Konsep
Free Will dalam Perspektif al-Qur’an
A. Pendahuluan
Manusia
merupakan makhluk yang multi-dimensi. Mengkaji manusia hanya dari satu
dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapabilitas manusia, serta
menjadikannya sebagai subjek-objek yang statis. Hakikat manusia tidak akan
pernah ditemukan secara utuh karena setiap kali seseorang selesai memahami satu
dimensi manusia, maka kemudian akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.[1] Alexis
Carrel mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat
keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[2]
Pada
masa Renaissance, unsur yang paling utama diambil dalam keterkaitannya dengan
manusia adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan
halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud secara leluasa.
Sedangkan dari masa aufklarung, yang diambil adalah moral rasionalismenya,
keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas dan pembebasan dari
rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka
diizinkan atau tidak diizinkan oleh wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh
adat kebiasaan.[3]
Kebebasan
bisa mempunyai banyak arti, tergantung dari perspektif mana ia pandang. Jika
salah dalam memandang, maka kebebasan justru dapat dijadikan legitimasi untuk
berbuat sesuatu yang tidak benar. Dengan kata lain, manusia mempergunakan
kebebasannya untuk menciptakan dan memainkan peranan sendiri tanpa ditentukan
oleh faktor di luar manusia. Oleh karena itu, kebebasan merupakan salah satu
hak dasar bagi setiap manusia.
B. Epistemologi Konsep
Free Will
Pada
hakekatnya, arti free will adalah kebebasan berkehendak. Secara lughowi
kebebasan berasal dari kata “bebas” mempunyai beberapa arti, yaitu pertama,
lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu, dan sebagainya, sehingga boleh
bergerak, bercakap). Kedua, lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan
dan sebagainya) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya) tidak terikat
atau terbatas. Ketiga, merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi
negara lain).[4]
Secara
istilah menurut Nasution dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat bahwa, kebebasan
manusia itu tidak mutlak, artinya seseorang dapat melakukan apa saja yang
dikehendaki,
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah sikap hidup
seseorang yang terlepas dari belenggu kekerasan, perbudakan, perkosaan,
ketakutan dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
C.
Free Will Menurut Qadariyah dan Jabariyah
Secara
historis ada dua kelompok yang bertolak belakang dalam menanggapi konsep
perbuatan manusia, mereka adalah Qodariyah dan Jabariyah. Qodariyah
berpandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia
berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada tuhan atas kehendak dan
kemauannya sendiri, dan daya (al-istitā’ah) untuk mewujudkan kehendak
itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[5] Dengan
demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia memiliki
kemampuan (qadr). Dalam Istilah Inggris paham ini dikenal dengan nama free
will dan free act.[6]
Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam melakukan kehendak dan perbuatannya. Manusia sama sekali terikat pada
kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.dalam Istilah Inggris paham ini
disebut fatalism atau predestination.[7]
Paham
Qadariyah tentang kebebasan manusia ternyata di adopsi oleh aliran teologi yang
bercorak rasional yaitu Mu’tazilah. Mu’tazilah melalui tokohnya, Qādi ‘Abd al-Jabbar
(w. 1204 M) berpandangan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, sebab
jika Tuhan menciptakannya, berarti manusia tidak berhak mendapakan di akhirat.
Jadi perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, dan itu merupakan perwujudan
dari manusia itu sendiri yang di hasilkan dari daya yang bersifat baru. Jika
Allah menciptakaan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia bukan perbuatan
bagi mereka. Oleh karena itu batallah taklīf (tanggung jawab) dan batallah
janji dan ancaman Allah.[8] Maka
muncul pertanyaan, jika memang perbuatan itu hasil cipta manusia, kemudian dari
mana daya kreatif itu berasal?
‘Abd
al-Jabbar menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut:
Yang
di maksud dengan Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya ialah
bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia, dan pada daya ini
bergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang di maksud bahwa Tuhan membuat
perbuatan yang di buat manusia. Tidaklah mungkin bahwa tuhan dapat mewujudkan
perbuatan yang telah di wujudkan manusia.[9]
Jadi
Mu’tazilah tidak sependapat dengan pernyataan bahwa dua daya dapat memberi efek
sama kepada perbuatan yang satu. Untuk setiap perbuatan, hanya ada satu daya
yang mempunyai efek.
Menanggapi
Mu’tazilah tentang doktrin kebebasan berkendak, Rahman berpendapat: ajaran
mengenai kebebasan kehendak manusia sebagai mana di ajukan oleh Mu’tazilah
secepatnya menjadi bagian dari konsep teologi yang lebih luas mengenai keadilan
Allah dan menghilangkan aspeknya yang asal yaitu kebebasn dan tanggung jawab
manuisa. Dari unsur-unsur yang beragam dari konsp al-Qur’an mengenai Tuhan
kekuasaan pengasih, kehendak dan keadilan-Nya, mereka memisahkan unsur yang
terakhir atau keadilan dan meletaknya dalam kesimpulan yang logis bahwa Allah
tidak dapat berbuat yang tidak masuk akal dan tidak adil.[10]
Oleh
karena itu, doktrin yang muncul kepermukaan bukan lagi kebebasan berkendak
manusia, namun ketidakmungkinan Tuhan untuk berbuat yang tidak masuk akal dan
tidak adil. Konsekuensinya teori tentang rahmat dan kemurahan Tuhan mereka
tafsirkan dalam batas- batas kemestiaan dan kewajiban: Tuhan harus berbuat
sebaik-baiknya bagi manusia, ia harus mengutus nabi-nabi dan menurunkan wahyu
kepada manusia. Apabila dia tidak berbuat baik untuk manusia, maka berarti ia
tidak adil dan bukan Tuhan.
D.
Konsep Free Will dalam Perspektif al-Qur’an
Dalam
Al-Qur’an disebutkan beberapa macam/ bentuk kebebasan manusia diantaranya:
a).
Kebebasan Beragama
Kebebasan
beragama adalah hak untuk memeluk suatu kepercayaan dan melakukan suatu
peribadatan dengan bebas tanpa diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah
SWT di dalam al-Qur’an Surat Yunus 99, berbunyi:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى
يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya, maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semua.”
Pengakuan
terhadap kebebasan beraqidah diberikan kepada manusia semata-mata akibat
kebebasan dan kesanggupannya mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut.[11] Bentuk
umum terhadap toleransi dan penghargaan Islam terhadap kebebasan beraqidah dan beragama
tidak cukup hanya dengan menebarkan keseluruh ufuk yang luas dan meninggi yang
mencakup seluruh manusia, akan tetapi Islam dengan pengakuannya terhadap
kebebasan beragama, mewajibkan kepada pemeluk-pemeluknya untuk memeluk agama,
beraqidah dan berperangai tidak hanya sekedar toleransi bersikap baik maupun perdamaian
belaka tapi juga harus bisa membentuk kepribadianyg baik yang disadari oleh
nilai-nilai agama.
Oleh
karena itu manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh
untuk memilih jalannya masing-masing dan diberi kesadaran moral untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan hati nuraninya atas bimbingan
wahyu.[12]
b).
Kebebasan Berfikir dan Mengemukakan Pendapat
Dalam
hal ini kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat telah dijelaskan di dalam
firman Allah Swt.surat al-Baqarah 260:
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ
تُؤْمِن قَالَ بَلَى وَلَكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً
مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ
مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللهَ
عَزِيزٌ حَكِيمُ
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman, Belum yakinkah
kamu? Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku)”, Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor
burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di
atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian
panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. “Dan ketahuilah
bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Menurut
pemikiran yang populer kasus pertanyaan Ibrahim itu, biasanya bisa diterapkan
dalam kerangka pikiran ilmiah, tetapi tidak dapat digunakan untuk
mempertanyakan soal-soal yang telah di tetapkan agama sebagai ketetapan hukum
baku yang menuntut ketetapan adanya ketundukan mutlak. Tujuan al-Qur‘an
menceritakan kisah tentang Ibrahim agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi
manusia sebagai bentuk nyata dari kebebasan itu, perdebatan yang benar dalam
masalah keagamaan dan berbagai masalah yang berkaitan dengannya.
c).
Kebebasan Berkehendak
Di
jelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat: 11
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا
مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum
maka tak ada yang dapat menolongnya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.”
Dari
ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kejujuran akan membawa kepada kebajikan,
maka mensucikan akhlak manusia, berkata baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu
yang bermanfaat. Sedangkan kejahatan atau dosa akan menjadikan manusia
terjerumus kedalam kesesatan yang akan mengantarkannya ke neraka. Atas dasar
itulah muncul adanya tanggungjawab terhadap niat dan kehendaknya, maka niat dan
kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus
dalam pertanggungjawabannya. Allah SWT hanya menunjukkan jalan yang seyogyanya
diikuti manusia mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu manusia
harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan penyelamatan ini hanya dapat dilakukan
oleh orang yang beriman dan beramal shaleh.
E. Kesimpulan
Berkaitan
dengan diskripsi di atas, dapat disimpulkan bahawa free will atau
kebebasan berkehendak adalah salah satu keunikan tersendiri yang dimiliki
manusia, karena manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak yang akan
dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah
ditentukan.
Dengan
kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur
tangan Allah Swt, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela
tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat
adalah Allah Swt.
Daftar
Pustaka
Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar
Menjadi Insan Paripurna Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera.
2010.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Ma’arif, Syafi’. Pendidikan Islam di
Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. 1976.
Syahrastānī. al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dār al-Fikr. 1997.
Nasution, Harun. Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 2010.
Zuhdi Jar Allah. al-Mu’tazilah. Beirut:
al-Ahliyyah al-Nasr wa al-Tawzi’. 1974.
‘Abd al-Jabbar. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo:
Maktabah Mahbah. 1960.
Bintu Syati, Aisyah. Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an: Alih Bahasa Ali Zawawi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
1999.
Ali, Daud. Pendidikan Agama Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
[1] Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar
Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuha
Litera, 2010), h. 57.
[3] A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam di
Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), h.
35.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h.
33.
[11] Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an: Alih Bahasa Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), h. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar