Senin, 25 Juli 2016

MENULIS, TRADISI ULAMA’ ISLAM YANG TERLUPAKAN

MENULIS, TRADISI ULAMA’ ISLAM YANG TERLUPAKAN

“Barang siapa yang tidak menuliskan suatu ilmu, maka ilmu yang ia miliki tidak dianggap sebagai suatu ilmu” (Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni)

Membaca dan tulis-menulis merupakan tradisi yang sangat erat kaitannya dengan Islam dan ulamanya, bahkan sejak dari awal kemunculan agama terakhir tersebut. “Bacalah dengan (menyebut) nama Robb-mu Yang  menciptakan”(QS Al-‘Alaq [96]: 1). Demikianlah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ayat tersebut menegaskan bahwa membaca adalah suatu perintah. Dan untuk melakukan proses membaca, sudah semestinya terdapat suatu yang dijadikan bacaan. Bacaan tersebut barang tentu tidak bisa dihasilkan kecuali dari sebuah proses tulis-menulis. Jadi, perintah membaca sejatinya secara implisit juga mengandung perintah untuk mengadakan suatu bacaan sekaligus berarti perintah untuk menulis. Oleh itu, tidak lama setelah ayat ini dan surat-surat lainnya turun, malaikat Jibril turun dengan membawa wahyu, “Nuun. Demi pena (qalam) dan apa yang mereka tulis”(QS Al-Qalam [68]: 1). Bahkan Nabi saw menegaskan bahwa makhluk pertama yang diciptakan sebelum 50.000 tahun penciptaan langit dan bumi adalah pena (qalam).

            Tradisi menulis ini pada masa awal kemunculan Islam digunakan untuk menuliskan al-Quran, surat-surat dan perjanjian-perjanjian Rasulullah, juga untuk menuliskan hadits bagi beberapa sahabat yang diizinkan oleh Rasulullah saw. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw tatkala beliau menerima wahyu, maka beliau akan menyuruh beberapa sahabat untuk menuliskannya. Dari wahyu yang tertulis -selain juga dengan hafalan- ini, para sahabat mengajarkannya kepada sahabat lain yang tidak turut hadir saat ayat tersebut dibacakan Rasulullah saw. Al-Quran dalam bentuk tulisan ini terbukti dari kisah keislaman Umar bin Khathab. Umar bin Khathab mendengar suatu yang dibacakan dari rumah saudarinya yang saat itu bersama suaminya sedang diajari al-Quran oleh Ibnu Mas’ud. Demikian juga, Rasulullah saw juga menyuruh untuk menuliskan perjanjian yang beliau adakan dengan penduduk Madinah dan Yahudi pada awal-awal hijrah. Hal yang sama dapat ditemukan pada surat-surat beliau pada para raja dan penguasa untuk mengajak mereka masuk Islam. Untuk penulisan hadits, salah seorang sahabat yang mendapat izin dari Rasulullah saw untuk menulisnya adalah Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Tidaklah mengherankan jika koleksi hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash adalah paling banyak diantara para sahabat, bahkan melebihi Abu Hurairah. Meskipun tetap yang paling banyak diriwayatkan oleh para imam hadits adalah Abu Hurairah. Abu Hurairah sendiri mengakui hal ini seraya berkata, “Tidak ada satupun dari sahabat Nabi saw yang lebih banyak (mengumpulkan) hadits dariku kecuali Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Karena ia menulis (hadits) sedang aku tidak.”
            Tradis menulis ini semakin mendapat perhatian dari kaum muslimin setelah mereka hijrah ke Madinah. Bahkan masjid-masjid di Madinah bukan hanya menjadi tempat khusus ibadah shalat, namun juga merupakan pusat kegiatan ilmiah kaum Muslimin pada saat itu. Fenomena ini digambarkan dengan sangat menarik oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam magnum opus beliau As-Sunnah Qabl At-Tadwiin. Menurutnya, pada waktu itu terdapat sekitar sembilan masjid termasuk masjid Nabawi di Madinah yang dipenuhi kaum muslimin. Di masjid-masjid tersebut, selain mempelajari al-Quran dan ajaran-ajaran Islam, mereka juga belajar membaca dan menulis. Bagi mereka yang mahir dalam baca-tulis seperti Sa’ad bin ar-Rabi’ al-Khazraji, Basyir bin Sa’ad bin Tsa’labah, Aban bin Sa’id bin al-‘Ash dll. dengan suka rela mengajarkannya kepada saudara-saudara mereka. Disamping itu, para anak-anak pun memiliki ‘sekolah’ tersendiri untuk belajar al-Quran juga membaca dan menulis (h. 299). Bahkan, lantaran perhatian yang besar terhadap baca-tulis ini, sebagaimana yang disebutkan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, Rasulullah menetapkan bagi tawanan perang Badar yang tidak mampu menebus dirinya untuk mengajari sepuluh anak-anak kaum Muslimin membaca dan menulis sebagai ganti tebusannya (h. 180). Singkatnya, meski bangsa Arab telah mengenal tradisi tulis-menulis sebelum Islam, namun tradisi ini semakin berkembang dengan pesat setelah kedatangan Islam.
            Walaupun tradisi tulis-menulis kian pesat di kalangan para sahabat di Madinah, namun kebanyakan mereka hanya menulis al-Quran yang mereka dengar dari Rasulullah saw. Keinginan mereka untuk menulis sabda Rasulullah saw mereka urungkan sebab adanya perintah beliau untuk menghapus tulisan dan catatan mereka selain al-Quran. Ini tidak berarti Rasulullah saw melarang penulisan selain al-Quran secara mutlak.  Rasulullah saw memberikan izin bahkan menyuruh salah seorang sahabat menuliskan khutbah beliau untuk Abi Syah. Al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H) dalam Taqyiid al-‘Ilm menyebutkan bahwa paling tidak ada tiga alasan para ulama lebih fokus pada penulisan al-Quran dan hafalan ilmu dibanding dengan menuliskannya pada masa itu. Pertama, agar al-Quran tidak bercampur dengan sabda Nabi saw dan pendapat para ulama, selain juga agar perhatian kaum Muslimin untuk mempelajari al-Quran lebih besar dibandingkan dengan lainnya. Kedua, agar tidak ada ketergantungan pada tulisan sehingga melupakan hafalan. Dan terakhir, agar tulisan tersebut tidak terjatuh pada bukan ahlinya sehingga mengakibatkan munculnya kesalahpahaman (h. 49-69). Dari tiga alasan di atas Al-Khathib al-Baghdadi berkesimpulan bahwa menulis merupakan suatu yang diperbolehkan dalam Islam bahkan dianjurkan (mustahabb) (h. 14). Oleh itu, untuk membuktikan inilah beliau kitab Taqyiid al-‘Ilm.
            Tradisi tulis-menulis ini mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan pada awal abad kedua hijriyah yang dimulai dari kodifikasi hadits Rasulullah saw atas prakarsa khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Masa inilah yang dikemudian hari dinamakan dengan era tadwin. Dari sini muncullah nama-nama ulama tersohor seperti Imam Malik (93-179 H) dengan Muwatta’-nya, Imam Asy-Syafi’I (150-204 H) dengan Al-Umm dan Ar-Risalah-nya, Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dengan Musnad-nya, Imam Al-Bukhari (194-256 H) dan Muslim (204-261 H) dengan kitab Shahih-mereka, dll.
            Puncak keemasan tradisi tulis-menulis ini berada pada masa kekhilafahan ‘Abbasiyah, terutama saat dipimpin oleh khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Pada masa ini lahirlah para ulama yang tidak hanya piawai saat mengajar di masjid-masjid dan madrasah-madrasah namun juga cekatan dalam melahirkan magnum opus yang menakjubkan. Menakjubkan lantaran karya tersebut terdiri dari jilid-jilidan tebal dan menghabiskan ribuan halaman. Sebut saja diantaranya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir yang lebih dikenal dengan Imam Ath-Thabari (224-310 H). Paling tidak ada dua karya menumental peninggalan Ath-Thabari; pertama Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Quran (Muassasah Ar-Risalah, 2000, 24 jld) yang dikenal dengan tafsir Ath-Thabari, dan kedua Tarikh al-Umam wa al-Mulk (Muassasah Al-A’lami, 8 jld) yang lebih masyhur dengan tarikh Ath-Thabari. Alkisah, sebelum menulis Tarikh-nya Ath-Thabari sudah ‘menantang’ para kolega dan muridnya untuk menyusun kitab sejarah sejak Nabi Adam as. hingga masa mereka setebal 30.000 halaman. Cabaran ini tidak mampu dijawab oleh mereka dan ditanggapi Ath-Thabari seraya berkata, “Inna lillah, telah mati semangat (menulis)”. Akhirnya kitab tersebut beliau padatkan menjadi 3.000 halaman (Siyar A’lam An-Nubala, jld. 14, hal. 274-5). Di kemudian hari, jejak Ath-Thabari  ini diikuti oleh Ibnu Katsir (700-774 H) dengan karya yang serupa, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim (Daar Thayyibah, 1999, 8 jld) dalam bidang tafsir dan Al-Bidayah wa An-Nihayah (Daar Ihyaa’ at-Turats al-‘Arabi, 1988, 14 jld) dalam bidang sejarah. Menariknya, Ath-Thabari bukanlah satu-satunya ulama yang berhasil membuat karya agung tersebut, masih banyak lagi ulama serupa seperti Al-Ghazali dengan Ihyaa’ ‘Uluum Ad-Diin dan Al-Mustashfa, Imam An-Nawawi dengan Syarh Shahih Muslim dan Al-Majmu’, Ibnu Hajar dengan Fath Al-Bari dan Al-Ishabah, As-Suyuthi dengan Ad-Durr Al-Mantsur dan Al-Itqan, dll. yang sulit disebutkan satu persatu. Begitulah, bagi ulama, tinta dan pena memiliki arti yang sangat penting, sepenting pedang dan tameng bagi para kesatria.

            Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dibalik lahirnya karya-karya yang begitu menomental tersebut. Pelajaran bahwa untuk menghasilkan sebuah karya terbaik diperlukan kerja keras dan kesungguhan yang kontinu dengan disertai dorongan untuk menyampaikan kebenaran dan mengagungkan Allah di muka bumi ini. Imam Adz-Dzahabi menuturkan dalam Siyar A’lam An-Nubala’ bahwa untuk menyelesaikan tafsirnya, Imam Ath-Thabari senantiasa ber-istikharah dan memohon pertolongan Allah selama hampir tiga tahun. Sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan oleh Al-Bukhari sebelum menuliskan sebuah hadits. Mengenai kerja keras dan kesungguhan mereka untuk berkarya,  Imam Adz-Dzahabi juga memberikan sebuah contoh yang begitu menarik. Ia bercerita bahwa selama rentang waktu 40 tahun Imam Ath-Thabari tidak pernah berhenti menulis dan dalam setiap harinya ia mampu menulis sebanyak 40 halaman (jld. 14, hal. 272). Mungkin karena kesungguhan mereka menegakkan kalimatullah inilah tinta para ulama di akherat nanti akan disejajarkan dengan darah para syuhada. Dan benarlah pepatah yang mengatakan, “sejarah umat Islam hanya diwarnai oleh dua warna: hitam pena ulama dan merah darah syuhada.” Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar