Minggu, 04 September 2016

APA ITU HERMENEUTIKA ?


APA ITU HERMENEUTIKA ? 


Sejak dulu, salah satu persoalan perennial dan kontroversial yang senantiasa muncul ke permukaan ialah, sejauh mana orang Islam dibolehkan dan memerlukan barang impor. Hal ini andaikata ia disepakati boleh dan perlu. Barang impor yang dipersoalkan jelas bukan produk teknologi seperti mobil atau laptop, melainkan aneka ragam ideologi dan produk pemikiran yang sesungguhnya sarat dengan pra-andaian diam-diam (tacit assumptions) dan kepentingan terselubung (hidden interests).

Kalangan yang kurang peka atau tidak jeli memang cenderung memandang enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya bukan persoalan sama sekali. Alasannya, ilmu itu kan netral. Namun apakah benar demikian? Kecuali yang wahyu yang berasal dari Tuhan, boleh dikata semua produk pemikiran manusia pada hakikatnya tidaklah netral dalam arti bebas dari kepentingan para perumusnya dan pra-anggapan yang menyertainya. Hanya mereka yang lugu menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai.
Selain itu, alasan yang juga kerapkali dikemukakan ialah, orang beriman diperintahkan memungut hikmah dari mana pun sumbernya, karena ia merupakan hak miliknya yang hilang (dhāllatu l-mu’min, haytsu wajadahā akhadza bihā). Namun menurut sebagian ulama seperti Ibn Hibbān dan al-Uqaylī, ungkapan yang diriwayatkan oleh Ibrāhīm al-Makhzūmī ini sebenarnya bukanlah hadits sahih. Konon, ungkapan ini berasal dari Sayyidina ‘Alī ibn Abī Thālib ra, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nahju l-Balaghah.
Walaupun demikian, terlepas dari status hadits tersebut di atas, seorang mukmin memang perlu bersikap hati-hati dalam upaya mencari hikmah yang ‘tercecer’ di mana-mana. Sebaiknya, tidak asal pungut dan jangan salah pungut. Tapi bukan lantas serta-merta menolak secara a priori. Juga tidak berarti menerima for granted tanpa curiga. Contohnya hermeneutika yang sekarang ini cukup digandrungi dan nyaris dinobatkan sebagai ‘manhaj tafsir alternatif’, tanpa memahami asal-usul dan seluk-beluknya.
Akhir-akhir ini gerakan ‘impor pemikiran’ memang kian gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Tapi sayangnya, tidak banyak yang ‘teliti sebelum membeli’. Tidak sedikit yang kurang menyadari bahwa gagasan-gagasan impor itu sebenarnya bertentangan dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim. Hermeneutika telah dipasarkan di mana-mana, dalam berbagai forum diskusi dan seminar. Alasannya antara lain untuk mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al-Qur’an’ yang relevan bagi konteks umat Islam di era globalisasi saat ini umumnya dan di Indonesia khususnya.
Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and everything Western), sejumlah cendekiawan Muslim kita menganggap seolah-olah hermeneutika itu netral bebas-nilai. Dikiranya hermeneutika dapat menggantikan metode tafsir tradisional yang mereka tuduh ‘ahistoris’ (mengabaikan historisitas teks) dan dicap tidak kritis (uncritical). Pada hakikatnya, merekalah yang terkesan asal terima dan asal telan. Seperti cabang-cabang ilmu lainnya, ia tidak muncul ex nihilo di ruang hampa. Hermeneutika timbul dari dan dalam konteks pemikiran agama dan pengalaman sejarah kaum Yahudi dan Kristen, seperti dijelaskan berikut ini.

Istilah dan Sejarahnya


Secara etymologi, istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno ta ermeneutika (dibaca: ta hermeneutika)” yang merupakan bentuk jamak dari kata “to ermeneutikon (to hermeneutikon)” yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan (dari infinitif: ermenein)’. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes” (HrmeV), yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.
Dalam kumpulan karya logika Aristoteles ada sebuah bagian yang berjudul: Peri ermeneiaV. Yang dimaksud dengan kata “hermeneias” di sini ialah ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah ‘interpretatio’ untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis’. Ambil sebagai contoh karya St. Jerome yang diberi judul “De optimo genere interpretandi” (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik). Kemudian Isidore dari Pelusium menulis risalah dengan judul “De interpretatione divinae scripturae” (Tentang Penafsiran Kitab Suci).
Maka menurut para ahli pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, sesungguhnya baru terjadi di kemudian hari, yakni pada sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Katholik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Bagi kaum Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bibel, asalkan tahu bahasa dan konteks sejarahnya. Berdasarkan prinsip kegamblangan (perspicuitas) dan sola scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’), dibangunlah metode ilmiah bernama hermeneutika. Dalam pengertian modern ini, istilah ‘hermeneutics’ biasanya dikontraskan dengan ‘exegesis’, sebagaimana ‘ilmu tafsir’ dibedakan dengan ‘tafsir’.
            Adalah Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan, yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci (biblische Hermeneutik) menjadi ‘hermeneutika umum’ yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang betul dari sebuah teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”. Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus diperlakukan sama,” tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.
Kemudian muncul Dilthey yang menekankan gagasan ‘historisitas teks’ dan pentingnya ‘kesadaran sejarah’ (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut pemikir asal Jerman ini, harus bersikap kritis terhadap teks beserta konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati ‘jarak sejarah’ antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks, ujarnya, ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami kembali’ (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut.
            Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Dikatakan bahwa interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa. Demikian ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak.
Jürgen Habermas pergi lebih jauh. Bagi tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.

Asumsi dan Implikasinya


Dengan latar-belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status al-Qur‘an sebagai Kalāmullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan pada gilirannya juga menggugat kemutawatiran mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’---sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li n-nās).
Selanjutnya, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors).  Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Terakhir, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar yang sesat lagi menyesatkan.
Sebagai penutup, izinkanlah saya mengutip Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tuebingen, Jerman:

We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say “text” they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.”

Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan belakangan oleh Heidegger dan Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik. Yang mereka maksud dengan istilah ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang ditulis Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam.     
Van Ess benar belaka. Sebagai ‘anak kandung’ tradisi intelektual Barat hasil perkawinannya dengan teologi Kristen, hermeneutika memang tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Islam. Kita katakan ‘tidak sesuai’, bukan ‘tidak bisa’ atau ‘tidak mungkin’, karena perkara ini lebih menyangkut dampak dan hasil, ketimbang hukumnya. Hermeneutika hanya akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Betapa tidak, sedangkan ia bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran, merayakan konflik dan kontradiksi. Karena itu, bagi cendekiawan mukmin, hermeneutika lebih tepat kalau dikategorikan sebagai musibah ketimbang hikmah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar