Selasa, 18 Oktober 2016

Konsep Free Will dalam Perspektif al-Qur’an

Konsep Free Will dalam Perspektif al-Qur’an

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang multi-dimensi. Mengkaji manusia hanya dari satu dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapabilitas manusia, serta menjadikannya sebagai subjek-objek yang statis. Hakikat manusia tidak akan pernah ditemukan secara utuh karena setiap kali seseorang selesai memahami satu dimensi manusia, maka kemudian akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.[1] Alexis Carrel mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[2]

Pada masa Renaissance, unsur yang paling utama diambil dalam keterkaitannya dengan manusia adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud secara leluasa. Sedangkan dari masa aufklarung, yang diambil adalah moral rasionalismenya, keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas dan pembebasan dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan.[3]
Kebebasan bisa mempunyai banyak arti, tergantung dari perspektif mana ia pandang. Jika salah dalam memandang, maka kebebasan justru dapat dijadikan legitimasi untuk berbuat sesuatu yang tidak benar. Dengan kata lain, manusia mempergunakan kebebasannya untuk menciptakan dan memainkan peranan sendiri tanpa ditentukan oleh faktor di luar manusia. Oleh karena itu, kebebasan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap manusia.
B. Epistemologi Konsep Free Will
Pada hakekatnya, arti free will adalah kebebasan berkehendak. Secara lughowi kebebasan berasal dari kata “bebas” mempunyai beberapa arti, yaitu pertama, lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu, dan sebagainya, sehingga boleh bergerak, bercakap). Kedua, lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan dan sebagainya) tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya) tidak terikat atau terbatas. Ketiga, merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain).[4]
Secara istilah menurut Nasution dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat bahwa, kebebasan manusia itu tidak mutlak, artinya seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki,
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan adalah sikap hidup seseorang yang terlepas dari belenggu kekerasan, perbudakan, perkosaan, ketakutan dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
C. Free Will Menurut Qadariyah dan Jabariyah
Secara historis ada dua kelompok yang bertolak belakang dalam menanggapi konsep perbuatan manusia, mereka adalah Qodariyah dan Jabariyah. Qodariyah berpandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri, dan daya (al-istitā’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[5] Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia memiliki kemampuan (qadr). Dalam Istilah Inggris paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.[6] Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan kehendak dan perbuatannya. Manusia sama sekali terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.dalam Istilah Inggris paham ini disebut fatalism atau predestination.[7]
Paham Qadariyah tentang kebebasan manusia ternyata di adopsi oleh aliran teologi yang bercorak rasional yaitu Mu’tazilah. Mu’tazilah melalui tokohnya, Qādi ‘Abd al-Jabbar (w. 1204 M) berpandangan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, sebab jika Tuhan menciptakannya, berarti manusia tidak berhak mendapakan di akhirat. Jadi perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, dan itu merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri yang di hasilkan dari daya yang bersifat baru. Jika Allah menciptakaan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia bukan perbuatan bagi mereka. Oleh karena itu batallah taklīf (tanggung jawab) dan batallah janji dan ancaman Allah.[8] Maka muncul pertanyaan, jika memang perbuatan itu hasil cipta manusia, kemudian dari mana daya kreatif itu berasal?
‘Abd al-Jabbar menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut:
Yang di maksud dengan Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya ialah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia, dan pada daya ini bergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang di maksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang di buat manusia. Tidaklah mungkin bahwa tuhan dapat mewujudkan perbuatan yang telah di wujudkan manusia.[9]
Jadi Mu’tazilah tidak sependapat dengan pernyataan bahwa dua daya dapat memberi efek sama kepada perbuatan yang satu. Untuk setiap perbuatan, hanya ada satu daya yang mempunyai efek.
Menanggapi Mu’tazilah tentang doktrin kebebasan berkendak, Rahman berpendapat: ajaran mengenai kebebasan kehendak manusia sebagai mana di ajukan oleh Mu’tazilah secepatnya menjadi bagian dari konsep teologi yang lebih luas mengenai keadilan Allah dan menghilangkan aspeknya yang asal yaitu kebebasn dan tanggung jawab manuisa. Dari unsur-unsur yang beragam dari konsp al-Qur’an mengenai Tuhan kekuasaan pengasih, kehendak dan keadilan-Nya, mereka memisahkan unsur yang terakhir atau keadilan dan meletaknya dalam kesimpulan yang logis bahwa Allah tidak dapat berbuat yang tidak masuk akal dan tidak adil.[10]
Oleh karena itu, doktrin yang muncul kepermukaan bukan lagi kebebasan berkendak manusia, namun ketidakmungkinan Tuhan untuk berbuat yang tidak masuk akal dan tidak adil. Konsekuensinya teori tentang rahmat dan kemurahan Tuhan mereka tafsirkan dalam batas- batas kemestiaan dan kewajiban: Tuhan harus berbuat sebaik-baiknya bagi manusia, ia harus mengutus nabi-nabi dan menurunkan wahyu kepada manusia. Apabila dia tidak berbuat baik untuk manusia, maka berarti ia tidak adil dan bukan Tuhan.
D. Konsep Free Will dalam Perspektif al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa macam/ bentuk kebebasan manusia diantaranya:
a). Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama adalah hak untuk memeluk suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas tanpa diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam al-Qur’an Surat Yunus 99, berbunyi:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua.”
Pengakuan terhadap kebebasan beraqidah diberikan kepada manusia semata-mata akibat kebebasan dan kesanggupannya mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut.[11] Bentuk umum terhadap toleransi dan penghargaan Islam terhadap kebebasan beraqidah dan beragama tidak cukup hanya dengan menebarkan keseluruh ufuk yang luas dan meninggi yang mencakup seluruh manusia, akan tetapi Islam dengan pengakuannya terhadap kebebasan beragama, mewajibkan kepada pemeluk-pemeluknya untuk memeluk agama, beraqidah dan berperangai tidak hanya sekedar toleransi bersikap baik maupun perdamaian belaka tapi juga harus bisa membentuk kepribadianyg baik yang disadari oleh nilai-nilai agama.
Oleh karena itu manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing dan diberi kesadaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan hati nuraninya atas bimbingan wahyu.[12]
b). Kebebasan Berfikir dan Mengemukakan Pendapat
Dalam hal ini kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat telah dijelaskan di dalam firman Allah Swt.surat al-Baqarah 260:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن قَالَ بَلَى وَلَكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman, Belum yakinkah kamu? Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”, Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. “Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Menurut pemikiran yang populer kasus pertanyaan Ibrahim itu, biasanya bisa diterapkan dalam kerangka pikiran ilmiah, tetapi tidak dapat digunakan untuk mempertanyakan soal-soal yang telah di tetapkan agama sebagai ketetapan hukum baku yang menuntut ketetapan adanya ketundukan mutlak. Tujuan al-Qur‘an menceritakan kisah tentang Ibrahim agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi manusia sebagai bentuk nyata dari kebebasan itu, perdebatan yang benar dalam masalah keagamaan dan berbagai masalah yang berkaitan dengannya.
c). Kebebasan Berkehendak
Di jelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat: 11
 إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum maka tak ada yang dapat menolongnya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kejujuran akan membawa kepada kebajikan, maka mensucikan akhlak manusia, berkata baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Sedangkan kejahatan atau dosa akan menjadikan manusia terjerumus kedalam kesesatan yang akan mengantarkannya ke neraka. Atas dasar itulah muncul adanya tanggungjawab terhadap niat dan kehendaknya, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya. Allah SWT hanya menunjukkan jalan yang seyogyanya diikuti manusia mana yang baik dan mana yang buruk. Oleh karena itu manusia harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan penyelamatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman dan beramal shaleh.
E. Kesimpulan
Berkaitan dengan diskripsi di atas, dapat disimpulkan bahawa free will atau kebebasan berkehendak adalah salah satu keunikan tersendiri yang dimiliki manusia, karena manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak yang akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan.
Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah Swt, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah Swt.

Daftar Pustaka
Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera. 2010.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Ma’arif, Syafi’. Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1976.
Syahrastānī. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dār al-Fikr. 1997.  
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 2010.
Zuhdi Jar Allah. al-Mu’tazilah. Beirut: al-Ahliyyah al-Nasr wa al-Tawzi’. 1974.
‘Abd al-Jabbar. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Mahbah. 1960.
Bintu Syati, Aisyah. Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an: Alih Bahasa Ali Zawawi. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
Ali, Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.







[1] Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), h. 57.
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 29.
[3] A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), h. 35.
[4] W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 103.
[5] Syahrastānī, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 81.  
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 33.
[7] Ibid
[8] Zuhdi Jar Allah, al-Mu’tazilah, (Beirut: al-Ahliyyah al-Nasr wa al-Tawzi’, 1974), h. 96.
[9] ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Mahbah, 1960), h. 771.
[10] Rahman, islam, h. 91.
[11] Aisyah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an: Alih Bahasa Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 12.
[12] M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 32-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar