MENULIS, TRADISI ULAMA’ ISLAM YANG TERLUPAKAN
“Barang siapa yang tidak
menuliskan suatu ilmu, maka ilmu yang ia miliki tidak dianggap sebagai suatu
ilmu” (Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni)
Membaca
dan tulis-menulis merupakan tradisi yang sangat erat kaitannya dengan Islam dan
ulamanya, bahkan sejak dari awal kemunculan agama terakhir tersebut. “Bacalah
dengan (menyebut) nama Robb-mu Yang
menciptakan”(QS Al-‘Alaq [96]: 1). Demikianlah wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ayat tersebut menegaskan bahwa membaca
adalah suatu perintah. Dan untuk melakukan proses membaca, sudah semestinya
terdapat suatu yang dijadikan bacaan. Bacaan tersebut barang tentu tidak bisa
dihasilkan kecuali dari sebuah proses tulis-menulis. Jadi, perintah membaca
sejatinya secara implisit juga mengandung perintah untuk mengadakan suatu
bacaan sekaligus berarti perintah untuk menulis. Oleh itu, tidak lama setelah
ayat ini dan surat-surat lainnya turun, malaikat Jibril turun dengan membawa
wahyu, “Nuun. Demi pena (qalam) dan apa yang mereka tulis”(QS Al-Qalam [68]:
1). Bahkan Nabi saw menegaskan bahwa makhluk pertama yang diciptakan sebelum
50.000 tahun penciptaan langit dan bumi adalah pena (qalam).
Tradisi menulis ini pada masa awal kemunculan Islam
digunakan untuk menuliskan al-Quran, surat-surat dan perjanjian-perjanjian
Rasulullah, juga untuk menuliskan hadits bagi beberapa sahabat yang diizinkan
oleh Rasulullah saw. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw tatkala beliau
menerima wahyu, maka beliau akan menyuruh beberapa sahabat untuk menuliskannya.
Dari wahyu yang tertulis -selain juga dengan hafalan- ini, para sahabat mengajarkannya
kepada sahabat lain yang tidak turut hadir saat ayat tersebut dibacakan
Rasulullah saw. Al-Quran dalam bentuk tulisan ini terbukti dari kisah keislaman
Umar bin Khathab. Umar bin Khathab mendengar suatu yang dibacakan dari rumah
saudarinya yang saat itu bersama suaminya sedang diajari al-Quran oleh Ibnu
Mas’ud. Demikian juga, Rasulullah saw juga menyuruh untuk menuliskan perjanjian
yang beliau adakan dengan penduduk Madinah dan Yahudi pada awal-awal hijrah.
Hal yang sama dapat ditemukan pada surat-surat beliau pada para raja dan
penguasa untuk mengajak mereka masuk Islam. Untuk penulisan hadits, salah
seorang sahabat yang mendapat izin dari Rasulullah saw untuk menulisnya adalah
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Tidaklah mengherankan jika koleksi hadits
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash adalah paling banyak diantara para sahabat,
bahkan melebihi Abu Hurairah. Meskipun tetap yang paling banyak diriwayatkan
oleh para imam hadits adalah Abu Hurairah. Abu Hurairah sendiri mengakui hal
ini seraya berkata, “Tidak ada satupun dari sahabat Nabi saw yang lebih banyak
(mengumpulkan) hadits dariku kecuali Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Karena ia
menulis (hadits) sedang aku tidak.”
Tradis menulis ini semakin mendapat perhatian dari kaum
muslimin setelah mereka hijrah ke Madinah. Bahkan masjid-masjid di Madinah bukan
hanya menjadi tempat khusus ibadah shalat, namun juga merupakan pusat kegiatan
ilmiah kaum Muslimin pada saat itu. Fenomena ini digambarkan dengan sangat
menarik oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam magnum opus beliau
As-Sunnah Qabl At-Tadwiin. Menurutnya, pada waktu itu terdapat sekitar sembilan
masjid termasuk masjid Nabawi di Madinah yang dipenuhi kaum muslimin. Di
masjid-masjid tersebut, selain mempelajari al-Quran dan ajaran-ajaran Islam,
mereka juga belajar membaca dan menulis. Bagi mereka yang mahir dalam
baca-tulis seperti Sa’ad bin ar-Rabi’ al-Khazraji, Basyir bin Sa’ad bin
Tsa’labah, Aban bin Sa’id bin al-‘Ash dll. dengan suka rela mengajarkannya
kepada saudara-saudara mereka. Disamping itu, para anak-anak pun memiliki
‘sekolah’ tersendiri untuk belajar al-Quran juga membaca dan menulis (h. 299). Bahkan,
lantaran perhatian yang besar terhadap baca-tulis ini, sebagaimana yang
disebutkan Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum,
Rasulullah menetapkan bagi tawanan perang Badar yang tidak mampu menebus
dirinya untuk mengajari sepuluh anak-anak kaum Muslimin membaca dan menulis
sebagai ganti tebusannya (h. 180). Singkatnya, meski bangsa Arab telah mengenal
tradisi tulis-menulis sebelum Islam, namun tradisi ini semakin berkembang dengan
pesat setelah kedatangan Islam.
Walaupun tradisi tulis-menulis kian pesat di kalangan
para sahabat di Madinah, namun kebanyakan mereka hanya menulis al-Quran yang mereka
dengar dari Rasulullah saw. Keinginan mereka untuk menulis sabda Rasulullah saw
mereka urungkan sebab adanya perintah beliau untuk menghapus tulisan dan
catatan mereka selain al-Quran. Ini tidak berarti Rasulullah saw melarang penulisan
selain al-Quran secara mutlak. Rasulullah saw memberikan izin bahkan menyuruh
salah seorang sahabat menuliskan khutbah beliau untuk Abi Syah. Al-Khathib
al-Baghdadi (392-463 H) dalam Taqyiid al-‘Ilm menyebutkan bahwa paling tidak
ada tiga alasan para ulama lebih fokus pada penulisan al-Quran dan hafalan ilmu
dibanding dengan menuliskannya pada masa itu. Pertama, agar al-Quran
tidak bercampur dengan sabda Nabi saw dan pendapat para ulama, selain juga agar
perhatian kaum Muslimin untuk mempelajari al-Quran lebih besar dibandingkan
dengan lainnya. Kedua, agar tidak ada ketergantungan pada tulisan
sehingga melupakan hafalan. Dan terakhir, agar tulisan tersebut
tidak terjatuh pada bukan ahlinya sehingga mengakibatkan munculnya
kesalahpahaman (h. 49-69). Dari tiga alasan di atas Al-Khathib al-Baghdadi
berkesimpulan bahwa menulis merupakan suatu yang diperbolehkan dalam Islam
bahkan dianjurkan (mustahabb) (h. 14). Oleh itu, untuk membuktikan
inilah beliau kitab Taqyiid al-‘Ilm.
Tradisi tulis-menulis ini mulai menunjukkan perkembangan
yang signifikan pada awal abad kedua hijriyah yang dimulai dari kodifikasi
hadits Rasulullah saw atas prakarsa khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani
Umayyah. Masa inilah yang dikemudian hari dinamakan dengan era tadwin.
Dari sini muncullah nama-nama ulama tersohor seperti Imam Malik (93-179 H)
dengan Muwatta’-nya, Imam Asy-Syafi’I (150-204 H) dengan Al-Umm
dan Ar-Risalah-nya, Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dengan Musnad-nya,
Imam Al-Bukhari (194-256 H) dan Muslim (204-261 H) dengan kitab Shahih-mereka,
dll.
Puncak keemasan tradisi tulis-menulis ini berada pada
masa kekhilafahan ‘Abbasiyah, terutama saat dipimpin oleh khalifah Harun
Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Pada masa ini lahirlah para ulama yang tidak hanya
piawai saat mengajar di masjid-masjid dan madrasah-madrasah namun juga cekatan
dalam melahirkan magnum opus yang menakjubkan. Menakjubkan
lantaran karya tersebut terdiri dari jilid-jilidan tebal dan menghabiskan
ribuan halaman. Sebut saja diantaranya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
yang lebih dikenal dengan Imam Ath-Thabari (224-310 H). Paling tidak ada dua
karya menumental peninggalan Ath-Thabari; pertama Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
Ayy al-Quran (Muassasah Ar-Risalah, 2000, 24 jld) yang dikenal dengan
tafsir Ath-Thabari, dan kedua Tarikh al-Umam wa al-Mulk (Muassasah
Al-A’lami, 8 jld) yang lebih masyhur dengan tarikh Ath-Thabari. Alkisah,
sebelum menulis Tarikh-nya Ath-Thabari sudah ‘menantang’ para kolega dan
muridnya untuk menyusun kitab sejarah sejak Nabi Adam as. hingga masa mereka
setebal 30.000 halaman. Cabaran ini tidak mampu dijawab oleh mereka dan
ditanggapi Ath-Thabari seraya berkata, “Inna lillah, telah mati semangat
(menulis)”. Akhirnya kitab tersebut beliau padatkan menjadi 3.000 halaman (Siyar
A’lam An-Nubala, jld. 14, hal. 274-5). Di kemudian hari, jejak
Ath-Thabari ini diikuti oleh Ibnu Katsir
(700-774 H) dengan karya yang serupa, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim
(Daar Thayyibah, 1999, 8 jld) dalam bidang tafsir dan Al-Bidayah wa
An-Nihayah (Daar Ihyaa’ at-Turats al-‘Arabi, 1988, 14 jld) dalam bidang
sejarah. Menariknya, Ath-Thabari bukanlah satu-satunya ulama yang berhasil
membuat karya agung tersebut, masih banyak lagi ulama serupa seperti Al-Ghazali
dengan Ihyaa’ ‘Uluum Ad-Diin dan Al-Mustashfa, Imam
An-Nawawi dengan Syarh Shahih Muslim dan Al-Majmu’, Ibnu Hajar
dengan Fath Al-Bari dan Al-Ishabah, As-Suyuthi dengan Ad-Durr
Al-Mantsur dan Al-Itqan, dll. yang sulit disebutkan satu persatu.
Begitulah, bagi ulama, tinta dan pena memiliki arti yang sangat penting,
sepenting pedang dan tameng bagi para kesatria.
Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dibalik
lahirnya karya-karya yang begitu menomental tersebut. Pelajaran bahwa untuk
menghasilkan sebuah karya terbaik diperlukan kerja keras dan kesungguhan yang
kontinu dengan disertai dorongan untuk menyampaikan kebenaran dan mengagungkan
Allah di muka bumi ini. Imam Adz-Dzahabi menuturkan dalam Siyar A’lam
An-Nubala’ bahwa untuk menyelesaikan tafsirnya, Imam Ath-Thabari senantiasa
ber-istikharah dan memohon pertolongan Allah selama hampir tiga tahun.
Sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan oleh Al-Bukhari sebelum menuliskan
sebuah hadits. Mengenai kerja keras dan kesungguhan mereka untuk berkarya, Imam Adz-Dzahabi juga memberikan sebuah contoh
yang begitu menarik. Ia bercerita bahwa selama rentang waktu 40 tahun Imam
Ath-Thabari tidak pernah berhenti menulis dan dalam setiap harinya ia mampu
menulis sebanyak 40 halaman (jld. 14, hal. 272). Mungkin karena kesungguhan
mereka menegakkan kalimatullah inilah tinta para ulama di akherat nanti akan
disejajarkan dengan darah para syuhada. Dan benarlah pepatah yang mengatakan, “sejarah
umat Islam hanya diwarnai oleh dua warna: hitam pena ulama dan merah darah
syuhada.” Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar