APA ITU HERMENEUTIKA ?
Sejak dulu, salah satu persoalan perennial dan
kontroversial yang senantiasa muncul ke permukaan ialah, sejauh mana orang
Islam dibolehkan dan memerlukan barang impor. Hal ini andaikata ia disepakati
boleh dan perlu. Barang impor yang dipersoalkan jelas bukan produk teknologi
seperti mobil atau laptop, melainkan aneka ragam ideologi dan produk pemikiran
yang sesungguhnya sarat dengan pra-andaian diam-diam (tacit assumptions)
dan kepentingan terselubung (hidden interests).
Kalangan yang kurang peka atau
tidak jeli memang cenderung memandang enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya
bukan persoalan sama sekali. Alasannya, ilmu itu kan netral. Namun
apakah benar demikian? Kecuali yang wahyu yang berasal dari Tuhan, boleh dikata
semua produk pemikiran manusia pada hakikatnya tidaklah netral dalam arti bebas
dari kepentingan para perumusnya dan pra-anggapan yang menyertainya. Hanya
mereka yang lugu menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai.
Selain itu, alasan yang juga kerapkali
dikemukakan ialah, orang beriman diperintahkan memungut hikmah dari mana pun
sumbernya, karena ia merupakan hak miliknya yang hilang (dhāllatu l-mu’min,
haytsu wajadahā akhadza bihā). Namun menurut sebagian ulama seperti Ibn
Hibbān dan al-‘Uqaylī, ungkapan yang diriwayatkan oleh Ibrāhīm al-Makhzūmī ini sebenarnya
bukanlah hadits sahih. Konon, ungkapan ini berasal dari Sayyidina ‘Alī ibn Abī
Thālib ra, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nahju l-Balaghah.
Walaupun demikian, terlepas
dari status hadits tersebut di atas, seorang mukmin memang perlu bersikap
hati-hati dalam upaya mencari hikmah yang ‘tercecer’ di mana-mana. Sebaiknya,
tidak asal pungut dan jangan salah pungut. Tapi bukan lantas serta-merta
menolak secara a priori. Juga tidak berarti menerima for granted tanpa
curiga. Contohnya hermeneutika yang sekarang ini cukup digandrungi dan nyaris
dinobatkan sebagai ‘manhaj tafsir alternatif’, tanpa memahami asal-usul
dan seluk-beluknya.
Akhir-akhir ini gerakan ‘impor
pemikiran’ memang kian gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti
Islamic Studies. Tapi sayangnya, tidak banyak yang ‘teliti sebelum membeli’.
Tidak sedikit yang kurang menyadari bahwa gagasan-gagasan impor itu sebenarnya
bertentangan dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang
Muslim. Hermeneutika telah dipasarkan di mana-mana, dalam berbagai forum
diskusi dan seminar. Alasannya antara lain untuk mencari dan merumuskan sebuah
‘hermeneutika al-Qur’an’ yang relevan bagi konteks umat Islam di era globalisasi
saat ini umumnya dan di Indonesia khususnya.
Terlanjur gandrung pada segala
yang baru dan Barat (everything new and
everything Western), sejumlah cendekiawan Muslim kita menganggap
seolah-olah hermeneutika itu netral bebas-nilai. Dikiranya hermeneutika dapat
menggantikan metode tafsir
tradisional yang mereka tuduh ‘ahistoris’ (mengabaikan historisitas
teks) dan dicap tidak kritis (uncritical). Pada hakikatnya, merekalah
yang terkesan asal terima dan asal telan. Seperti cabang-cabang ilmu lainnya,
ia tidak muncul ex nihilo di ruang hampa. Hermeneutika timbul dari dan
dalam konteks pemikiran agama dan pengalaman sejarah kaum Yahudi dan Kristen,
seperti dijelaskan berikut ini.
Istilah dan Sejarahnya
Secara etymologi, istilah
“hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani kuno “ta ermeneutika (dibaca: ta hermeneutika)” yang merupakan
bentuk jamak dari kata “to ermeneutikon (to
hermeneutikon)” yang berarti ‘hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan
penerjemahan suatu pesan (dari infinitif: ermenein)’. Kedua
kata tersebut merupakan derivat dari kata “Hermes” (HrmeV), yang
dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan)
untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.
Dalam kumpulan karya logika
Aristoteles ada sebuah bagian yang berjudul: Peri ermeneiaV. Yang dimaksud
dengan kata “hermeneias” di sini ialah ungkapan atau pernyataan (statement),
tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih
sering menggunakan istilah ‘interpretatio’ untuk tafsir, bukan ‘hermeneusis’.
Ambil sebagai contoh karya St. Jerome yang diberi judul “De optimo genere
interpretandi” (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik). Kemudian Isidore
dari Pelusium menulis risalah dengan judul “De interpretatione divinae
scripturae” (Tentang Penafsiran Kitab Suci).
Maka menurut para ahli
pembakuan istilah ‘hermeneutics’ sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami
suatu pesan atau teks, sesungguhnya baru terjadi di kemudian hari, yakni pada
sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan Reformasi yang
dicetuskan oleh Martin Luther di Jerman. Para teolog Protestan menolak klaim
otoritas Gereja Katholik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci. Bagi kaum
Protestan, setiap orang berhak menafsirkan Bibel, asalkan tahu bahasa dan
konteks sejarahnya. Berdasarkan prinsip kegamblangan (perspicuitas) dan sola
scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’), dibangunlah metode
ilmiah bernama hermeneutika. Dalam pengertian modern ini, istilah ‘hermeneutics’
biasanya dikontraskan dengan ‘exegesis’, sebagaimana ‘ilmu tafsir’
dibedakan dengan ‘tafsir’.
Adalah
Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan, yang pertama kali
memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci (biblische
Hermeneutik) menjadi ‘hermeneutika umum’ yang mengkaji prasyarat atau
kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau
penafsiran yang betul dari sebuah teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan
usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang berupaya “membebaskan
tafsir dari dogma”. Lebih dari itu, ia juga mengajukan perlunya melakukan
desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, “semua teks harus
diperlakukan sama,” tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu
kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.
Kemudian muncul Dilthey yang
menekankan gagasan ‘historisitas teks’ dan pentingnya ‘kesadaran sejarah’ (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang
pembaca teks, menurut pemikir asal Jerman ini, harus bersikap kritis terhadap
teks beserta konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk
berusaha melompati ‘jarak sejarah’ antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman
kita akan suatu teks, ujarnya, ditentukan oleh kemampuan kita ‘mengalami
kembali’ (Nacherleben) dan menghayati
isi teks tersebut.
Di awal abad ke-20, hermeneutika
menjadi sangat filosofis. Dikatakan bahwa interpretasi merupakan interaksi
keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein)
yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa. Demikian ungkap Heidegger. Yang
tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’,
semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks,
praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula
rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah
dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur
jadi satu (Horizontverschmelzung),
hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh
berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif
kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak.
Jürgen Habermas pergi lebih
jauh. Bagi tokoh terkemuka Frankfurt School ini, hermeneutika bertujuan
membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang
melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika
harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa
sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna
secara sistematis.
Asumsi dan Implikasinya
Dengan latar-belakang seperti
itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan
konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama,
semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka
terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya.
Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru
(Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya
diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada
al-Qur’an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status
al-Qur‘an sebagai Kalāmullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan pada
gilirannya juga menggugat kemutawatiran mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap
setiap teks sebagai ‘produk sejarah’---sebuah asumsi yang sangat tepat dalam
kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku
untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya
ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan
li n-nās).
Selanjutnya, praktisi
hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari
manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai
‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini
hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew
dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan
redaksi (textual corruption and scribal
errors). Tetapi tidak untuk
al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Terakhir, hermeneutika
menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada
tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang boleh
jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks
(zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham
ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir gadungan dan pemikir-pemikir liar
yang sesat lagi menyesatkan.
Sebagai penutup, izinkanlah saya mengutip Josef
van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas
Tuebingen, Jerman:
“We should, however, be aware
of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such.
It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it
to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with
German literature and antiquity. When such people say “text” they mean a
literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text
which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s
dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.”
Maksudnya, perlu diketahui bahwa
hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan
untuk kajian keislaman. Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan.
Dipakai untuk untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan belakangan oleh
Heidegger dan Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik. Yang
mereka maksud dengan istilah ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesuatu
yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam
satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya
Plato, atau pun puisi yang ditulis Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian
Islam.
Van Ess benar belaka. Sebagai
‘anak kandung’ tradisi intelektual Barat hasil perkawinannya dengan teologi
Kristen, hermeneutika memang tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Islam.
Kita katakan ‘tidak sesuai’, bukan ‘tidak bisa’ atau ‘tidak mungkin’, karena
perkara ini lebih menyangkut dampak dan hasil, ketimbang hukumnya. Hermeneutika
hanya akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan. Betapa tidak, sedangkan ia
bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menghendaki ketidakpastian makna dan
penafsiran, merayakan konflik dan kontradiksi. Karena itu, bagi cendekiawan
mukmin, hermeneutika lebih tepat kalau dikategorikan sebagai musibah ketimbang
hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar