AKU MERINDUKAN IBU
Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang
kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di alam
surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan seorang
suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil.
Begitulah yang kurasakan, karena selama ini aku merasa bahwa aku telah gagal,
tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk menjadi
ayah dan ibu untuk anakku. Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja,
aku harus segera berangkat ke kantor, anakku masih tertidur. Ohhh aku harus
menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng
telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk,
kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja. Peran ganda yang kujalani,
membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku
merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk
dan mencium anakku, aku langsung masuk ke kamar tidur dan melewatkan makan
malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk
tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang
pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan di sanalah
sumber masalahnya. Ada sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang
berantakan di seprai dan selimut! Oh..Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil
gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku yang sedang gembira bermain
dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikit pun tidak
meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat. “Ayah, tadi aku
merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku
ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak
menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka
aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie.
Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya. Karena aku takut mienya akan
menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat
sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang
bermain dengan mainanku, aku minta maaf ayah.” Seketika, air mata mulai
mengalir di pipiku, tetapi, aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis
maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar
mandi untuk menutupi suara tangisku. Setelah beberapa lama, aku hampiri anakku,
kupeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan di
pantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran
tumpahan mie di tempat tidur. Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah
malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan
karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang
dikasihinya. Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba dalam periode
ini untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan
juga kasih sayang seorang ibu serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tanpa
terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak.
Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa
kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia. Namun, belum lama aku
sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal. Guru Taman Kanak-kanaknya
memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang
ke rumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia
tidak ada di rumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil -manggil
namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis sedang bermain
komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya
dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, ayah.”
Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan
bakat” yang diadakan oleh sekolah, karena yang diundang adalah siswa dengan
ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu. Beberapa
hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah
memberitahuku, bahwa di sekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis.
Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih
menulis, aku yakin jika istriku masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga,
tentu saja dia membuat saya bangga juga. Waktu berlalu dengan begitu cepat,
satu tahun telah lewat. Tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku
sedang menyelesaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor
pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos
juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus. Mereka
menelponku dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anakku telah mengirim
beberapa surat tanpa alamat. Walaupun aku sudah berjanji untuk tidak pernah
memukul anakku lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya
lagi, karena aku merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi
sekali lagi, seperti sebelumnya dia meminta maaf : “Maaf, ayah.” Tidak ada
tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu. Setelah itu
saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu
pulang. Sesampai di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut
mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada di kepalanya?
Jawabannya di tengah isya’ tangisnya adalah : “Surat-surat itu untuk ibu.”
Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus
bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu mengeposkan begitu banyak surat-surat
pada waktu yang sama?” Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu
untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu,
terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat mengeposkan surat-suratku. Tapi
baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan
aku mengirimkannya sekaligus.” Setelah mendengar penjelasannya ini, aku
kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan
apa yang harus aku katakan. Aku bilang pada anakku, “Nak, ibu sudah berada di
surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu,
cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy.”
Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang dan segera setelah itu, ia
bisa tidur dengan nyenyak. Aku berjanji akan membakar surat-surat atas namanya,
jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi aku jadi penasaran untuk
membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu. Dan salah satu dari
isi surat-suratnya membuat hati saya hancur, “Ibu sayang, Aku sangat merindukanmu!
Hari ini ada sebuah acara pertunjukan bakat di sekolah dan mengundang semua ibu
untuk hadir di pertunjukan tersebut. Tapi ibu tidak ada, jadi aku tidak ingin
menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut
ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi. Saat itu untuk menyembunyikan
kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu
toko. Ayah keliling-keliling mencariku, setelah menemukanku ayah marah dan aku
hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang
sebenarnya. Ibu, setiap hari aku melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia
teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di
kamarnya. Aku pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk
kita berdua. Tapi bu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul dalam
mimpiku sehingga aku dapat melihat wajah ibu dan ingat akan ibu? Temanku bilang
jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat
orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau tak pernah muncul ?”
Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena aku tidak pernah
bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan
oleh istriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar