ISLAMISASI ILMU
PENGETAHUAN MENURUT WORDLVIEW BARAT
Oleh: Muhammad
Thoriqul Islam
Ilmu ialah ketibaan sesuatu makna, hasil daripada maklumat yang benar ke
dalam diri seseorang.
(Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas)
Islamisasi Ilmu Pengetahuan:
Tinjauan Historis
Islamisasi merupakan
karakter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (wordlview) yang di
dalamnya terdapat urgensi integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan
konsep Tuhan (teologi). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang
memperhatikan bahkan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan memiliki worldview
yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara
historis, Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pertama kali dilontarkan oleh
Ismail Raji al-Faruqi, seorang ilmuwan kelahiran Palestina yang bermukim di
Amerika. Ia melontarkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan dibarengi dengan
pendirian sebuah lembaga penelitian International Institute of Islamic Thought
yang terkenal dengan III-T.
Namun demikian
di Malaysia terdapat versi lain, yaitu menurut al-Attas Islamisasi ilmu
pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat
netral, sehingga tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidak bebas
nilai (value-free), tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu
tersebar luas ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat islam telah di
warnai corak budaya dan peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan
dibawakan berupa pengetahuan semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati
(the real) sehingga manusia mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan
menerima pengetahuan yang sejati.
Menurut
al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan
skeptifisme (skeptisisme). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam
keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Sejatinya, Islam
telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam
pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa
sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni filosofis Yunani. Namun
berkat kegigihan para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan
Yunani dapat digali dan di kembangkan.
Pandangan
Barat, kebenaran dan realitas tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu
dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis
filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama
berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia sebagai makhluk
fisik sekaligus makhluk rasional.
Sedangkan
pandangan Islam, menurut al-Attas adalah realitas dan kebenaran bukanlah
semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah,
sosial, politik, dan budaya akan tetapi berdasarkan kajian metafisika terhadap
dunia yang nampak dan tidak nampak. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba
menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan
mengkontrol peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan
menurut al-Faruqi latar belakang islamisasi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam
keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada
pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan.
Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada
literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau
tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber
kreativitas yang semestinya dipertahankan.
Walaupun dalam
aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun
al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan
yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama.
Dari situlah
kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan
dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang
dihadapi umat, maka pengetahuan harus di islamisasikan atau diadakan asimilasi
pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat
kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini,
maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa
oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai di kotomisme. Dan
nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid.
Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika
al-Attas melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam
sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat
sedangkan al-Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu
sendiri.
Mafhum Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Secara umum,
istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan
menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal,
tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari
nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran
universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan
kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam.
Bagi al-Attas,
pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum.
Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari
tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler
(secularism).
Al-Attas juga
memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen
jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada
rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua
tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan
Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan
pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses
ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya
(original nature).
Jadi, Islamisasi
ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada
ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan
dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu
Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari
dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical),
mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural
tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah
pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang
condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong
untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian
dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi
Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu
proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
Sedangkan
menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang
islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi
ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan
rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan
tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi
dan perjuangan Islam.
Islamisasi
ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut pandang ilmu
terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan
berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun
ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan
pada tauhid.
Dari mafhum
islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka
terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu
pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis
(magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan
al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu
itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data,
memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin
itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Konsep
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut pandangan al-Attas, sebelum
konsep Islamisasi ilmu pengetahuan itu dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan
Islamisasi bahasa. Menurutnya, Islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an
sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran
dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan
islamisasi nalar atau pikiran.
Dalam prosesnya, islamisasi yang
dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1. Mengkoordinasi unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
a. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan
manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular
worldview).
d. Membela
doktrin humanisme (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan
drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
2. Memasukkan
unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep
utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep
utama Islam tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (ad-din)
b. Konsep Manusia (al-insan)
c. Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah)
d. Konsep kearifan (al-hikmah)
e. Konsep keadilan (al-‘adl)
f. Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g. Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Jadi menurut
al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang
saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan
konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, kedua, memasukkan
unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dari proses di atas,
al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini
dibuktikan oleh al-Qur’an. Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas
berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia
(worldview) atau visi hakikat kepada manusia.
Sedangkan
menurut al-Faruqi konsep dasar islamisasi ilmu pengetahuan adalah islamisasi
ilmu yang berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu
pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa
prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara
hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan
Allah.
b. Kesatuan
alam semesta.
c. Kesatuan
kebenaran dan kesatuan pengetahuan
d. Kesatuan
hidup
e. Kesatuan
umat manusia.
Berdasarkan
pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan menurut worldview Barat dapat dilihat dari dua sisi yaitu
menurut Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Pertama, jika
al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih
mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu
kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa
semua ilmu harus di islamisasikan. Ketiga, jika al-Attas mengawali
dengan melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang
ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan
al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Terlepas dari
perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas
dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua
tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu
tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya
juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang
menjunjung tinggi nilai di kotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan
dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut
mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem
pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan
mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk
mengatasi problematika umat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar