PEMIMPIN MUSLIM VS PEMIMPIN NON-MUSLIM
(TANGGAPAN
UNTUK MASYARAKAT INDONESIA)
Pendahuluan
Perbincangan dan diskusi mengenai pemimpin memang
tidak akan ada habisnya. Hal itu disebabkan, figur pemimpin yang adil dan
beradab pada zaman modern ini semakin langka dan sulit dicari.[1]
Pada saat ini kepemimpinan hanyalah dianggap sebagai jabatan, bahkan digunakan
sebagai sarana pamer-memamerkan diri.
Jika
kita melihat dan berkaca pada masa kepemimpinan atau khilafah di zaman rasul
dan khulafa ar-Rasyidin, kita akan mengetahui bahwasanya dizaman itu,
para khalifah akan berpikir panjang untuk mau menjadi pemimpin kaum
dikarenakan ketakutannya apabila ia tidak bisa membawa kaumnya ke jalan yang
baik dan benar, disamping itu, mereka juga takut akan dosa yang akan ditanggung
jika tidak bisa berlaku adil dalam memimpin.
Beda
halnya dengan keadaan pada zaman modern saat ini, mayoritas pemimpin hanya
ingin berlomba-lomba dalam popularitas, mementingkan jabatan tanpa berpikir
panjang tentang bagaimana masayarakat yang akan dipimpinnya, mau diarahkan
kemanakah masyarakat tersebut, bahkan masih ada juga pemimpin yang hanya ingin
mementingkan diri sendiri tanpa menyadari bahwa mereka punya tanggung jawab
besar.
Ada kecenderungan rakyat Indonesia untuk memilih
pemimpin berdasarkan popularitasnya. Hasil pendapat sering menjadi patokan
dalam memilih, tak peduli dengan kualitas sang calon pemimpin, bahkan mengenai
agama mereka. Padahal, Allah SWT melarang umat Islam untuk menjadikan
orang-orang kafr sebagai pemimpin.[2]
Kecenderungan umat memilih pemimpin non-Muslim boleh jadi karena mereka tidak
mengetahui akan larangan Allah.
Keberhasilan suatu negara dapat terlihat dari sosok
pemimpinnya. Apabila sang pemimpin memegang syari’at Islam, maka kemaslahatan
rakyat akan terwujud. Begitu juga sebaliknya, apabila kepemimpinan dipegang
non-Muslim, maka kehancuran sedikit demi sedikit akan bermunculan.
Maka
dari itu, penulis ingin memaparkan lebih lanjut tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan pemimpin Islam dan Non-Islam.
PENGERTIAN PEMIMPIN
Dalam
Bahasa Indonesia, “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina,
panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja,
tua-tua, dan sebagainya.
Pemimpin
adalah seorang pribadi yang yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya
kecakapan pada satu bidang sehingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa
tujuan. (Kartini Kartono, 1994:181)[3]
1). Pemimpin Dalam Perspektif
Islam
Dalam Islam,
istilah pemimpin dikenal dengan istilah khalifah,
imam, dan ulil amri. Khalifah diartikan sebagai kepala
negara dalam pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks
kerajaan dikenal dengan kata sulthan. Khalifah juga dapat diartikan
sebagai wakil Tuhan di muka bumi (Raharjo, 1996). Wakil Tuhan terdiri dari dua
macam. Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua,
fungsi manusia itu sendiri sebagai ciptaaan Tuhan yang paling sempurna.
Imam atau imamah diartikan secara lebih spesifik
untuk menyebut pemuka agama, pemimpin keagamaan, atau pemimpin spiritual yang
diikuti dan diteladani nasihat-nasihatnya oleh pengikut-pengikutnya. Dalam
beberapa hadist, imam sering diartikan sebagai pemimpin atau penguasa
yang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat.
Ulil amri dapat diartikan
sebagai pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin militer atau tokoh-tokoh
masyarakat yang menjadi tumpuan bagi umat, menerima kepercayaan atau amanat
dari masyarakat. Selain itu, ulul amri dapat berarti orang-orang cerdik pandai
yang dikenal oleh umat sebagai orang yang ahli dalam berbagai bidang serta
mengerti kepentingan.
Dalam
Islam, seorang pemimpin harus mempunyai sifat: siddiq (jujur, benar,
berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan), fatanah (cerdas,
memiliki intelektualitas tinggi dan profesional), amanah (dapat
dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel) dan tabligh (senantiasa
menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib
disampaikan dan komunikatif).
Dalam
prinsip Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk menemukan kebahagiaan dan
keselamatan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang dimaksud tidak hanya
menyangkut kebutuhan jasmani (materiil), tetapi jugarohani (spiritual).
Keinginan
untuk membahagiakan dan menyelamatkan manusia merupakan salah satu misi Islam.
Para nabi dan rasul diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan manusia cara
untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan, dan manusia diperintahkan untuk
meniru dan meneladani para nabi dan rasul tersebut. Hal ini dikenal dengan
istilah misi profetik (prophrtical mission).
2). Pemimpin Dalam Perspektif
Non-Islam
Dalam
Al-Kitab, pemimpin harus memiliki sifat dasar: bertanggungjawab, berorientasi
pada sasaran, tegas, cakap, bertumbuh, memberikan teladan, dapat membangkitkan
semangat, jujur, setia, murah hati, rendah hati, efisien, memerhatikan, mampu
berkomunikasi, dapat mempersatukan dan dapat mengajak.[4]
Pada
ajaran Budha dikenal dengan dasa raja dhamma yang terdiri atas: dhana
(suka menolong), sila (bermoralitas tinggi), paricaga
(mengorbankan segala sesuatu demi rakyat), ajjawa (jujur dan bersih), maddava
(ramah-tamah dan sopan santun), tapa (sederhana dalam penghidupan), akkhoda
(bebas dari kebencian dan permusuhan), avihimsa (tanpa kekerasan),
khanti (sabar, rendah hati, dan pemaaf) dan avirodha (tidak
menentang dan tidak menghalang-halangi).[5]
Pada
ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah-istilah: Panca
Stiti Dharmeng Prabh (lima ajaran seorang pemimpin), Catur Kotamaning
Nrepati (empat sifat utama seorang pemimpin), Asta Bratla (delapan
sifat mulia para dewa) dan Catur Naya Sandhi (empat tindakan seorang
pemimpin), yaitu: Sama (dapat menandingi kekuatan musuh), Bheda (dapat
melaksanakan tata tertib dan disiplin kerja), Dhana (dapat mengutamakan
sandang dan papan untuk rakyat) dan Dandha (dapat menghukum dengan adil
mereka yang bersalah).
KRITERIA
PEMIMPIN IDEAL
Kriteria
pemimpin ideal juga disebutkan didalam Al-Qur’an. Ini tergambar pada Nabi
Ibrahim. Didalam surah Al-Nahl ayat 120 dijelaskan bahwa, seorang pemimpin
sekurang-kurangnya haruslah mempunyai tiga hal.”Qonit li Allah” tunduk
patuh kepada perintah Allah, “hanif” lurus pada kebenaran, dan
“syukur”. Maka, dapat kita artikan bahwa, pemimpin harus senantiasa taat
dan tunduk, tidak ragu, dan mengingkari keberadaan Allah, tidak pula menyimpang
serta membantah perintah Nya. Maka konsekuensinya adalah, seorang pemimpin
hendaknya jauh dari sifat relativ, agnostis, dan pluralis dalam berkeyakina
kepada Allah, apalagi kafir terhadap Allah.
Selain
dari pada itu prlu kita sadari bahwa, menjadi seorang pemimpin bukanlah hal
yang mudah untuk dipegang. Melainkan kepemimpinan tersebut tidak lain dari pada
sebuah Amanah besar. Selain, Amanah pemimpin juga harus berilmu, karena bila ia
berpengetahuan, berarti ia mengetahui tugas-tugas yang akan ia kerjakan, lalu
bertanggungjawab atas pekerjaan itu. Dan sebaliknya, pekerjaan yang tidak
berdasarkan pada ilmu, hanya akan menghasilkan sesuatu yang merusak.
Dari
kriteria yang telah kita bahas diatas, terlihat bahwa seorang pemimpin tidaklah
harus tinggi ilmu agamanya, dalam arti tidaklah harus setingkat ulama,
melainkan harus memiliki ketrampila leadership
serta amanah.[6]
Namun perlu kita garis bawahi bahwa, tidak setingkat ulama bukan berarti buta
Agama atau bahkan sekuler atau liberal. Sebab seseorang tidak akan Amanah jika
tidak patuh dan tidak berpegang teguh pada syari’ah. Maka, pemimpin haruslah
memahami syari’ah. Bila tidak demikian, ia bisa lepas dari tuhannya dan jauh
dari masyarakatnya. Karena, seorang pemimpin memiliki dua tugas utama;
beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada banyak orang. Kemudian, jika
seorang pemimpin tidak berpegang teguh pada syariah saja bisa membawa
masyarakat ke dalam kehancuran, apalagi seorang oemimpin yang tidak beragama
Islam? Dengan kata lain, menganut agama selain Islam.
Maka,
disinilah kita sebagai orang yang paham dan tahu kewajiban untuk memilih
pemimpin muslim untuk memahamkan kepada seluruh masyarakat yang belum paham
akan hal ini, disamping itu perlu adanya da’wah yang benar-benarbisa
menyadarkan msyarakat Indonesia akan bahaya memilih pemimpin non muslim.
FENOMENA
PEMIMPIN DI INDONESIA
Di
berbagai daerah di negara Indonesia, bisa kita jumpai bahwa kepala atau
pemimpin daerah tersebut dari umat Kristen, padahal sudah jelas dikatakan bahwa
kristen adalah kaum kafir. Bahkan, di daerah Ibukota negara kita pun dipimpin
oleh seorang yang menganut agama Kristen. Ya, masyarakat Indonesia memang sudah
terlanjur tertarik dengan semua kebaikan
yang diberikan oleh wakil rakyat tersebut tanpa memikirkan apa misi dibalik
semua kebaikannya. Bahkan sebagian dari masyarakat Indonesia ada yang
mengatakan “dia Kristen, tapi dia Islami”. Saat ini mungkin masyarakat
Indonesia belum merasakan akibat dan pengaruh dari semua misi, padahal dibalik
itu ada misi Kristenisasi.
Ketika walikota
Surabaya, Risma, tengah berupaya keras menutup Gang Dolly (pusat prostitusi
terbesar di Asia Tenggara), Ahok justru akan melokalisasi prostitusi di DKI
Jakarta. Ini sama saja Ahok ingin melegalkan perzinahan di Jakarta.
HAKIKAT
PEMIMPIN UNTUK INDONESIA
Tegaknya
suatu pemerintahan yang stabil, setidaknya harus memenuhi tiga kualifukasi yang
saling berkaitan antara penguasa dan rakyat, yaitu keadilan dari penguasa,
ketaatan dari rakyat dan adanya musyawarah antara penguasa dan rakyat.[7]
Khliafah
dan imamah merupakan sistem kepemimpinan negara dalam masyarakat Muslim yang
dipandang relevan dengan syariat Islam. Khilafah adalah suatu bentuk kekuasaan
yang menjalankan pemerintahan setelah Nabi Muhammad SAW.
Kepemimpinan
dalam Islam hakikatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan umat. Allah
memberikan amanah kepada pemimpin untuk mengatur urusan orang yang dipimpinnya,
mengarahkan manusia yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan bersama dan menjaga
serta melindungi kepentingan yang dipimpinya.
Kunci
pokok dari khilafah adalah model pengganti penguasa dalam memimpin pemerintahan
Islam. Pedoman dasar khilafah dalam menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan
norma dan hukum Tuhan. Khilafah merupakan pondasi demokrasi dalam Islam yang
menyesuaikan keseimbangan antara individu dan kolektif.
Ada
baiknya jikalau pemimpin memperbaiki kebijakan politik luar negerinya dengan
memperbanyak persahabatan, misalkan Indonesia sebagai negara berkembang
menjalin persahabatan dengan negara-negara sederajat, baik di kawasan Asia
maupun Timur Tengah, Afrika maupun Amerika Latin.[8]
Tapi, dengan menjalin persahabatan dengan negara lain bukan berarti negara
Indonesia selalu bergantung pada negara tersebut. Ada baiknya jika mengambil
beberapa komponen yang bisa di contoh dan di ikuti oleh negara Indonesia,
misalnya dalam hal peraturan, teknologi, dan lain sebagainya selama itu tidak
bertentangan dengan ajaran syari’at dan dapat mendatangkan manfaat atau
perubahan positif bagi rakyat dan masyarakat Indonesia.
Dalam
berbagai literatur yang membahas kepemimpinan dalam Islam dapat dikemukakan
beberapa dasar-dasar kepemimpinan Islam yang salah satunya adalah tidak
mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pmmpin bagi
orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi lebih lanjut terhadap
kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Rasulullah pernah
bersabda,”keberagamaan rakyat tergantung keberagamaan pemimpinnya.”
Allah
telah memberi patokan, bagaimana kaum muslim dalam mengangkat pemimpinnya.
Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya,
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali (pelindung, pemimpin) dengan meninggalakan orang-orang mukmin. Apakah kamu
ingin menjadikan itu sebagai alasan bagi Allah umtuk menimpakan siksaan yang
nyata?”[9]
Dari
hadits dan firman Allah diatas dapat kita simpulalkan bahwa Allah telah melarang
kita sebagai umat muslim untuk menjadikan seorang kafir sebagai kepala atau
pemimpin kita.
Kemudian,
pemimpin seperti apakah yang diinginkan masyarakat Indonesia saat ini?
Pertanyaan ini mungkin selalu terdetik di benak setiap orang yang benar-benar memikirkan
kepemimpinan terbaik untuk Indonesia. Maka, sebagai orang yang tahu dan paham,
inilah saatnya kita menyadarkan masyarakat yang belum paham akan pentingnya
pemimpin muslim di negara kita ini yang terkenal dengan masyarakatnya yang
mayoritas adalah Islam.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah kita bahas diatas, terlihat bahwa seorang pemimpin
tidaklah harus tinggi ilmu agamanya, dalam arti tidaklah harus setingkat ulama,
melainkan harus memiliki ketrampilan leadership
serta amanah.[10]
Namun perlu kita garis bawahi bahwa, tidak setingkat ulama bukan berarti buta
Agama atau bahkan sekuler atau liberal. Sebab seseorang tidak akan Amanah jika
tidak patuh dan tidak berpegang teguh pada syari’ah. Maka, pemimpin haruslah
memahami syari’ah. Bila tidak demikian, ia bisa lepas dari tuhannya dan jauh
dari masyarakatnya. Karena, seorang pemimpin memiliki dua tugas utama;
beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada banyak orang. Kemudian, jika
seorang pemimpin tidak berpegang teguh pada syariah saja bisa membawa
masyarakat ke dalam kehancuran, apalagi seorang pemimpin yang tidak beragama
Islam? Dengan kata lain, menganut agama selain Islam.
Maka,
disinilah kita sebagai orang yang paham dan tahu kewajiban untuk memilih
pemimpin muslim untuk memahamkan kepada seluruh masyarakat yang belum paham
akan hal ini, disamping itu perlu adanya da’wah yang benar-benar bisa
menyadarkan masyarakat Indonesia akan bahaya memilih pemimpin non muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Moedjiono,
Imam. 2002. Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press
Syafii Maarif, Ahmad. 2006.
Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Pustaka LP3ES
Dimyati, Hamdan. 2014. Model
Kepemimpinan & Sistem Pengambilan Keputusan. Bandung: PUSTAKA SETIA
Susetya, Wawan. 2007.
Menyingkap Tabir Cakrawala Kepemimpinan. Yogyakarta: Tugu
Majalah GONTOR, Edisi 11,
Tahun XIII Rajab-Sya’ban 1437/Maret 2016