
            Goldzieher yang tidak mempunyai latar belakang yang kuat dalam mendalami ilmu Hadis, sudah barang tentu kebingungan dalam menghadapi kedua riwayat yang kontra di atas, sebab untuk menimbang dan mensejajarkan dua jenis riwayat tersebut agar mengeluarkan konklusi yang cemerlang memerlukan keahlian dalam ilmu-ilmu hadis.

Kerancuan Asumsi Orientalis
            Untuk menggoyahkan kepercayaan pada Sunnah Nabi dan kewahyuannya, Orientalis melontarkan berbagai asumsi. Asumsi tersebut hanya berdasarkan isu negatif semata yang kemudian dikemas dengan analisa dan gaya yang agak ilmiah. Di antara isu-isu tersebut adalah asumsi mereka bahwa Hadis Nabi tidak tercatat pada masa Nabi Muhammad dan sesudahnya sampai masa penyusunan Hadis pada abad ke tiga Hijriah. Sehingga menurut Gledzieher terdapat rentang waktu lebih dari dua abad terputusnya Nabi dengan Hadis-hadisnya. Dampaknya—menurut logika Orientalis—mengakibatkan banyak Hadis-hadis palsu yang disebarkan, sehingga sangat sulit untuk membedakan yang Shahih dan yang palsu.
            Sayangnya, asumsi tersebut salah fatal, lemah dan tidak dapat bisa dipertanggungjawabkan. Karena jika diteliti secara ilmiah serta berlandasan pada riwayat-riwayat yang otentik, maka dengan mudah isu itu akan terpatahkan dan kehilangan pijakannya. Di antara literatur yang penting dalam kasus ini ialah kitab As-Sunnah Qablat-Tadwîn, karya Muhammad 'Ajja al-Khatib yang membahas dan membuktikan kekeliruan asumsi Galdzieher dan para Orientalis sesudahnya dengan argumentasi yang kokoh.

Bukti Otentik Kodifikasi Hadis
            Prof. Muhammad Hamidullah, pakar Muslim di Sbonear, asal India adalah salah satu orang yang men-tahqîq (memberi komentar) dan menerbitkan shâhifat Hammam ibnu Muhibbin yang menjadi bukti kevalidan kodifikasi Hadis pada zaman sahabat Nabi, sebab shahifat (lembaran) itu diriwayatkan oleh Hammam ibnu Muhibbin dari Abu Hurairah ra, yang merupakan salah seorang perawi Hadis terkemuka di kalangan sahabat.
            Prof. Rif'at juga telah menerbitkan dua shahifat yang usianya cukup tua. Pertama, Shahifat Ali bin Abi Thâlib, yang disertai ta'lîq (catatan kaki). Kedua, Shahifat Hammah ibnu Muhibbîn yang telah diterbitkan oleh Hamidullah sebelumnya, namun lebih dilengkapi dengan kajian integral tentang shahifat tersebut ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga terkesan lebih berbobot dari yang pertama.
            Selain itu, Prof. Rif'at juga juga menerbitkan shahifat-shahifat yang lainnya, seperti Shahifat Ibnu 'Amr ibnu al-Ash yang cukup populer dengan istilah Ash-Shahifat as-Sâbiqah (lembaran yang pertama). 

Penutup
            Dengan bukti di atas, dapat dipastikan bahwa kodifikasi Hadis memang telah ada sejak era sahabat, apalagi telah dikuatkan dengan argumen-argumen yang otentik serta terbukti valid, semuanya mengindikasikan atas adanya kodifikasi Hadis, bukan seperti igauan Orientalis.


Referensi
  1. Sayyid Muhammad bin 'Alawi bin 'Abbas al-Maliki al-Makki al-Hasani, Al-Manhâlul Lathîf fi Usulul Hadîtsissyarîf, hal 12-13.
  2. Imam Bukhari,Shahîh Bukhâri, juz 1, hal 33.
  3. Prof. Dr. al-Azhmy,Dirasat fil-Hadisin-Nabawy
  4. Mustofa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fit-Tasyi'il-Islamy.
  5. Muhammad Abu Sahban, Difa'us-Sunnah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar