Tafsir dalam Era Globalisasi
Oleh: Thoriqul Islam
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan
Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal
menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik
Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy".
Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan
bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang
pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya
terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu
berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain,
akibat perbedaan budaya dan peradaban. Dari satu sisi, apa yang ditekankan di
atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan
Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa.
Dan tentunya, pemahaman manusia -termasuk terhadap Al-Quran- akan banyak
dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari
itu, di dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan
masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang
dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai
adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat
kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya
terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan
perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat
penulis, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang
pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan
lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak
persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam akidah, syari'ah, dan akhlak
yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat
melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak
kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan
globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling
mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap
masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat
Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat lain dan yang mungkin
akan menjadi bahan pertimbangan untuk meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa
kekhususan tersebut adalah keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi,
walaupun hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang khas
Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India, misalnya, juga merupakan
masyarakat plural di mana berbagai etnis dan agama hidup berdampingan dengan
segala suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua
umat Islam untuk membumikan Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas
kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk
pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer, yakni
dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus
tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif
masyarakat.
Dua persoalan pokok, yang
berkaitan dengan dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar lain:
1. Asbab Al-Nuzul
Al-Quran tidak turun dalam
satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan
sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa
arti "sebab" dalam rumusan di atas walaupun tidak dipahami dalam arti
kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an
qadim" tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu
berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan
bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan
dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.
Seperti diketahui setiap
asbab al-nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan
mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu
tertentu dan tanpa pelaku.
Pengertian asbab al-nuzul
dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa
turunnya Al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang
pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.
2. Ta'wil
Pemahaman liternal
terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau
ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan
dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan
menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang
mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak,
apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah
dan para mufassir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil,
tamtsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna,
berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak
menyimpang darinya.
Tentunya kita tidak dapat
menggunakan ta'wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:
Pertama, makna yang dipilih
sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
Kedua, arti yang dipilih
dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat
membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern
dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan
ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu
ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor
kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan
prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar