Minggu, 22 November 2015

Opini

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT WORDLVIEW BARAT
Oleh: Muhammad Thoriqul Islam


Ilmu ialah ketibaan sesuatu makna, hasil daripada maklumat yang benar ke dalam diri seseorang.
(Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas)


Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Tinjauan Historis
Islamisasi merupakan karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (wordlview) yang di dalamnya terdapat urgensi integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (teologi). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memperhatikan bahkan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan memiliki worldview yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pertama kali dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, seorang ilmuwan kelahiran Palestina yang bermukim di Amerika. Ia melontarkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan dibarengi dengan pendirian sebuah lembaga penelitian International Institute of Islamic Thought yang terkenal dengan III-T.
Namun demikian di Malaysia terdapat versi lain, yaitu menurut al-Attas Islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidak bebas nilai (value-free), tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu tersebar luas ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat islam telah di warnai corak budaya dan peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan berupa pengetahuan semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptifisme (skeptisisme). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni filosofis Yunani. Namun berkat kegigihan para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan Yunani dapat digali dan di kembangkan.
Pandangan Barat, kebenaran dan realitas tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia sebagai makhluk fisik sekaligus makhluk rasional.
Sedangkan pandangan Islam, menurut al-Attas adalah realitas dan kebenaran bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya akan tetapi berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan mengkontrol peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan menurut al-Faruqi latar belakang islamisasi  adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama.
Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus di islamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai di kotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Mafhum Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam.
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Jadi, Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan
            Menurut pandangan al-Attas, sebelum konsep Islamisasi ilmu pengetahuan itu dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan Islamisasi bahasa. Menurutnya, Islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.
            Dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.    Mengkoordinasi unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.  Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.  Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanisme (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.       Konsep Agama (ad-din)
b.      Konsep Manusia (al-insan)
c.       Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.      Konsep kearifan (al-hikmah)
e.       Konsep keadilan (al-‘adl)
f.       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).           
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dari proses di atas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an. Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau visi hakikat kepada manusia.
Sedangkan menurut al-Faruqi konsep dasar islamisasi ilmu pengetahuan adalah islamisasi ilmu yang berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
d. Kesatuan hidup
e. Kesatuan umat manusia.
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan menurut worldview Barat dapat dilihat dari dua sisi yaitu menurut Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus di islamisasikan. Ketiga, jika al-Attas mengawali dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai di kotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar