Rumah Tangga dalam
Bingkai Baiti Jannati
Virus-virus faham feminisme liberal yang mengusung ide
kesetaraan gender, emansipasi wanita, dan semacamnya, kini disadari telah
menjadi wabah yang merusak tatanan kehidupan dalam berbagai level rumah tangga.
Mulai dari kampung, desa, kabupaten, daerah, hingga negara dan tatanan
masyarakat global.
Perempuan yang dipaksakan untuk mengisi ruang yang tidak
sesuai dengan kodratnya, menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan dalam
kehidupan. Karena ketika perempuan dipaksa harus juga mengisi ruang yang diisi
oleh laki-laki, sedangkan laki-laki secara kodrati juga tak mungkin untuk
menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh perempuan, maka ada lubang besar
yang menyebabkan ketimpangan dalam sistem kehidupan. Inilah sumber malapetaka.
Banyaknya pengangguran saat ini, sebetulnya tak lebih
karena lapangan kerja di semua aspek kehidupan sudah banyak yang diisi oleh
perempuan. Kenakalan remaja sudah menjadi penyakit global, sebetulnya juga
bermula dari tidak terurusnya anak di rumah sejak usia dini. Pusingnya para
negarawan Barat dewasa ini akan masa depan generasi bangsanya, juga akibat
banyaknya perempuan yang sok-sokan mau menyaingi kodrat laki-laki, melakukan
aborsi, tidak mau hamil, dan seterusnya. Kalau banyak perempuan yang aborsi dan
tak mau hamil, maka 50 tahun ke depan sejumlah negara-negara di Barat akan
menjadi panti jompo.
Lalu bangaimana cara kita mengobati virus yang juga sudah
mewabah di Indonesia ini? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan formulasi
pemahaman Islam tentang keseimbangan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan
di dalam rumah tangga. Karena masalah yang menggejala secara merata di dalam
kehidupan suatu bangsa pasti dimulai dari rumah, maka tentu setiap individu
harus membenahi rumah masing-masing. Dalam hal ini, Islam menawarkan konsep
rumah dengan atap taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah Swt).
Membangun rumah tangga tentu dimulai dari pernikahan.
Nah, untuk memulai itu, setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, harus
menanamkan niat bahwa menikah itu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Jangan sampai menikah ditujukan untuk menggapai kepentingan duniawi yang
semu; untuk mengejar kekayaan, popularitas, dan semacamnya. Dan, niat taqarrub
dalam menikah hanya bisa dilaksanakan dengan sunah yang telah diteladankan Nabi
Muhammad Saw.
Maka dalam hal ini, posisi laki-laki dan wanita dalam hal
ini adalah sama. Laki-laki menikahi si wanita dengan tujuan supaya si wanita
dapat menentramkan jiwa suaminya, menjaganya dari perbuatan haram, dan membantunya
untuk semakin taat kepada Allah Swt. Serta bahu-membahu dalam membangun rumah tangga
yang dipenuhi cahaya iman, sehingga kelak di hari kiamat bisa dibanggakan oleh
Nabi Saw. Begitu pula niatan yang harus ditanamkan wanita saat merelakan
dirinya dinikahi seorang laki-laki. Demikianlah gambaran rumah yang dibangun di
bawah atap taqarrub.
Selanjutnya, saat menjalani aktivitas kerumah-tanggaan
sehari-hari, suami dan istri mesti bahu-membahu dalam membangun rumah-tangga
mereka. Posisi keduanya setara; tak ada yang lebih utama antara satu dengan
yang lain. Karena dalam Islam, keutamaan diukur dengan takwa, bukan dengan
pekerjaan dan profesi. Jadi, meski suami kerja di luar rumah, sementara istri
setia menuggu di rumah, tak berarti suami lebih utama daripada istri.
Bahkan, kepada seorang sahabat perempuan yang protes
kepada Nabi Saw. karena kaum hawa tak diwajibkan jihad, haji sunah, salat
Jumat, dan amal lain-lain yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, Nabi Saw.
menjawab, “Kesetiaan kalian kepada suami kalian, pahalanya sudah menyamai itu
semua.” Allahu akbar! Perempuan itu bertakbir. Betapa agungnya Islam dan betapa
tingginya agama ini memposisikan martabat wanita.
Laki-laki pergi bekerja atau berjihad dalam rangka taqarrub
dan mendapat pahala yang luar biasa besar, perempuan diam di rumahnya menanti
setia kehadiran suaminya juga dalam rangka taqarrub dan mendapatkan
pahala yang sama besarnya, meskipun bentuk pekerjaan dan profesinya berbeda.
Namun, dalam tatanan rumah tangga, syariat telah
menetapkan suami sebagai pemimpin bagi wanita. Dan suami di sini memimpin rumah
tangga bukan berdasarkan kehendak pribadi dan hawa nafsunya, namun memimpin
berdasarkan ketentuan Allah Swt. untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Al-Qur’an
menjelaskan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).”
(QS an-Nisa’ [4]: 34).
Allah Swt. telah melebihkan laki-laki dengan kekuatan
akal, karakter kepemimpinan, dan ketegasan, sehingga dengan kelebihan yang
dianugerahkan Allah Swt. ini, maka laki-laki memimpin wanita untuk meraih ridha
Allah Swt. Sedangkan untuk wanita, Allah Swt. telah melebihkan mereka dengan
memiliki kasih sayang, kelembutan, kesabaran, sehingga dengan kelebihan itu,
Allah Swt. menjadikan wanita sebagai tempai berlabuh bagi suami dan
anak-anaknya di rumah. Dari sinilah akan tercipta rumah tangga yang sakinah
mawaddah wa rahmah.
Jadi, kata-kata “melebihkan” yang terdapat dalam ayat di
atas, tidak berarti laki-laki lebih utama dengan perempuan secara mutlak.
Pemahamannya tidak demikian. Karena Sayidah Maryam jelas lebih utama dari
ribuan lelaki di zamannya dan zaman-zaman setelahnya, dan bahwa Sayidah Fatimah
az-Zahra’ lebih utama dibandingkan dengan ribuan laki-laki semacam kita. Faham
keutamaan dalam Islam adalah, siapa yang beramal lebih banyak dengan keihklasan
dan ketakwaan, maka dialah yang lebih utama.
Dalam hal ini, Ibnu Abbas r.a. berkata: “Aku suka berhias
untuk istriku, sebagiamana aku suka kalau istriku berhias untukku, karena Allah
berfirman: ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang makruf.’ Tapi aku tidak ingin untuk menagih seluruh hakku
kepada istriku, karena Allah Swt. berfirman: ‘Akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada istrinya’.” (QS al-Baqarah [2]: 228).
Nah, lihatlah, bagaimana Ibnu Abbas menafsiri “ tingkat
kelebihan” seorang suami yang melebihi istri pada ayat di atas. Karena istri
punya hak yang harus dipenuhi suami, maka suami akan memenuhi semuanya secara
tuntas. Dan suami pun punya hak atas istri, tapi suami tidak akan menagih semua
hak itu, karena jika hak itu ditagih semua, maka berarti derajat antara suami
dan istri masih seimbang. Barangsiapa yang ingin derajatnya lebih tinggi, maka
ia harus memberi lebih banyak.
Begitu pula dengan istri,. Pekerjaan memasak, cuci
piring, menyapu dan sejenisnya, sebetulnya bukan tugas istri. Akan tetapi,
masalahnya bukan saling melempar kewajiban dan berebut hak. Jika istri
menginginkan derajat yang tinggi, maka ia mesti melakukan itu semua. Dalam hal
ini, ia tidak bekerja sebagai pelayan suami, tapi bekerja untuk taqarrub
kepada Allah Swt. Itulah jawaban mengapa Sayidah Fatimah az-Zahra’, pemuka
perempuan penghuni surga, mengerjakan semua pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa
pembantu, padahal beliau paling berhak untuk mendapatkan pembantu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar